Ibu Nyai Hj. Nuriyyah, dikenal dengan sebutan Mbah Putri atau Mbah Nuri, lahir dari pasangan Kiai Zainuddin dan Nyai Mashfuriyyah. Beliau merupakan anak perempuan kedua dari lima bersaudara yang hidup dan besar dalam keluarga Islam yang terdidik dan berpengetahuan Islam ortodoks. Putra- putri Kiai Zainuddin berjumlah lima orang dengan dua orang putri dan tiga putra. Mereka adalah KH. Fatchurrahman, Nyai Nuriyyah, Nyai Hafsoh atau Nyai Shonhaji (Cirebon), KH. Mudzakir ( Gunem, Rembang), dan Kiai Sholih Zawawi ( Cirebon).
Lahir di desa Sumbergirang, Lasem Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Untuk tanggal lahir masih terjadi perbedaan pendapat atau tidak diketahui secara pasti sebagaimana yang ditegaskan oleh KH. M. Zaim Ahmad (cucu Nyai Nuriyyah dari KH Ahmad Syakir) “Jaman kae reti tahun lahir wae wis bejo” (jaman dahulu untuk mengetahui tahun lahirnya saja sudah beruntung). Yang diketahui dengan jelas bahwa Nyai Nuriyyah lahir pada tahun 1895 M/ 1312 H.
Kelima anak Kiai Zainuddin menjalani kehidupan masa kecil layaknya anak-anak pada umumnya. Yang membedakan dengan anak-anak yang lain, mereka dibesarkan dalam suasana yang kental nilai-nilai religiusitas. Ini terjadi lantaran mereka berada dalam kepengasuhan langsung orang tuanya yang merupakan tokoh agama pada waktu itu, sehingga dalam hal mendalami dasar-dasar ilmu keagamaan serta penanaman visi keagamaan didapat langsung dari keluarga.
Meskipun Nyai Nuriyyah dan saudara perempuan lainnya tidak pernah menuntut ilmu di pesantren lain sebagaimana saudara laki-lakinya dikarenakan perempuan belajar diluar rumah bukan suatu hal yang wajar, namun pola pendidikan yang diberikan KH Zainuddin mampu memberi bekal pengetahuan dasar keagamaan sehingga dapat membentuk pribadi Nyai Nuriyyah sebagai sosok muslimah yang baik perbuatan serta perilakunya.
Nyai Nuriyyah yang selanjutnya menikah dengan KH. Ma’shoem Ahmad mendirikan pondok pesantren al-Hidayat. Kehidupan Mbah Putri dapat digambarkan dengan kata-kata sederhana. Menjalani masa kecil dengan perekonomian orang tua yang berkecukupan, selanjutnya saudaranya yang laki-laki dikirim ke berbagai pesantren untuk mendalami pengetahuan keagamaan. Kehidupan masa kecilnya di lingkungan pesantren berperan besar dalam pembentukan wataknya yang haus ilmu pengetahuan dan kepeduliannya atas pelaksanaan ajaran-ajaran agama dengan baik. Menginjak masa remaja Mbah Putri dinikahkan dengan salah satu ulama masyhur di daerah Lasem, yang mempunyai nama kecil Muhammadun. Perjodohan ini merupakan hal yang biasa dilakukan di lingkungan pesantren untuk menjalin ikatan antarkiai.
Setelah pasangan Nyai Nuriyyah dan Muhammadun menikah dan melaksanakan ibadah haji (untuk waktu menunaikan haji tidak diketahui) nama mereka berubah menjadi Khoiriyyah dan Muhammad Ma’shoem. Untuk alasan perubahan nama ini mengikuti tradisi yang biasa di dalam agama Islam, dan tradisi tersebut merupakan tradisi tabarrukan atas ibadah haji. Namun selanjutnya oleh masyarakat pasangan suami istri itu lebih akrab dipanggil Mbah Ma’shoem dan Mbah Putri.
Pada awal pernikahan, kehidupan Mbah Putri dengan suami dirasakan masih sangat berat. Maklum, pada waktu itu beliau menikahi pemuda yang masih berstatus santri. Setelah melewati hitam putihnya kehidupan bersama sang suami, karena berdarah intelektual akhirnya keduanya mampu mendirikan pesantren di Lasem yang diberi nama Pondok Pesantren al-Hidayat. Dalam kesehariannya, Mbah Putri membantu dalam mengasuh serta mengelola pesantren bersama-sama dengan Mbah Ma’shoem. Mbah Putri dikenal masyarakat sebagai sosok yang suka bercanda, memiliki kezuhudan pada dunia, lebih menyibukkan diri dengan beribadah daripada mengejar urusan keduniawian. Termasuk orang yang mampu menyerap pengetahuan dengan cepat, kemampuan menghafal yang luar biasa, dan dikenal masyarakat setiap doa-doanya mujarab. Nyai Nuriyyah yang lahir di Lasem Kabupaten Rembang dari kecil hingga memasuki usia remaja dibesarkan di bawah asuhan orang tua dengan kondisi perekonomian yang serba kecukupan. Pada tahun 1906 M, oleh kakeknya yakni KH. Abdul Aziz, Mbah Putri dijodohkan dengan pemuda Lasem yang juga berasal dari keluarga pesantren yaitu Muhammadun (nama asli KH. Ma’shoem Ahmad).
Pada waktu perjodohan berlangsung, terkait usia Mbah Putri terjadi perbedaan pendapat. Ada yang menyebutkan saat itu Mbah Putri berusia 12 tahun. Terpaut 24 tahun dari usia Mbah Ma’shoem yang pada saat itu berusia 36 tahun. Mbah Putri merupakan istri kedua dari Mbah Ma’shoem setelah sebelumnya menikah dengan putri Kiai Musthafa Lasem, Maslikhatun. Tetapi pernikahan itu tidak berlangsung lama karena Maslikhatun meninggal dunia tanpa meninggalkan anak.
Kehidupan pernikahan Mbah Ma’shoem dengan Mbah Putri sangat harmonis, mereka saling mendukung, rukun, mempunyai hobi yang sama yaitu suka bersilaturahim, menyayangi anak kecil, dan mencintai fakir miskin. Setelah menikah, tanggungjawab atas Mbah Putri diambil alih oleh Mbah Ma’shoem termasuk dalam hal pendidikannya. Melalui pendidikan yang diberikan Mbah Ma’shoem, terbentuk kepribadian mulia Mbah Putri, baik spiritual maupun intelektual.
Setelah menikah, Mbah Putri yang mempunyai jiwa haus akan ilmu pengetahuan rajin mengaji sorogan kepada suaminya. Sebab didikan Mbah Ma’shoem, Mbah Putri mampu menyelesaikan beberapa kitab, seperti Tafsir Jalalain, Fathul Mu’in, Riyadush Salihin, dan lain-lain.
Baik Mbah Ma’shoem dan Mbah Putri sama-sama berasal dari keluarga terdidik dan berpengetahuan agama Islam. Yang membedakan yaitu jika Mbah Ma’shoem mempelajari ilmu keagamaan kepada orang tuanya dan kepada para kiai, Mbah Putri cukup belajar dasar-dasar ilmu agama kepada orang tuanya. Maklum pada saat itu kondisi sosio-keagamaan tidak mendukung Mbah Putri untuk belajar keluar rumah. Pendidikan bagi perempuan yang menginap dan diasramakan justru dimulai oleh pengajaran yang dilakukan Mbah Ma’shoem dan Mbah Putri, setidaknya untuk level daerah Lasem, Rembang, dan sekitarnya. Pada tahun 1916 M Mbah Ma’shoem memantapkan diri untuk mendirikan pesantren yang diberi nama al-Hidayat berada di kawasan yang plural Desa Soditan. Pondok Pesantren al-Hidayat putri didirikan pada tahun 1940 M oleh Mbah Ma’shoem.
Sebagai istri yang setia, Mbah Putri tidak membiarkan sang suami bersusah payah sendirian, beliau yang merupakan perempuan feminim membantu meringankan perekonomian keluarga dengan berjualan nasi pecel di sekitar rumah dan menjahit baju bayi atau baju grito, yang kemudian hasilnya dijual oleh Mbah Ma’shoem.
Di kemudian hari pesantren yang Mbah Ma’shoem dirikan dan dikelola bersama Mbah Putri memiliki manfaat nyata bagi masyarakat umum sekaligus dalam hal rezeki menjadi hal yang gampang bagi Mbah Putri dan keluarga.
Dalam pengelolaan pesantren al-Hidayat, peran Mbah Putri sangat besar. Bersama-sama dengan sang suami beliau melakukan pengajaran kepada santri dan masyarakat dengan spesialisasi pengajaran di bidang pengajian al-Qur’an. Awal berdirinya pesantren tersebut tidaklah segampang yang dibayangkan, hanya ada 4 santri pada awal pendirian pesantren.
Setelah bertahun-tahun mengelola pesantren, usia Mbah Ma’shoem yang tidak lagi muda serta kesehatan yang tidak lagi mendukung untuk tetap mengelola pesantren, sehingga pada 30 November 1972 Mbah Ma’shoem meninggal dunia karena sakit faktor usia setelah beberapa waktu dirawat di RSU Dr. Kariadi Semarang.
Sehari sebelum meninggalnya Mbah Ma’shoem, beliau berpesan kepada Mbah Putri beserta putra putrinya untuk mencintai fakir miskin, menolong mereka, dan melanjutkan amaliyah beliau dalam pengajian dan pengajaran agama kepada santri dan masyarakat. Pengelolaan pesantren al-Hidayat kemudian dilanjutkan oleh Mbah Putri bersama dengan putra ketiganya KH. Ahmad Syakir karena putra sulung Mbah Putri, KH. Ali Ma’shoem diambil menantu oleh KH. Munawwir Krapayak, Yogyakarta dan meneruskan estafet kepemimpinan atas Pesantren al-Munawwir atau sekarang lebih dikenal Pesantren Krapayak, Yogyakarta.
Dari pernikahan antara Mbah Ma’shoem dengan Mbah Putri dikaruniai 13 anak, namun yang hidup hingga dewasa dan berkeluarga hanya 5 orang. Adapun kelima putra-putri Mbah Ma’shoem tumbuh menjadi ahli agama mengikuti jejak kedua orangtuanya hingga generasi saat ini. Ibarat pepatah yang berbunyi anak macan pada akhirnya akan menjadi macan juga, nampaknya tepat untuk menggambarkan keberhasilan pendidikan dan ketokohan Mbah Ma’shoem dan Mbah Putri dalam mendidik anak-anaknya di bidang keagamaan serta hubungan bermasyarakat. Adapun daftar nama dzurriyah Mbah Ma’shoem dan Mbah Putri dapat dilihat pada lampiran
Wafatnya Ibu Nyai Hj. Nuriyyah Ma’shoem
Setiap makhluk yang bernyawa di muka bumi ini akan menghadapi apa yang disebut kematian. Itu adalah suatu hal yang pasti, tinggal waktu dan tempatnya saja yang menjadi misteri. Sudah menjadi sunnatullah, semakin bertambahnya usia seseorang maka semakin menurun pula fungsi anggota tubuhnya, begitupun yang dialami oleh Mbah Putri. Di usianya yang ke-88 tahun, kondisi Mbah Putri melemah apalagi dalam keadaan sakit beliau tetap menjalani aktivitas mengurus santri dan keluarga di usia yang tidak lagi muda. Dengan kondisi yang lemah, beliau tetap membina santri, tekun melakukan sholat tahajud, melakukan pengajian tafsir al-Qur’an dengan santri, berjamaah dengan santri, menerima tamu yang berkunjung silih berganti setiap harinya dan kegiatan lainnya.
Pada tanggal 22 Agustus 1983 pagi hari, tanpa ada gejala sebelumnya, beliau tidak sadarkan diri, karena faktor usia, maka pihak keluarga memutuskan untuk merawat Mbah Putri ke RSU Dr. Kariadi Semarang.
Pihak staf rumah sakit, Dr. Abu Bakar menemukan hal janggal saat merawat Mbah Putri. Melihat beliau pada kondisi koma masih memegang tasbih dan tetap berputar layaknya berada di tangan orang yang terjaga. Kejadian tersebut berjalan selama satu minggu, hingga pada hari ketujuh beliau dirawat di rumah sakit, tasbih yang di pegangnya jatuh dan saat bersamaan Mbah Putri dinyatakan meninggal dunia bikhusnil khotimah, Insya Allah. Pada waktu meninggalnya Mbah Putri bertepatan pada tanggal 21 Dzulqa’dah 1403 H atau 29 Agustus 1983.
Almarhumah Mbah Putri mangkat kehadirat Allah SWT yang tidak akan kembali lagi ke dunia yang fana ini dalam keadaan tenang. Bumi berduka karena perginya ulama yang penuh karisma, meninggalkan jutaan umat kehariban Allah SWT. Beberapa minggu sebelum Mbah Putri dirawat di rumah sakit, beliau mengumpulkan santri, putra- putrinya dan anggota keluarga dan berpesan sebagaimana pesan yang disampaikan Mbah Ma’shoem dulu, yaitu menganjurkan untuk mencintai fakir miskin, menolong sesama dalam keadaan susah, meringankan beban orang lain, terimalah santri yang datang meskipun tak punya dana, serta menerima dan menghormati tamu dari berbagai kalangan tanpa membeda-bedakan.
Almarhumah Mbah Putri diberangkatkan ke Lasem dan dimakamkan habis dzuhur hari Selasa, 22 Dzulqa’dah 1403 H disamping pusara KH. Ma’shoem Ahmad di kompleks pemakaman para ulama Lasem yang terletak di utara masjid Jami’ Lasem.
Selama yang ditinggalkan ulama masih tetap meneruskan perjuangannya, meneladani budi pekerti, mengajarkan ilmu-ilmu yang didapat darinya, maka hakikatnya ulama tersebut masih tetap hidup. Sebagai seseorang ulama yang dihormati dan dibutuhkan masyarakat, Mbah Putri meninggal dunia tidak meninggalkan harta benda dan sesuatu yang bersifat material. Beliau adalah sosok yang tidak suka menimbun kekayaan. Jika dilihat dari kemustajaban doanya, hampir setiap hari beliau menerima tamu dengan berbagai maksud. Ada yang datang dengan segala permasalahan dan meminta solusi untuk menyelesaikan masalahnya, ada pula yang datang sekedar meminta keberkahan doa dari Mbah Putri.
Di pesantren al-Hidayat dahulu setiap hari selalu ada masyarakat yang sowan kepada Mbah Ma’shoem dan Mbah Putri. Meskipun yang berdatangan statusnya adalah tamu Mbah Ma’shoem, tetapi oleh Mbah Ma’shoem apabila masyarakat ingin meminta doa dianjurkan menghadap Mbah Putri. Sebagaimana yang dikutip dari Mbah Ma’shoem “Jaluk dongo ning Mbahmu wedok, , doaku ijeh manjur Mbahmu (minta doa saja ke Mbah Putri, doaku tidak lebih mustajab dibanding doa Mbah Putri). Setelah hajat masyarakat terpenuhi, tidak jarang dari mereka sebelum kembali pulang memberi buah tangan. Pemberian masyarakat yang lebih banyak berbentuk uang tersebut oleh Mbah Putri disedekahkan atau digunakan untuk keperluan pesantren, tidak pernah digunakan untuk kepentingan pribadi. Maka dari itu, setelah Mbah Putri wafat, tidak ada warisan berupa harta kecuali ilmu, pesantren dan berbagai pesan-pesan spiritual.
Mbah Putri dikenal luas sebagai seorang ahli ilmu yang disegani karena kebijaksanaanya. Dan hal tersebut mengundang banyak orang, baik yang beliau kenal ataupun yang sama sekali tidak dikenalinya untuk sowan. Umumnya mereka bertanya dan belajar tentang berbagai hal, juga mencari solusi atas persoalan yang tengah mereka hadapi. Tidak hanya soal hukum-hukum Islam, tidak jarang menyangkut persoalan pribadi. Oleh masyarakat yang mendatangi beliau, setiap kali meminta keberkahan doa, Mbah Putri dengan senang hati mendoakannya dan tidak pernah melupakan doa andalan yaitu doa akasah. Doa ini oleh Mbah Putri didapat atau ijazah dari Rasulullah SAW.
Pernah suatu ketika Mbah Putri/ Mbah Nuriyyah berkunjung ke masyarakat dan setiap kali berdoa selalu memanjatkan doa andalan tersebut sehingga membuat pendereknya kelelahan mengamininya. Lain halnya dengan Mbah Putri yang tetap mengangkat tangannya untuk berdoa hingga doa yang panjang lafalnya tersebut terselesaikan hingga akhir.
Keberkahan serta kemustajaban doa Mbah Putri diakui sendiri oleh Mbah Ma’shoem. Sehingga ketika ada santri atau masyarakat yang meminta doa kepada Mbah Ma’shoem dan pada saat itu ada Mbah Putri, maka Mbah Ma’shoem memerintah meminta doa ke Mbah Putri saja kecuali dalam amaliyah sholawat nariyyah. Dalam pandangan Mbah Ma’shoem, amalan sholawat nariyah Mbah Putri lebih mujarab nariyahnya Mbah Ma’shoem. Terdapat perbedaan redaksi antara sholawat nariyah yang diamalkan Mbah Putri dengan yang diamalkan Mbah Ma’shoem, perbedaan itu terdapat pada pelafalan kata اَلَّذِى. Sholawat nariyyah yang diamalkan Mbah Ma’shoem redaksinya tanpa ada lafal اَلَّذِى dan setiap orang yang membacanya harus dalam keadaan suci atau mempunyai wudhu. Sedangkan sholawat nariyyah yang diamalkan Mbah Putri sama seperti yang diamalkan masyarakat umum menggunakan kata اَلَّذِى. Untuk amalan ini dapat dilihat pada lampiran 4
Catatan Kecil Kehidupan Ibu Nyai Hj. Nuriyyah Ma’shoem
Sebagai pribadi muslimah, taat, tekun beribadah, serta kedekatannya kepada Allah SWT dan Rasulullah SAW, Mbah Putri memiliki beberapa kekeramatan, sebagaimana yang dikisahkan beberapa alumni ataupun keluarga yaitu:
Diceritakan Bapak Shodiqin saat masih nyantri di al-Hidayat sekitar tahun 1979, beliau pernah pada suatu kesempatan di pagi hari setelah selesai ngaji subuh bersama Mbah Ma’shoem, sebagaimana kebiasaan para santri putra selesai kegiatan pergi untuk sekedar njagong sambil ngopi dengan sesama santri di warung dekat pondok. Pada waktu itu Pak Shodiqin melewati depan ndalem dan berpapasan dengan Mbah Putri. Seketika itu Mbah Putri memanggil dan bertanya kepadanya “Kowe nggowo duit sewu lee?” (kamu bawa uang seribu nak?). Dalam hati Pak Shodiqin kaget karena beliau memang saat itu kebetulan hanya membawa uang seribu dan Mbah Putri dengan jelas mengetahui jumlah nominal tersebut. Langsung saja Pak Shodiqin mengiyakan pertanyaan Mbah Putri, kemudian Mbah Putri meminta uang yang dibawa Pak Shodiqin dan menerimanya sambil berkata “InsyaAllah mengko diganti lipat sepuluh karo GustiAllah” (Insyaallah nanti diganti Allah SWT sepuluh kali lipat). Dari peristiwa itu Pak Shodiqin terheran dan kembali ke kamarnya untuk mengambil uang dan pergi ke warung menemui teman-temannya.
Tepat keesokan harinya Pak Shodiqin mendapat rezeki uang sepuluh ribu, jumlah yang sama persis dengan apa yang diucapkan Mbah Putri. Adapun pembuktian ucapan Mbah Putri ini melalui jalan bahwa Pak Shodiqin diberi uang oleh teman perempuannya, Mbah Khofifah dari Bekasi yang mendapatkan untung besar setelah menjual tanah. Kemudian Mbah Khofifah pergi ke Lasem untuk sowan sekaligus bersedekah atas keuntungan yang diperoleh kepada keluarga al-Hidayat termasuk kepada Pak Shodiqin. Pada saat itu juga Bapak Shodiqin teringat ucapan Mbah Putri pada hari ketika uangnya diminta oleh beliau.
Mbah Putri diberi ijazah langsung oleh baginda Rasul yaitu doa akasah yang selalu dibacakan saat mengunjungi santri atau dalam kesempatan yang lain.
Cerita yang disampaikan oleh KH. M. Zaim Ahmad yaitu ketika acara rutinan pesantren al-Hidayat yang diadakan setiap tanggal 6 Maulud pada acara peringatan Maulid Nabi sekaligus haul KH. Ma’shoem Ahmad.
Pada peringatan Maulid Nabi di pondok al-Hidayat tahun 1982, hadir dalam acara tersebut santri-santri serta berbagai alumni dari al-Hidayat termasuk KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH. Mahrus Ali Kediri, dan Habib Edrus bin Hud dari Jawa Timur. Setelah selesai acara para tamu berpamitan kepada Mbah Putri termsuk KH. Abdul Hamid Pasuruan.
Suatu hal aneh terjadi pada KH. Abdul Hamid Pasuruan yang saat itu berpamitan dengan Mbah Putri dengan salaman sambil mencium lutut Mbah Putri ( Hal ini karena KH.Abdul Hamid pernah dinikahkan dengan salah satu cucu Mbah Putri, sehingga tidak membatalkan wudhu, juga KH.Abdul Hamid adalah keponakan sepupu dari Mbah Putri ), kemudian pada saat itu Mbah Putri menangis sambil berkata “Ojo kesusunan mid…Hamid” (jangan buru-buru Hamid). Hal tersebut disaksikan langsung oleh KH. Ahmad Syakir, KH. Zaim Ahmad, KH Mahrus, serta Habib Edrus. Mendengar ucapan Mbah Putri tersebut kemudian KH. Hamid menjawab “Mboten Mbah…kulo sampun cekap” ( tidak Mbah…saya sudah cukup).
Dari peristiwa Mbah Putri dengan KH. Abdul Hamid Pasuruan tersebut siapa yang menyangka jika itu adalah pamitan kematian. Hal itu tidak biasa, karena sebelum-sebelumnya Mbah Putri tidak pernah sampai menangis saat KH. Hamid Pasuruan berpamitan pulang. Setelah berpamitan, rombongan dari Pasuruan melakukan perjalanan pulang. Sesampainya di Pasuruan, Mbah Hamid jatuh sakit dan dilarikan ke rumah sakit Islam di Surabaya. Hingga akhirnya pada tanggal 9 Rabiul Awal 1403 H bertepatan dengan 25 Desember 1982 KH Abdul hamid Pasuruan meninggal dunia.
Keulamaan Ibu Nyai Hj. Nuriyyah Ma’shoem
Meskipun tidak pernah belajar di pondok pesantren, tetapi Hj. Nuriyyah Ma’shoem atau yang akrab di panggil Mbah Putri memiliki kemampuan dalam bidang keagamaan yang tidak bisa diragukan. Dari kecil hingga memasuki usia remaja dasar-dasar ilmu keagamaan Mbah Putri diterima dari orang tuanya yang merupakan tokoh agama di daerah Lasem pada saat itu. Kemudian setelah dipersunting oleh KH. Ma’shoem Ahmad tanggung jawab atas pendidikan serta kehidupan Mbah Putri berada di tangan suami.
Karena keberkahan dari orang tua, kebersihan hati, kegigihan dalam mencari ilmu serta keikhlasan mengamalkan setiap ilmu yang dimiliki membuat Mbah Putri dengan mudah memahami setiap ilmu yang beliau terima dari orang tua serta suami.
Hasil didikan langsung dari Mbah Ma’shoem mampu membentuk Mbah Putri menjadi sosok muslimah yang salehah, pemimpin pesantren yang berwibawa karena ilmu yang dimiliki serta sebagai sosok pendidik yang menguasai banyak ilmu keagamaan dan kepekaan terhadap kehidupan sosial. Penghargaan yang besar terhadap ilmu pengetahuan memunculkan prinsip dalam diri Mbah Putri untuk terus menuntut ilmu di tengah kesibukan beliau sebagai seorang istri dan pengasuh pesantren meskipun usia sudah tua.
Kuatnya hafalan, kecerdasan, rajin serta kebersihan hati yang dimiliki membuat Mbah Putri dengan cepat menyelesaikan beberapa kitab seperti Tafsir Jalalain, Fathul Mu’in, Riyadhush Shalihin, kaidah tentang ilmu al-Quran, dan lain-lain. Dalam membimbing santri dan masyarakat beliau lebih memusatkan perhatiannya dalam memberi pengajaran di bidang al-Qur’an dan nama pengajian al-Qur’an yang diampu beliau yaitu pengajian al-Qur’an bil-makna.
Mbah Putri sosok yang tidak hanya mempunyai ilmu semata, lebih dari itu beliau mampu menerapkan keilmuan yang dimiki menjadi tingkah laku yang mencerminkan akhlak yang baik sehingga patut dijadikan sebagai suri tauladan. Akhlak yang ada dalam diri Mbah Putri yaitu antara lain:
Lemah lembut
Mbah Putri dalam menyebarkan ajaran Islam dan menuntun umat, beliau mengedepankan sikap lemah lembutnya. Mbah Putri dalam bersikap dengan siapapun baik itu orang muslim maupun non-muslim Tionghoa yang ada di Lasem dan sekitarnya lebih mengedepankan sikap lemah lembut dan menunjukkan kasih sayangnya.
Kasih sayang Mbah Putri tidak hanya dicurahkan kepada keluarga, tetapi kepada semua santri dan masyarakat yang sudah dianggap selayaknya sebagai keluarga sendiri. Karena sifatnya yang tidak pernah marah dan suka becanda membuat orang yang berada di sekeliling beliau kian hormat dan mencintainya. Dengan kepribadian ini pula membuat berbagai tipikal orang yang datang mengunjungi beliau merasa bahwa Mbah Putri adalah sosok yang tepat untuk diharapkan nasihatnya dalam berbagai persoalan yang dihadapi dan dinanti
Sikap Mbah Putri yang demikian memunculkan suatu karisma tersendiri bagi masyarakat yang mengenalnya. Masyarakat yang dekat dengan Mbah Putri tidak merasa sungkan untuk mengadukan berbagai persoalan hidup yang dihadapi. Lebih dari itu, masyarakat yang mengunjungi beliau tidak hanya dari kalangan muslim tetapi juga etnis Tionghoa walaupun hanya sekedar bertanya tentang penyelesaian suatu permasalahan.
Pengajian Mbah Nuriyyah atau Mbah Putri dinamakan pengajian al-Qur’an bil makna karena dalam pembelajaran Mbah Putri membawa al-Qur’an (bukan kitab tafsir) yang dimaknai langsung ayat per ayat oleh beliau sesuai kemampuan dan pemahaman yang dimiliki. Dan menurut santri serta masyarakat pemaknaan yang dilakukan Mbah Putri sama persis dengan kitab tafsir Jalalain, sehingga masyarakat berasumsi bahwa beliau seorang hafidzah tafsir jalalain. (Badruddin Hsubky, Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman, hlm. 45).
Walaupun Mbah Putri sudah menikah, beliau tetap menjalani aktifitasnya mengajar di pesantren dengan mengasuh santri putri sebanyak 50 orang dan sekitar 450 santri putra pada tahun 1957 M.
Secara bersama-sama semua santri wajib mengikuti kegiatan yang diadakan di pesantren seperti pengajian kitab kuning, kegiatan simaan al-Quran, barjanji setiap malam Jumat, istighosah setiap hari minggu wage, dan lain sebagainya tanpa diskriminasi.
Baik pesantren putra maupun putri al-Hidayat bercorak pesantren tradisional dengan menggunakan metode pembelajaran model sorogan yang bersifat individual yaitu santri menghadap kiai seorang demi seorang dengan membawa kitab yang akan dipelajari. Sistem sorogan ini diterapkan Mbah Putri pada santri-santri huffadz, dimana untuk deresan (muroja’ah/pengulangan) ditangani Mbah Putri, sementara unda’an (ziyadah/tambahan) ditangani oleh menantu beliau (Nyai Faizah, istri KH.Ahmad Syakir).
Sedangkan model bandongan lebih bersifat pengajaran klasikal yaitu santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran. Mbah Putri dalam menerapkan sistem bandongan ini saat mengisi pengajian al-Qur’an bil makna kepada semua santri putra dan putri dengan memberikan pandangan-pandangan pribadi mengenai isi maupun bahasanya. Untuk yang belajar dengan Mbah Putri tidak hanya yang tinggal di pesantren, melainkan juga warga setempat yang datang ke pesantren pada saat pembelajaran di mulai atau disebut santri kalong.
Kiranya tidak berlebihan jika disebutkan bahwa yang menyelenggarakan pendidikan bagi perempuan pertama adalah Mbah Putri bersama-sama dengan Mbah Ma’shoem setidaknya untuk wilayah Lasem dan sekitarnya dengan mendirikan pesantren untuk perempuan dengan tetap dinamai sebagai pesantren al-Hidayat ditambah kata Putri.
Selain mengasuh pesantren dengan memberi pengajian kitab kuning, Mbah Putri juga memiliki majelis taklim setiap hari Jumat siang yang dilakukan di sekitar daerah Lasem dan khusus hari Jumat kliwon pengajian diadakan di kompleks pesantren al-Hidayat yang dihadiri ibu-ibu Muslimat daerah Lasem.
Banyak pondok pesantren yang kegiatannya menjadi surut dikarenakan wafatnya pimpinan pesantren. Namun hal ini tidak terjadi pada pondok pesantren al-Hidayat Lasem, karena selama kepemimpinan KH. Ma’shoem Ahmad beliau dibantu oleh istrinya yaitu Ibu Nyai Hj. Nuriyyah Ma’shoem, maka setelah wafatnya Mbah Mbah Ma’shoem kepemimpinan pesantren diambil alih oleh Mbah Putri dibantu oleh putra ketiga yaitu KH. Ahmad Syakir sehingga optimalisasi pesantren dan amanat mengemban pesantren (termasuk peningkatan kualitas santri) ke arah yang lebih baik tetap terjaga. Sebagai penerus pimpinan pesantren al-Hidayat putra dan putri, dalam kegiatan kepemimpinannya Mbah Putri menjalankan beberapa bentuk kegiatan sebagai pemimpin yaitu:
a)Menjalankan dan meneruskan program-program yang sudah ada.
b)Melakukan pembenahan-pembenahan yang dirasa perlu seperti menyangkut perbaikan gedung, fasilitas, tata tertib, dan lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan santri sehingga santri merasa nyaman dalam belajar di pesantren
c)Mengadakan kegiatan keagamaan untuk meningkatkan jiwa spiritual santri seperti kegiatan barjanji dan semaan al-Qur’an setiap malam Jumat oleh santri putra dan putri di aula sekaligus diikuti semua pengurus pesantren.
d)Setiap Jumat siang mengisi pengajian di masyarakat dengan menghadiri pengajian muslimat yang ada di sekitar Lasem.
e)Pengelolaan pesantren dilakukan Mbah Putri atas kesepakatan bersama ustaz dan pengurus dalam struktur kepemimpinannya. Hal ini dilihat dari peningkatan kualitas sumber daya yang dimiliki seperti peningkatan hasil usaha sendiri (koperasi pondok), dan pengembangan gedung pesantren dengan penambahan kamar-kamar santri.
f)Pola kepemipinan Mbah Putri bersifat demokratis terlihat dalam memutuskan segala sesuatu yang berkaitan dengan pengelolaan pesantren, setiap permasalahan selalu diputuskan dengan musyawarah bersama pengurus dan perwakilan santri. Mbah Putri tidak segan meminta pendapat para santri sehingga santripun merasa nyaman, dihargai, dan dekat dengan beliau.
g)Keberhasilan kepemimpinan Mbah Putri terhadap pesantren dapat dilihat dari munculnya berbagai generasi pemimpin baru yang sanggup melanjutkan amanat pesantren dengan prinsip menjaga atau mempertahankan sesuatu. Beberapa alumni pesantren al-Hidayat yang menjadi ulama besar dan tokoh masyarakat antara lain KH. Abdul Hamid Pasuruan, KH. Abdullah Faqih (pengasuh pesantren Langitan Jawa Timur), KH. Ali Ma’shoem (pengasuh pesantren Krapyak, Yogyakarta), KH. Prof. Dr. Mukti Ali pernah jadi Menteri Agama, KH. Ahmad Saechu pernah menjadi Ketua DPR GR.
Pondok pesantren al-Hidayat didirikan oleh KH. Ma’shoem Ahmad pada tahun 1916 M di desa Soditan Kecamatan Lasem Rembang. Pada awal pendiriannya, pesantren al-Hidayat diperuntukkan bagi laki-laki dengan salah satu maksud Mbah Ma’shoem untuk mengumpulkan massa guna melawan penjajah selain tujuan dakwah dan penyebaran ajaran Islam. Hingga pada akhirnya karena makin berdatangan kaum perempuan yang ingin mempelajari Islam kepada Mbah Putri dan Mbah Ma’shoem, maka didirikanlah pesantren al-Hidayat Putri pada tahun 1940 M.
Memberikan beberapa amalan keseharian untuk diamalkan santri seperti sholawat nariyyah yang dibaca perhari sebanyak 333 kali, doa akasah yang merupakan doa andalan Mbah Putri, bacaan dzikir setelah salat, serta beberapa ijazah Mbah Putri berupa doa-doa dalam menghadapi suatu persoalan hidup.
Nasihat-nasihat yang selalu di ingatkan oleh Mbah Putri kepada santri agar selalu di pegang dan diamalkan yaitu tekun mengulang-ulang pelajaran, tidak membedakan antar teman, selalu membantu orang yang kesusahan, menjaga silaturahmi kepada siapapun tanpa membeda-bedakan kalangan, etnis atau agama.
Mbah Putri di pondok pesantren al-Hidayat terlibat langsung dalam proses pengajaran pada santri putra dan putri sekaligus secara khusus pengajaran pada santri huffadz. Dalam memberi pembelajaran kepada santri Mbah Putri mempunyai spesialisasi dalam pengajian al-Qur’an, keterlibatan dalam pembelajaran dapat dilihat dari:
a)Dalam pembelajaran Mbah Putri menggunakan metode bandongan yang diikuti oleh seluruh santri baik putra maupun putri dengan tidak menerapkan sistem kelas, hanya dipisah dengan satir. Pengajaran ini disebut pengajian al-Qur’an bil-makna dilakukan di aula pesantren pada pagi hari setelah kegiatan jamaah subuh.
b)Metode sorogan diterapkan Mbah Putri pada santri putri yang murojaah al-Qur’an menghadap beliau seorang demi seorang selesai salat maghrib. Metode ini juga diperuntukkan bagi santri huffadz, kemudian Mbah Putri melakukan penilaian dari segi lafal dan hukum bacaan.
Bentuk peran Mbah Putri kepada santri dilakukan dengan sering terjun langsung di tengah-tengah santri mengontrol kebutuhan yang diperlukan santri dibantu oleh pengurus. Bersama ustaz serta pengurus Mbah Putri memenuhi semua kebutuhan santri dengan memberi fasilitas baik fisik maupun nonfisik Adanya kursus bahasa Arab dan Inggris yang diampu oleh KH. Mustofa Bisri atas permintaan Mbah Ma’shoem dan Mbah Putri.
Lasem, 20 Oktober 2020
(Manaqib disarikan oleh Abu Royhan dari berbagai sumber)