Fuji Nur Iman
Penulis Kolom

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, minat kajian Aqidah dan Filsafat Islam Konsentrasi Studi Alquran dan Hadis.

Mengurai Kata ‘Al-Muhaimin’ dalam Alquran

Kata ‘al-muhaimin’ terulang dua kali dalam Alquran; QS. Al-Hasyr ayat 23 dan QS. Al-Maidah ayat 48. Yang pertama lebih tepat jika dimaknai sebagai bagian dari nama-nama Allah SWT atau yang lebih dikenal dengan Asmaul Husna. Menurut Al-Ghazali al-muhaimin dalam arti ini Allah memperhatikan makhluk-makhluk-Nya seperti mengurusi tindakan-tindakan, rezeki, dan saat kematian mereka. Dia memperhatikan mereka dengan pengetahuan-Nya, milik-Nya, dan perlindungan-Nya.

Alquran sendiri menegaskan dirinya sebagai al-muhaimin hanya dalam satu ayat yakni QS. Al-Maidah: 48. Sebagaimana dikatakan Sa’dullah Afandy, dikisahkan ayat ini turun kepada Rasulullah Saw untuk memutuskan perkara peradilan, yang diajukan oleh Ahli Kitab dan non-Muslim yang meminta arbitrase kepada Nabi agar diputuskan berdasarkan ketetapan Alquran. Dengan diturunkannya ayat tersebut, Nabi menjelaskan keragaman syariat yang diturunkan Allah kepada masing-masing umat sesuai dengan kondisi zaman dan situasi yang berbeda, sedangkan pada masa Nabi, Allah  menetapkan syariat yang berdasarkan Alquran.

Menurut M. Quraish Shihab, kata al-muhaimin dengan tolok ukur  sebenarnya belum sepenuhnya tepat. Lanjut beliau, kata tersebut terambil dari kata haimana yang mengandung arti kekuasaan, pengawasan, serta wewenang atas sesuatu. Menurut At-Tusi, dalam tafsirnya bahwa asal kata muhaimin adalah muaiminan. Pendapat yang sama juga dikatakan oleh As-Samarqandi dalam tafsirnya.

Makna kata al-muhaimin digambarkan oleh At-Thabari sebagaimana kedekatan seorang laki-laki terhadap sesuatu. Sehingga seolah dia menjaganya. Senada dengan At-Thabari, Imam Fakhruddin ar-Razi juga menyuguhkan sebuah pendapat menurut Imam Kholil dan Abu Ubaidah.

Mereka berpendapat bahwa makna kata tersebut adalah seperti seorang laki-laki yang menjaga sesuatu. Sedang menurut Sayyid Muhammad Rasyid Ridho kata tersebut bermakna sebagai penjaga dan saksi atas Al-Kitab Al-Ilahiyyah (kitab samawi).

Baca juga:  Menafsirkan Alquran Autodidak

Menurut Mohammad Hassan Khalil kalangan pluralis soteriologis kerap mengacu ayat tersebut untuk mengindikasikan bahwa Tuhan tidak pernah bermaksud menggiring manusia menjadi satu umat dengan hukum tunggal. Seperti halnya Mohammad Hassan Khalil, Abd. Moqsith Ghazali juga berpendapat bahwa ayat tersebut memperlihatkan keragaman jalan yang diberikan Allah kepada manusia.

Secara umum, sebagaimana dikatakan Al-Maraghi, QS. Al-Maidah:  48 merupakan salah satu indikasi beragamnya syariat setelah sebelumnya diturunkan Taurat dan Injil kepada Bani Israil. At-Thabatabai  mengomentari ayat tersebut, “Sesungguhnya Allah menyuruh hamba-Nya beribadah untuk satu agama, yaitu tunduk kepada-Nya. Namun untuk mencapai itu, Allah memberikan jalan yang berbeda-beda dan membuat sunnah beraneka macam bagi hamba-hamba-Nya sesuai perbedaan kesiapan mereka dengan keragamannya.”

Pandangan lain diungkapkan Sayyid Quthb. Menurutnya, ayat tersebut justru penegasan atas risalah Islam sebagai syariat pamungkas, yang dengan sendirinya menolak segala bentuk hukum-hukum jahiliah. Quthb menjelaskan bahwa risalah Muhammad adalah syariat yang disiapkan untuk seluruh umat manusia, yang senantiasa diberlakukan bagi kehidupan manusia di akhir zaman.

Senada dengan Quthb, Taqiyuddin an-Nabhani juga berpendapat sama. Menururtnya, kedudukan Alquran sebagai al-muhaiminan sebagaimana tertera dalam QS. Al-Maidah: 48, merupakan penguasaan Alquran terhadap kitab-kitab sebelumnya dalam arti me-nasakh (membatalkan berlakunya) syariat sebelumnya.

Baca juga:  Kaidah Al-Itsar dan Nasihat Gus Dur

Dalam pandangan Ibn Abbas dan As-Sadiyyi, sebagaimana dikutip At-Thabari, kedudukan Alquran sebagai muhaimin adalah dalam arti sebagai saksi atas kitab-kitab terdahulu. Selain itu, terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa kedudukan Alquran sebagai muhaimin adalah dalam arti sebagai musaddiq. Pendapat tersebut dinarasikan At-Thabari dari Yunus dari Ibn Wahab dan berujung pada Ibn Zaid.

At-Thabari sendiri berpendapat bahwa kedudukan Alquran sebagai muhaimin adalah bahwa Allah menurunkan kitab kepada Nabi yang membenarkan kitab-kitab sebelumnya. Selain itu, at-Thabari  juga berpendapat bahwa kitab ini (Alquran) juga sebagai saksi atas kebenaran kitab-kitab sebelumnya bahwa kitab-kitab tersebut datang dari Allah mempercayai keberadaannya dan menjaga kandungannya.

Eksistensi kitab-kitab terdahulu diakui oleh Alquran dalam arti ini. Alquran tidak menafikkan bahwa nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad  tidak menerima wahyu. Alquran justru menegaskan bahwa nabi-nabi sebelum Muhammad saw seperti Nabi Musa, Nabi Daud, dan Nabi Isa, juga menerima wahyu yang serupa dengan Nabi Muhammad. Keberlakuannya pun tidak serta merta dihapus begitu saja. Hanya saja, sebagain besar mufasir yang mengatakan demikian.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
4
Senang
0
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top