Sebuah medali perunggu tersembunyi di suatu tempat di Tropenmuseum di Amsterdam menampilkan seorang pria mulia yang tampak sedang memegang sebuah buku. Iluminasi dan janggut membuat sosok pria itu menyerupai Yesus – tetapi rapalan Islami yang melingkari tepiannya menunjukkan bahwa ini adalah sosok Nabi Muhammad dengan Al-Quran.
Pada saat dibeli pada tahun 1976, si penjual dari Iran bersikeras bahwa itu memang Muhammad. Namun kurator Tropenmuseum meragukan: seperti banyak orang lain, kurator meyakini bahwa Islam tidak menyukai seni figuratif secara umum dan melarang keras gambar sang Nabi. Medali itu kemudian disimpan. Hanya sekarang, 40 tahun kemudian, setelah membandingkannya dengan lukisan Nabi pada abad ke-19, Tropenmuseum baru mengakui kejujuran si penjual.
Lambatnya pengakuan atas keberadaan gambar-gambar semacam itu juga dipersulit oleh kontroversi belakangan ini. Sejak protes tahun 2006 terhadap surat kabar Denmark, Jyllands-Posten dan serangan pembunuhan terhadap majalah Prancis Charlie Hebdo pada tahun 2015, yang keduanya telah menayangkan karikatur Nabi, para kurator menjadi semakin cemas tentang apa yang tersimpan di koleksi mereka.
Padahal, visualisasi Nabi di kalangan Islam secara mengejutkan sudah lazim terjadi, terutama dalam kitab-kitab penuh gambar yang dicetak di Persia dan Ottoman, baik Sunni dan Syiah, antara 1300 dan 1800.
Dalam kitab sejarah dunia karya wazir Ilkhanid Rashid ad-Din tahun 1314, ada beberapa contoh yang menarik. Tetapi ketika University of Edinburgh menggelar pameran pada tahun 2014, gambar-gambar Nabi itu hilang secara misterius. Di tengah suasana panas pasca Charlie Hebdo, The Victoria and Albert Museum bahkan menghapus sebuah poster Iran yang menggambarkan sosok muda Muhammad dari database daringnya. Juru bicara museum mengklaimnya sebagai “keputusan dari tim keamanan museum kami”.
Stefano Carboni, direktur Galeri Seni Australia Barat di Perth, telah berusaha mengadakan pameran supaya berlangsung secara paralel dengan peluncuran antologi esai berjudul The Image Debate: Figural Representation in Islam and Across the World. Carboni menginformasi bahwa sejumlah lembaga Australia, Asia dan AS tidak mau berkomitmen pada proyek tersebut sebab “risiko yang akan dirasakan, bagaimana bagian dari pameran, termasuk gambar Nabi Muhammad, akan diterima khususnya oleh komunitas Muslim.”
Ini masih menjadi asumsi umum bahwa karena Islam pada dasarnya ikonoklastik, setiap gambar figuratif Nabi – bahkan jika diciptakan oleh internal muslim – akan memicu kekerasan. Oleh sebab itu, karya-karya seperti itu sering ditambahi penjelasan – bahwa itu bukan Nabi – atau disembunyikan oleh kurator, agar masyarakat umum tidak menghakimi.
Untungnya, pemikiran seperti itu sekarang mulai dipertanyakan. Christiane Gruber, seorang profesor seni Islam di University of Michigan, adalah pakar dalam bidang ini. Buku terbarunya, The Praiseworthy One: The Prophet Muhammad in Islamic Texts and Images (Indiana University Press) adalah yang pertama dari tema terkait. Dia juga menyusun esai di antologi The Image Debate.
Ketika penulis bertemu dengannya di London pada bulan Juni 2019, dia mengatakan bahwa kurator harus lebih berani. “Setahu saya,” katanya, “tidak pernah ada reaksi keras atau negatif terhadap pameran publik Muhammad di Museum.” Gruber percaya bahwa kurator yang memilih menutup mata terhadap tradisi figuratif ini hanya akan memperkuat kaum fundamentalis: “Itu semacam echo chamber Orientalis- Salafi […] yang menurut saya sangat merusak warisan peradaban Islam.”
Sebagian masalah ini mengarah pada kekacauan. Karikatur Charlie Hebdo tidak memancing kemarahan karena gambar Nabi semata – melainkan lebih kepada bentuk pelecehan yang disengaja. Cemoohan seperti yang dilakukan Charlie Hebdo memang mengakar dalam budaya Barat. Pada abad pertengahan Eropa, sosok Nabi adalah tokoh cemoohan. Buku baru John Tolan, Faces of Muhammad (Princeton University Press) menggambarkan ulang ilustrasi mengerikan dari manuskrip panjang John Lydgate, The Fall of Princes, abad ke-15 , yang menggambarkan “ The false Machomeete (Muhammad palsu)”. Sementara di dunia pasca 9/11, gambar provokatif Nabi dibangkitkan kembali, tidak hanya untuk menyerang agama tetapi juga untuk mengejek minoritas muslim yang tinggal di Barat.
Kita hidup di tengah apa yang Gruber sebut sebagai dunia ‘pasca-kartun’. Tapi setidaknya kita bisa mencoba membongkar budaya modern kita. “Bagaimana jika kita mundur 30 tahun, atau mundur ke abad ke-16?” dia bertanya. “Bagaimana kita menempatkan diri kita ke dalamnya?”
Demi analisis sejarah yang lebih bernuansa, kita perlu melupakan masalah-masalah modern seperti kebebasan berbicara dan terorisme, dan membayangkan diri kita berada dalam lingkungan para sufi dan seniman Muslim yang memuliakan Nabi melalui lukisan.
Coba kunjungi gereja dan Anda akan melihat Kristus, tetapi Muhammad tidak pernah muncul di masjid manapun. Al-Qur’an telah menuduh orang Kristen salah mendewakan Yesus, dan dengan jelas menggambarkan Nabi sebagai ‘pemberi peringatan’. Penyembahan berhala juga menjadi perhatian Al-Quran. Tapi tidak ada tempat di mana Al-Qur’an melarang lukisan figuratif; bahkan, dalam ayat-ayat yang dikutip oleh seniman-seniman muslim belakangan, diceritakan Yesus membentuk seekor burung tanah liat dengan tangannya sebelum menghembuskan kehidupan ke dalamnya.
Belakangan, kisah-kisah biografis Nabi Muhammad menyiratkan cerita yang beragam. Setelah menaklukkan Mekkah, Nabi mencopot patung-patung berhala dari Ka’bah – tetapi konon membiarkan ikon Maria dan Yesus. Versi cerita lain, Nabi menegur Aisyah karena memasang tirai yang dihiasi gambar binatang; meskipun demikian, Nabi mengatakan tidak keberatan mengubah tirai tersebut menjadi sarung bantal.
Ketidaksetujuan resmi tentang gambar –meskipun tidak pernah ditegakkan secara universal– mulai tercatat dua abad setelah wafatnya Nabi pada tahun 632 M. Sejarawan seni Mika Natif berpendapat bahwa aturan ini semakin kuat di era Abbasiyah sebagai cara menegur dinasti pendahulunya, Umayyah, yang seleranya dalam seni gambar dianggap sebagai gejala kemunduran. Abbasiyah mungkin benar. Dinding-dinding pemandian Umayyah yang dipengaruhi Yunani di Qasr Amra (sekarang Yordania), dihiasi dengan gambar raja-raja berjubah, wanita-wanita telanjang dan hewan-hewan pertunjukan, seperti beruang.
Hiasan gambar sebagai hiburan pribadi khalifah adalah satu hal; gambar-gambar publik tentang Nabi adalah hal lain. Namun sosok Nabi Muhammad kemungkinan pernah muncul di koin Umayyah 60 tahun setelah wafatnya. Pada tahun 690-an, khalifah Abdul Malik mencetak dinar emas yang menggambarkan sosok berdiri dengan janggut panjang, memegang pedang t(satu yang dikoleksi oleh British Museum.) Untuk waktu yang lama, sosok ini diasumsikan sebagai diri khalifah sendiri. Tetapi komparasi baru-baru ini dengan koin Bizantium sezaman yang menampakkan gambar Yesus berjanggut telah mengubah konsensus terhadap koin tersebut. Sosok yang berdiri di koin tembaga itu memiliki nama ‘Muhammad’ jelas tertulis di sampingnya. Ini kemungkinan besar bukan potret dari kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, ini adalah model kepemimpinan yang populer selama penaklukan Islam. Jadi, jika sosok itu adalah Nabi, itu tetap saja sosok kepemimpinan khalifah.
Koin seperti itu lantas menghilang dari kelaziman, dan tidak ada gambar Nabi yang bertahan selama lima abad berikutnya. Gambar Nabi Muhammad muncul kembali, secara tidak lazim, dalam karya yang sebenarnya bukan tentang dirinya. Sebuah roman Persia, Varqa wa Golshah, memberi sentuhan religius di ujungnya ketika sepasang kekasih yang malang secara ajaib dibangkitkan oleh Nabi. Kisah yang dibuat di Konya, Anatolia Tengah, antara tahun 1200 dan 1250 ini menggambarkan Nabi Muhammad duduk bersila di atas takhta hijau yang didampingi oleh empat khalifah penerusnya. Dengan tampilan bergaya Turki dan rambut ikal hitam panjang, ini jelas seorang nabi dengan gaya raja Seljuk. Dia bahkan lebih diagungkan dalam prolog dari puisi epik Ferdowsi Shahnameh abad ke-14, di mana dia dibayangkan sebagai prototipe ideal untuk raja-raja Persia kuno yang pemerintahannya digambarkan puisi tersebut.
Satu subjek yang sangat populer menjadi ilustrasi adalah kisah naiknya Nabi ke langit atau Miraj-nameh dalam bahasa Persia. Disadur dari beberapa ayat Al-Quran pendek, narasi diuraikan menjadi petualangan yang hidup. Nabi menunggang kuda terbang yang disebut Buraq melalui surga, di mana ia menjadi imam nabi-nabi terdahulu dan berdialog dengan Tuhan. Kisah magis ini mengakomodasi ikonografi pra-Islam. Dua buku tentang Mi’raj yang dibuat di Herat pada abad ke-15 masa Dinasti Timuriyah menampilkan malaikat bersayap putih yang menyerukan syahadat ke penjuru langit, dan sesosok malaikat seperti Buddha dengan wujud setengah api, setengah salju. Muhammad bertemu Tuhan di tengah awan emas yang beterbangan. Bersujud dalam shalat, Nabi Muhammad tidak bisa melihat kemuliaan-Nya yang menyala-nyala. Penonton juga tidak dapat melihat: Tuhan memang tidak pernah digambarkan secara visual dalam Islam.
Menanggapi ilustrasi ini, seniman Iran kontemporer Shahpour Pouyan mereproduksi satu halaman dari kitab tentang Mi’raj di masa Timuriyah tahun 1436-37, tetapi mengosongkan baik gambar Nabi maupun pancaran cahaya ilahi. Yang tersisa hanyalah bentuk kotak-kotak berwarna biru tua – penuh teka-teki tentang sikap Muslim modern untuk memvisualisasikan Nabi.
Pada akhir Abad Pertengahan, dalam karya-karya Sunni dan Syiah, menunjukkan wajah Nabi menjadi tidak lazim. Dalam satu biografi Ottoman terkenal yang dititahkan oleh Murad III, bahkan wajah bayi Muhammad ditutupi. Kekhawatiran atas penyembahan berhala masih ada. Sebuah manuskrip Persia abad ke-16 yang dibuat di Shiraz memperlihatkan Muhammad yang wajahnya terselubung dan menantunya Ali, di pundaknya, mencopot berhala berbentuk monyet dari Ka’bah. Namun kita tidak bisa dengan gampang merujuk ini sebagai ikonoklasme. Perhatikan bahwa penghancuran berhala itu sendiri dirayakan dengan gambar.
Tabir wajah Nabi sendiri bertuliskan ‘yaa Muhammad‘ dengan tinta emas. Jika Anda melihat cukup dekat pada nama, ilustrasi kubisme memunculkan bentuk seperti wajah – dua huruf mim menyerupai mata, ha hidung dan dal mulut. Apakah ini puzzle piktogram yang mengharuskan pemirsa menggunakan imajinasi mereka sendiri?
Sementara itu, gambar wajah Ali telah rusak, ini bisa karena eskpresi pemujaan orang terhadap wajah Ali dengan menggosok, mencium atau bahkan sampai menjilatinya.
“Kita butuh mencari saluran belas kasih, emosi cinta,” Gruber menekankan kepada penulis, “sebagai perlawanan terhadap kebencian.” Para Sufi, misalnya, menekankan keintiman mereka dengan Nabi. Dalam miniatur Bukhara yang sangat indah yang dibuat pada tahun 1530-an, tiga sufi memunculkannya dalam pikiran mereka. Sebuah Qur’an di dekat mereka meledakkan nyala api yang menyalakan gambar Muhammad mengendarai Buraq. Pelukis itu menggambarkan para Sufi membayangkan Nabi sebagai kehadiran yang jasmani, tampilannya yang lembut menawarkan model yang sempurna untuk seorang mistikus yang welas asih.
Sosok panglima, raja, petualang langit dan Sufi – ini hanya empat gambaran Muhammad yang populer. Di zaman sekarang, kemungkinan besar anda akan melihat representasi abstrak dari Muhammad seperti jejak terompah atau bunga mawar. Penggambaran ini, perlu kita perhatikan, tidak lantas jadi kurang bermakna untuk menjadi non-figural.
Salah satu kurator seni Islam di koleksi pribadi di London, yang ingin tetap anonim, mengatakan kepada penulis bahwa pembingkaian proyek Gruber semata bertujuan untuk “mengembalikan kepada Islam warisan artistiknya yang kaya”, seperti yang dikemukakan oleh The Praiseworthy One memilikinya, bermasalah. “Semua orang tahu betapa pentingnya Muhammad bagi umat Islam […] dan Islam tidak perlu budayanya dikembalikan kepadanya.”
Gruber mengakui keberatan ini. “Ini bukan tentang gambar yang diambil, dan kemudian diberikan kembali kepada umat Islam,” katanya padaku. “Ini tentang mengembalikan wacana yang tepat di sekitar gambar dengan cara yang bebas dari jenis agenda lainnya.” Ia menaggapi. Itu hanya bisa terjadi, tentu saja, jika kita dapat melihat lukisan ini dalam konteks yang tepat – bukan pada website anti-Muslim tempat gambar-gambar Nabi sering muncul.
Untungnya, semuanya berubah. The Rietberg Museum Zurich sedang mengorganisir sebuah acara di musim gugur 2020 tentang ikonoklasme dan ikonografi, di mana gambar Nabi akan disertakan. Pameran Stefano Carboni yang tertunda, hampir pasti akan diadakan di sebuah lembaga Amerika Utara tahun depan. Di Frieze Masters Oktober tahun 2019, Francesca Galloway menjual folio dari tahun 1460-an era Timur Lenk yang menggambarkan peristiwa Mi’raj; Rumah Lelang Christie’s punya dua dari folio yang sama untuk dilelang pada bulan yang sama.
Beberapa muslim tidak akan pernah ingin melihat Nabi digambarkan. Itu hak mereka. Tapi kita tidak bisa berpura-pura bahwa gambar seperti itu tidak pernah ada. Para cendekiawan dan kurator harus memainkan peran mereka dalam memungkinkan umat Islam dan orang lain untuk berbicara satu sama lain sepanjang waktu tentang beragam cara bagaimana pribadi Nabi digambarkan. Karena kepribadian Muhammad yang mengubah dunia ini selalu tercermin pada mata yang melihatnya.
Diterjemahkan oleh Rifqi Fairuz dari artikel bahasa Inggris berjudul “Eye of the beholder – how the Prophet Muhammad has been depicted through the centuries” oleh Sameer Rahim di Apollo-magazine.com pada tanggal 18 Desember 2019. Link: https://www.apollo-magazine.com/prophet-muhammad-depictions-art/