Salah satu tokoh dalam sejarah masa keemasan keilmuan Islam yang sering diulang-ulang namanya adalah Abu Ja’far al-Manshur. Dia adalah pemilik Baitul Hikmah, sebuah laboratorium dan biblioteka maha besar di eranya. Obsesi dan kiprahnya dalam membangun dunia intelektual kerap mampir di telinga kita. Begitu berambisi dan begitu luar biasa.
Kendati demikian masih jarang yang memanjakkan telinga ketika dengan menceriterakan kecerdasan khalifah Abbasiyah itu dalam menangkap bait-bait syair. Kisah yang akan kita ceriterakan adalah tentang puisi. Tentang kesyahduan manik rantai huruf.
Huruf yang digurat dalam untaian syair atau puisi mendapat posisi romantis dalam banyak benak orang Arab sejak turun temurun. Sebelum Islam datang, bangsa Arab sudah punya tradisi pentas puisi di titik titik orang berkumpul. Salah satunya di pasar “Okaz”.
Bahasa Arab saat itu dalam level keemasan, sehingga tidak sepermili detik pun pernah terlintas dalam benak seluruh bangsa Arab, baik kaum urban ataupun baduwi, untuk meletakkan sebuah disiplin ilmu tentang gramatikal Arab atau sebuah disiplin ilmu untuk memahami sebuah sastra, baik picisan atau yang level papan atas.
Lahirnya seorang penyair dalam sebuah rumah akan diadakan syukuran besar. Ia mengangkat marwah keluarga. Ia yang menang dalam pentas puisi namanya akan semerbak dan disebut-sebut di seantero Jazirah.
Sesakral itu dunia sastra bagi bangsa Arab, khusunya puisi. Selain puisi tentu ada hal yang juga dianggap sebagai pelindung marwah sebuah suku. Kita menamainya perang. Ya, perang yang itu. Setelah bendar-bendar cayaha Islam menyinari Jaziah Arab yang begitu puitis tapi juga mencekam dengan kilat pedang yang sering mengkilat. Tradisi itu tetap lanjut, tapi dengan misi yang berbeda.
Ikut perang untuk melindungi agama adalah wajib, sang penyair Rasululullah bernama Hasan bin Tsabit tidak kuasa memegang pedang, terlebih mengayunkannya ke depan musuh, tapi ia menombak musuh-musuh dengan puisi-puisinya yang membunuh semangat mereka. Yang mencerai beraikan barisan mereka. Puisinya juga menggelorakan semangat pasukan. Sampai suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Serbulah mereka wahai Hasan (dengan puisi-puisimu), Jibril menyokongmu!”
Kala itu bahasa masih menjadi fitrah yang sangat alami. Sealami rona merah pipi nona saat disapa malu. Tanpa dibuat-buat. Sealami itu. Hingga kemudian bahasa mulai rusak, terlebih pasca penklukan (futuhat) besar-besaran era Khalifah Umar bin Khatab sehingga banyak imigran asing non-Arab ke ibu kota lambat laun mempngaruhi bahasa dan rasa penutur asli Arab dalam berbahasa.
Kendati demikian, dunia sastra tetap tidak terusik. Ia kian menjadi-jadi di kalangan pemuja. Ia kian bersemi di singgasana para khalifah dan pembesar pemerintah. Salah satu yang sangat gila dengan dunia puisi adalah Khalifah al-Manshur. Ia hafal ribuan bait puisi era jahiliyah sampai era Islam. Ia kerap mengundang para penyair besar untuk pentas puisi di istana.
Hingga suatu ketika, dengan kecerdasannya ia memperdaya para penyair. Ia mampu hafal puisi, kendatipun puisi itu panjang sekali, dengan sekali mendengar. Sekali lagi, hanya dengan sekali mendengar. Watak asli orang Arab memang daya ingat yang kuat. Kepiawaian itu ia gunakan untuk memperdaya banyak penyair.
Ia undang para penyair dengan janji memberi bayaran emas seberat bahan yang di atasnya ditulis sebuah puisi bagi yang puisinya melenakannya, dan tentu puisi karya sendiri. Bukan milik orang lain, apalagi sebagian plagiat. Supaya tambah meyakinkan tipu dayanya nantinya, al-Manshur juga memiliki dua budak yang satu mampu menghafal syair dengan dua kali mendengar, sedang yang satunya mampu menangkapnya di luar kepala dengan tiga kali mendengar. Kedua budak mendengar di balik selambu.
Ia panggilah satu-satu persatu penyair. Satu persatu penyair mulai mendeklamasikan puisinya. Al-Manshur menikmati. Sesekali menggerakkan tangannya ataupun menggoyangkan kepala atau kakinya. Namun dengan sekali pembacaan puisi yang dibuat oleh para penyair di depannya, ia sudah hafal di luar kepala. Setelah pungkas berdeklamasi, al-Manshur selalu berkata bahwa itu bukan syair karya penyair yang di hadapannya yang baru saja mementaskan puisinya itu. Ia mengaku sudah mendengar sebelumnya. Sebagai bukti bahwa syair-syair yang baru saja dibuat oleh para penyair itu adalah syair yang sudah didengar sebelumnya, ia lafalkan syair itu huruf demi huruf. Bait demi bait. Sepanjang apapun syair itu.
Jika penyair di depannya tidak percaya klaimnya, maka dipanggillah dua budak al-Manhsur yang satu hafal dua kali mendenar, dan budak yang kedua hafal setelah tiga kali mendengar. Dengan puisi yang telah dipentaskan oleh penulis dan penyair aslinya, lalu diulang oleh al-Manhsur, tentu budak pertama mampu mengulang puisi itu dengan menakjubkan. Sebagaimana budak kedua yang hafal setelah mendengar penyair asli, al-Manshur dan budak pertama membacakan.
Satu persatu penyair tidak percaya jika puisi yang baru saja ia tulis ternyata telah ada tiga orang yang sudah hafal seolah itu puisi plagiat. Mereka tidak percaya. Al-Manshur pun riang telah berhasil.
Para penyair mengaduh kebingungan setelah keluar istana. Mengumbar isykal dengan hati yang masyghul di tempat-tempat orang-orang kumpul.
Seorang bernama al-Ashma’i mendengar para penyair mendengung-ndengung sepulang dari istana. Al-Ashma’i yakin bahwa tidak lain ini hanya tipu daya al-Manshur.
Al-Ashma’i. Siapa yang tidak kenal begawan sastra ini? Ia telah melalang buana menjelajah dunia sastra lintas daerah. Semua orang mengakui bahwa “mata kaki” al-Ashma’i sangat tinggi dalam dunia sastra. Tiada seorang pun penyair hebat berani duduk lebih tinggi dari al-Ashma’i.
Tak lama setelah peristiwa di atas, al-Ashma’i menggubah sebuah puisi yang panjang dengan susunan huruf dan diksi yang begitu rumit. Tananan gramatikal yang juga dipilih yang tidak biasa.
Al-Ashma’i memberi judul puisi dengan shawt shafiril bul bul. Syair yang tersusun kurang lebih dua puluh sembilan bait itu ia tulis pada sebuah tiang dari semacam marmer yang sangat besar. Butuh empat orang mampu memikulnya.
Ia bergegas ke istana. Al-Manshur siap menyambut para penyair untuk adu kecerdasan. Tapi kali ini ia naas, yang datang adalah al-Ashma’i, rajanya para penyair. Ia mulai mendeklamasikan puisinya dengan sangat menarik. Al-Manshur menikmati, tapi sambil mengernyitkan dahi. Ia merasa sukar menghafalnya. Kata-katanya tidak lazim sehingga sulit ditangkap.
Setelah al-Ashma’i pungkas tampil dengan penuh memukau, al-Manshur tampak gusar. Ia panggil dua budak cerdasnya. Karena al-Manshur sendiri tidak hafal, tentu keduanya tidak bisa diandalkan. Ia tidak punya pilihan lain selain menepati janji untuk memberi hadiah emas seberat puisi itu ditulis.
Al-Ashma’i menang. Ia kabarkan bahwa puisinya ia pahat di tiang dari semacam marmer yang beratnya hanya mampu dipikul empat orang. Jika tiang seberat itu ia takar dengan berat emas, niscaya baitul mal lenyap saat itu juga. Namun al-Ashma’i datang bukan untuk hadiah. Bukan untuk emas. Ia datang untuk memberi pelajaran pada al-Manshur untuk tidak menghalangi rizki para penyair yang telah datang kepadanya yang seharusnya tiap-tiap mereka mendapat hadiah emas seberat bahan tulisan puisinya.