Kata diwan dalam bahasa Arab kerap diartikan sebagai kantor. Diwan al–markaziy diartikan sebagai kantor pusat. Kata diwan dalam bahasa Arab sebenarnya juga berarti kumpulan syair-syair. Seperti yang terkenal al–diwan al–shafi’i yang berarti kumpulan syair-syair Imam Syafii. Kata diwan juga bisa diartikan sebagai dipan. Penggunaan satu kata dengan berbagai arti seperti ini, adalah hal yang lumrah dalam bahasa Arab. Maka dalam mengartikan kalimat bahasa Arab harus pula melihat konteks pembicaraan (siyaq al–kalam).
Penggunaan dan pendirian kata diwan sebagai sebentuk jawatan lembaga pemerintahan di dunia Islam dimulai sejak zaman khalifah rasulillah kedua, Umar bin Khattab. Seorang khalifah dengan prestasi penaklukan paling spektakuler diantara al–khulafa al–rasyidun yang lain. Penaklukan demi penaklukan itu sedikit demi sedikit menebalkan kantong kas negara, tentu setelah dibagikan rampasan perang sesuai dengan aturan semestinya. Namun pada sebuah titik setelah dibagikan seringkali menyisakan masih banyak harta.
Seperti diriwayatkan oleh Hasan, bahwa Umar pernah menulis surat kepada Hudaifah untuk memberikan harta rampasan perang kepada para pasukan. Hudaifah menjawab surat itu dengan mengatakan, “Kami sudah melakukan itu, namun masih menyisakan banyak sekali harta.” Maka Umar pun membalas surat itu dengan mengatakan, “Sesungguhnya harta fa’i itu adalah harta rampasan yang disediakan Allah bagi mereka. Bukan untuk Umar maupun keluarga Umar. Maka bagilah kepada mereka.”
Namun penaklukan demi penaklukan yang dilakukan memantik kesadaran untuk mengatur pengeluaran negara lebih rapi. Terlebih ketika suatu saat Abu Hurairah membawa harta rampasan perang dari Bahrain yang ketika itu beribu kota di Hajar. Setelah bertanya tentang keadaan kaum muslim disana, Umar lalu bertanya pada Abu Hurairah. “Apa yang engkau bawa?”
“Lima ratus dirham,” jawab Abu Hurairah.
“Apa engkau sadar apa yang engkau katakan?,” tanya Umar.
“Ya, seratus dirham lima kali,” Abu Hurairah mengucapkan seratus lima kali.
“Kau mengantuk, sebaiknya kau kembali besok pagi,” kata Umar.
Esoknya ketika Abu Hurairah menghadap dan ditanya tentang harta yang dibawanya, Abu Hurairah tetap menjawab hal yang sama.
“Apakah itu baik (halal)?” tanya Umar.
“Aku tidak tahu,” jawab Abu Hurairah.
Dari sana Umar lalu naik ke atas mimbar dan memulai diskusi tentang cara penataan keuangan negara. Hal ini dilakukan setelah seseorang laki-laki memberikan usulan pendirian lembaga negara atau diwan. Ali bin Abi Thalib menyampaikan pendapatnya tentang usulan ini, “Bagikanlah setiap harta yang terkumpul setiap tahunnya tanpa ada sisa.” Sedangkan Ustman bin Affan berkata, “Sesungguhnya harta yang banyak akan membuat orang-orang senang, tetapi jika tidak dicatat siapa yang sudah menerima dan sesiapa yang belum. Maka akan menjadi masalah.”
Usul yang berbeda diberikan oleh Khalid bin Walid, “Aku telah pergi ke Syam dan melihat raja-raja mereka membuat lembaga keuangan dan merekrut pasukan. Maka buatlah lembaga keuangan dan rekrutlah pasukan.” Dalam riwayat yang lain disebutkan yang mengusulkan hal itu adalah al Mughirah bin al Walid adapula yang meriwayatkan bahwa usulan itu dari al Walid bin Hisyam.
Hal ini diceritakan oleh Imam al Mawardi dalam kitab al Ahkam al Sultaniyah juga oleh Imam as-Suyuthi dalam kitab Tarikh al–Khulafa. Juga dikutip oleh Dr. Musthafa Murad dan Sami bin Abdullah al Maghlouth dalam karangan mereka tentang Umar bin Khattab.
Sebelumnya Umar memerintahkan Ruzbih seorang arsitek Majusi kenamaan untuk mendesain dan membangun bangunan pusat perbendaharaan di Madinah dan beberapa pusat kota taklukan yang kelak dikenal dengan bait al mal. Namun setelah terjadi pencurian di kantor tersebut, Ruzbih diperintahkan Umar untuk mengggandengkan bangunan tersebut dengan masjid dengan alasan keamanan. Gedung itu pun akhirnya dijaga oleh sepasukan tentara. Ketika Sa’ad bin Abi Waqash mengajak Ruzbih menghadap Umar dan melihat kinerjanya yang baik, khalifah menghadiahinya gaji seumur hidup.
Dan ketika sistem diwan diterapkan, maka Umar memulai sistem akuntasi perbelanjaan pertama kali yang benar-benar dipegang dan dikuasai oleh orang Arab dalam sejarah. Sebelumnya sistem diwan hanya diterapkan oleh bangsa Persia dan Romawi. Adapun sistem diwan di Iraq dikendalikan oleh Persia karena Iraq merupakan jajahan Persia. Sedangkan diwan di Syam dikendalikan oleh Romawi karena Syam merupakan wilayah protektorat Romawi. Pertugas diwan yang kali pertama diangkat Umar adalah Uqail bin Abu Thalib, Makhramah bin Naufal dan Jubair bin Muth’im. Mereka semua berasal dari suku Quraisy.
Setelah diwan berdiri tugas lembaga ini diantaranya adalah memberi tunjangan kepada para muslimin berdasarkan nasab dan kedekatan dengan Rasulullah dan setelahnya berdasarkan sesiapa yang lebih dahulu masuk Islam. Dilanjutkan dengan peran orang tersebut bagi kemaslahatan umum serta mereka yang membutuhkan. Tugas diwan yang lain adalah mengurusi gaji tentara, pembangunan tempat untuk kemaslahatan umum, penggajian pekerja negara sebagainya.
Nah, yang paling menarik adalah asal-usul kata diwan ini yang diserap dari bahasa Persia. Menurut sejarah setidaknya ada dua versi tentang asal kata diwan sebagai sebuah lembaga negara dalam bahasa Persia seperti dituturkan oleh imam al-Mawardi. Pertama, suatu ketika Kisra (gelar bagi penguasa Persia) menjumpai para sekretarisnya sedang menghitung gaji mereka sendiri. Maka Kisra lantas berseru, “Diwanah (orang-orang gila).” Setelah sering digunakan maka huruf ha’ dihapus dan dilafalkan dengan diwan. Versi kedua, dalam bahas Persia diwan adalah nama dari setan. Ini disematkan kepada para juru tulis dan juru hitung dari lembaga tersebut, karena mereka sangat teliti dalam membaca sesuatu laporan yang tersirat maupun tersurat. Dan mereka mampu mengumpulkan laporan rumit yang tercerai berai.
Dalam bahasa Indonesia kita terjemahkan kata diwan dengan kantor, selebihnya kita serap kata tersebut menjadi dewan dan kita gunakan dalam Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya. Nah, dari sini bisakah kita sedikit berkaca bagaimana orang kantoran seringkali stress bahkan setengah gila dengan pekerjaannya? Mungkin menjawab kenapa mereka yang gila kerja (workaholic) hanya sering ditemui dari kalangan orang kantoran? Dan juga dapatkah kita fahami, kenapa sebagian anggota dewan kita kadang menjadi “gila” dengan mengkorupsi uang rakyat? Mungkin karena beban tulah nama dewan tersebut. Tapi ini hanya satu dari sekian kemungkinan. (RM)