Sedang Membaca
Mo Salah, Bukan Sekadar Pesepakbola Biasa  
Hasna Azmi Fadhilah
Penulis Kolom

Peneliti dan pemerhati politik yang tinggal di Jatinangor Sumedang. Bisa dijumpai di akun Twitter @sidhila

Mo Salah, Bukan Sekadar Pesepakbola Biasa  

Emkc05yu0aiulfs

If he scores another few

Then I’ll be Muslim, too

If he’s good enough for you

He’s good enough for me

Sitting in a mosque

That’s where I wanna be

 

Jika ia mencetak beberapa gol lagi

Aku nanti akan menjadi muslim juga

Jika ia cukup baik bagimu

Ia cukup baik bagiku (juga)

Duduk di masjid

Itu lah tempat dimana aku akan berada

 

Nyanyian tersebut diciptakan oleh penggemar klub sepakbola Liverpool untuk laki-laki yang terlahir dengan nama lengkap Mohamed Salah Hamed Mahrous Ghaly, atau yang akrab kita kenal dengan panggilan Mo Salah. Lirik yang menekankan pada agama pesepakbola sebenarnya hal yang jarang terdengar di liga premier Inggris, namun kehadiran Salah dengan selebrasi sujudnya mengubah hal itu, terutama karena ia adalah salah satu pemain sepakbola langka di Liga Inggris, bahkan Eropa. Kenapa langka? Karena ia menjadi figur anti-mainstream dari stigma yang sering dilekatkan kepada atlet sukses dan kaya di Premier League: doyan pesta, kerap berfoya-foya, dan gonta-ganti wanita. Dengan perkiraan gaji sekitar 200 ribu poundsterling atau Rp 3,7 milyar per pekan, dalam wawancaranya dengan majalah Times, pria berkebangsaan Mesir ini justru tidak suka keluar rumah ketika memiliki waktu luang, ia lebih memilih menghabiskan masa senggangnya dengan anak perempuannya, Makkah. Dari segi penampilan pun, ia tak banyak berubah, ia masih sama seperti Salah yang dulu bermain di El Mokawloon: membiarkan rambut keriting dan jenggot tebalnya tumbuh lebat seperti kebanyakan pria Arab lainnya. Mengenai hal tersebut, Salah punya alasannya sendiri, “I don’t have tattoos, I don’t change hairsyles, I don’t know how to dance. I just want to play football (saya tak memiliki tato, saya (pun) tidak mengganti gaya rambut, (bahkan) saya tidak tahu bagaimana caranya berdansa. Saya hanya ingin bermain sepakbola).”

Pribadi Mo Salah yang sederhana dan tidak neko-neko membuat orang gampang jatuh hati padanya. Semenjak pindah ke Liverpool dari AS Roma, laki-laki yang tumbuh besar di desa kecil bernama Najrij, sekitar 150 kilometer dari Kairo ini, telah menjelma sebagai idola bagi fans berat Liverpool dan umat islam pecinta sepakbola yang telah lama kehilangan panutan di dunia olahraga. Kekaguman publik penggemar bola padanya bukan tanpa alasan. Selain karena karakternya yang ramah dan terbuka kepada siapa saja, prestasinya di Liverpool yang mencatatkan beberapa torehan ciamik, membuat ia semakin dielu-elukan. Bergabung dengan The Reds di bulan Juni 2017, ia sukses mencetak 44 gol dan membawa Liverpool ke laga puncak liga Eropa, meski kala itu timnya harus mau mengakui keunggulan Real Madrid dengan skor 3-1. Musim berikutnya, Salah konsisten tampil gemilang dan akhirnya berhasil membawa Liverpool memenangkan EUFA Champions League dari Tottenham Hotspur di Madrid, Juni 2019 silam. Walau di liga lokal, timnya kurang beruntung dan harus puas menempati urutan kedua klasemen di bawah Manchester City. Tidak hanya membantu Liverpool meraih kejuaraan Eropa, Salah baru-baru ini juga berjasa mengantarkan klubnya memenangkan kejuaraan dunia antar klub FIFA dan meraih the Golden Ball award pada turnamen sama.

Baca juga:  Rama Mangun dan Gus Dur: Persahabatan Antariman

Meski menuai banyak prestasi setelah berlabuh ke Anfield, namun dalam tiga bulan terakhir, pemain yang dijuluki ‘Egyptian Messi’ ini banyak dikritik oleh fans Merseyside karena dinilai terlalu egois pada beberapa pertandingan, termasuk ketika Liverpool berhadapan dengan Leicester (26/12). Keinginan Salah yang menggebu-gebu untuk mencetak gol bahkan sampai membuat pelatih Liverpool, Juergen Klopp emosi dan meneriakinya langsung dari pinggir lapangan.  Kekecewaan Klopp pada Salah kemudian berujung pada digantinya pemain bertinggi 1,75 meter tersebut pada menit ke-70 saat Liverpool unggul sementara dengan kedudukan 1-0.

Dari pihak eksternal Liverpool, mantan pemain Manchester City yang kini bermain untuk Anderlecht, Samir Nasri, juga turut buka suara. Ketika ditanya oleh Le Buteur, antara Mahrez dan Salah, pemain mana yang lebih cocok menjadi tandemnya, Nasri memfavoritkan Mahrez dibandingkan Salah. Ia menyebut Salah hanya bercita-cita mencetak gol dan mengejar statistik, “Mahrez is a collective player, while Salah is much more an individual player. He only aspires to score goals. I wouldn’t say Salah is selfish, but he runs after goals and statistics.”

Sikap individualis Salah sebenarnya bukan kali ini saja menerima kritik. September lalu, ia juga terkena semprot oleh Sadio Mane karena ia tidak memberi pemain asli Senegal tersebut umpan taktis, dan terlalu ngotot untuk mencatatkan namanya sendiri di papan skor. Padahal posisi Sadio saat itu jauh lebih bebas dibandingkan Salah yang dijaga ketat. Walau perseteruan keduanya kemudian dapat dileraikan oleh Klopp, namun egoisme Salah bila tidak diatasi secara cepat bisa menjadi bom waktu tersendiri bagi Liverpool, terutama ketika mereka bertekad menghentikan puasa gelar liga Inggris selama hampir tiga dekade.

Baca juga:  Gus Baha dan Otoritas Keilmuan Ulama NU

Selain kontroversi gaya permainannya yang dinilai makin cenderung egois, di luar dunia sepakbola, ia beberapa kali dihujat follower muslimnya, termasuk saat ia, anak, dan istrinya berpose di depan pohon natal pada tanggal 25 Desember lalu. Foto ketiganya yang dipublikasikan melalui Instagram dianggap sebagai bentuk perayaan hari raya umat kristiani, dan tidak mencerminkan potret keluarga muslim ideal.

Postingan pohon natal Salah bukan satu-satunya yang menyulut pro-kontra. Saat ia dinobatkan sebagai “GQ Middle East Man of the Year” dan berpose dengan model asal Brazil, Alessandra Ambrosio, ia menuai kritik pedas dari fans muslimnya yang menganggap foto tersebut terlalu vulgar. Dengan status Salah sebagai pria beristri, photoshoot tersebut menciderainya citranya sebagai pria religius dan suami teladan.

Salah sendiri sepertinya tidak terlalu menganggap serius kritikan yang dilontarkan padanya. Di lain waktu, ia dengan santai menanggapi komentar fans yang tak suka ia dipeluk oleh penggemar perempuannya. Bahkan ketika foto tersebut viral dan sampai kepada ibunya yang lalu segera memarahinya lewat WhatsApp, Salah kemudian hanya membubuhkan emoji tertawa terbahak-bahak dan membagikan screenshot percakapan tersebut melalui Instagram story.

Di balik berbagai tindakan yang menyulut pro kontra tersebut, Salah banyak menyimpan sisi protagonis yang menuai gita puja. Dari hasil wawancara ayah Salah dengan jurnalis Al-Masry Al-Youm, Salah mendonasikan banyak uang untuk berbagai pembangunan sekolah dan rumah sakit di Basyoun, kampung halamannya. Di daerah yang 65% penduduknya hidup dalam kemiskinan ini, Salah mendanai sendiri beberapa proyek kemanusiaan, termasuk konstruksi Al Azhar Institute dan pengadaan ambulans. Tidak hanya itu, Salah juga membantu 450 keluarga secara personal dengan memberikan mereka upah bulanan dan menyumbang 300 ribu US dollar kepada pemerintah untuk mengatasi krisis finansial Mesir. Tak heran, ketika pemilihan presiden langsung, nama Salah justru malah mencuat di antara surat-surat suara, bukan kandidat yang tercantum namanya di kertas.

Baca juga:  Gus Dur, Romo Sindhu, dan Sepak Bola

Kepopuleran dan kedermawanan Salah pun memantik apresiasi gubernur Gharbia, “Salah adalah panutan bagi kawula muda, ia dicintai oleh jutaan manusia di dunia karena ia selalu menebarkan kebahagiaan di wajahnya. Ia juga duta terbaik Mesir untuk dunia saat ini.”

Pesona Salah di dalam dan luar lapangan tidak hanya sebatas pada bantuan kemanusiaan dan torehan prestasi di klub sepakbola Liverpool, baru-baru ini laporan riset tim peneliti Stanford University yang bertajuk “Can Exposure to Celebrities Reduce Prejudice? – The Effect of Mohamed Salah on Islamophobic Behaviors and Attitudes”, menunjukkan bahwa terdapat korelasi keberadaan Mohamed Salah dengan penurunan kasus Islamophobia di Merseyside.

“Kami menemukan fakta bahwa di Merseyside terjadi penurunan kasus ujaran kebencian hingga 18,9 persen setelah Salah bergabung, dibandingkan dengan data jika ia tidak bergabung dengan Liverpool,” ungkap penelitian itu. Riset ini juga menemukan bahwa jumlah tweet bernada anti-muslim dari suporter Liverpool juga menurun dari 7,2 persen menjadi 3,4 persen.

Ujaran kebencian fans Liverpool kepada umat muslim yang ditandai dengan hadirnya Salah menunjukkan bahwa dakwah tidak melulu bisa dilakukan melalui mimbar-mimbar di masjid atau musala, Salah sebagai atlet professional membuktikan bahwa menyebarkan nilai-nilai islam pun bisa dilakukan melalui sepakbola! (RM)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top