Sedang Membaca
Menyingkap Keberadaan Hantu “Islamisme” Ikhwanul Muslimin

Mahasiswa Akidah Filsafat Islam Semester 5 Fakultas Ushuluddin UIN SMH Banten

Menyingkap Keberadaan Hantu “Islamisme” Ikhwanul Muslimin

Dakwah Dan Kuasa

Sejak runtuhnya Khilafah Islamiyah Turki Usmani pada 1924, wacana kebangkitan “Islam” merebak ke seluruh penjuru dunia. Runtuhnya dinasti Islam terakhir tersebut, menyulut semangat pelbagai organisasi Islam untuk mendirikan kembali sebuah negara berasaskan “Syariah Islam”. Di Mesir, salah satu organisasi yang paling santer terdengar ialah Ikhwanul Muslimin—untuk selanjutnya disebut IM.

IM pertama kali didirikan oleh Hasan Al-Banna pada 1928. Ideologi IM berangkat dari persepsi Hasan Al-Banna tentang Islam yang komprehensif, “Islam adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, peradaban dan undang-undang serta jihad dan dakwah”, atau biasa disederhanakan sebagai Islam huwal hal (Islam adalah solusi).
Bertolak dari ideologi tersebut, membuat IM sulit mendapatkan ruang di kancah politik Mesir. Sebab, cara pandang IM dianggap terlalu fundamentalis dan “membahayakan”. Pasalnya, pemerintah Mesir saat itu meyakini bahwa “esensi” perjuangan Islam ialah memberikan kesejahteraan kepada semua manusia tanpa menegasikan pemeluk agama minoritas, alih-alih memaksakan kehendak untuk mendirikan “negara Islam”. Akhirnya, “lslamisme” yang dicanangkan IM dianggap tidak relevan. Bahkan, keberadaan IM mulai dianggap sebagai “parasit”.

Kendati dikekang pemerintah, IM tetap konsisten bergerak sebagai oposisi selama hampir 50 tahun menjadi “hantu”. Mereka baru menampilkan diri kembali setelah Hosni Mubarak jatuh pada tahun 2011. Dan, setahun kemudian, mereka memenangi Pemilu dan sukses mendudukkan Mohammad Morsy, kader terbaik mereka, sebagai Presiden Mesir. Hal tersebut menjadi fenomena menarik bagi para pengkaji Islam dan demokrasi. Sebab, fenomena tersebut menimbulkan pertanyaan ambiguitas yang sampai saat ini masih sering dicari jawabannya: apakah Islam bisa kompatibel dengan demokrasi? Tetapi kemudian, kemenangan itu tidak berlangsung lama. Pada 2013, petualangan politik IM kembali menemukan kegagalannya setelah Morsy digulingkan oleh kudeta militer.

Baca juga:  Untuk Apa Kiai Bisri Menipu Setan?

Dinamika kemenangan dan kejatuhan IM dalam pentas politik Mesir itulah yang berusaha dibabarkan oleh Ahmad Rizky M. Umar secara komprehensif melalui buku terbarunya: Dakwah & Kuasa: Jalan Terjal Ikhwanul Muslimin dalam Pentas Politik Mesir, (Basabasi, 2020). Buku ini diolah dari skripsi Rizky untuk program S1 di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada (Juli 2013) berjudul “Perjuangan Hegemonik Ikhwanul Muslimin Setelah Kejatuhan Hosni Mubarak”.

Dalam usahanya menyusun keping-keping sejarah pergerakan IM sejak kepemimpinan Hasan Al-Banna hingga mengurai friksi yang terjadi antara IM dengan otoritas pemerintah Mesir—mulai dari era Raja Farouk I hingga lengsernya Hoesni Mubarak, Rizky memulainya dengan mengurai “Islamisme” terlebih dahulu.
Dalam buku ini, ia berusaha menggunakan perspektif post-Marxisme untuk mengelaborasi Islamisme, sehingga Islamisme tidak hanya dilihat pada basis ideologi semata, tetapi juga pada sejauh mana ideologi tersebut diartikulasikan pada ranah politik. Lalu berlanjut mengacu pada elaborasi Bobby Said yang mencoba untuk melakukan konseptualisasi ulang atas Islamisme sebagai sebuah wacana politik yang berusaha mengartikulasikan Islam dalam tatanan politik yang berkembang di dunia muslim. Lain halnya dengan tiga pendekatan yang biasa digunakan para pakar Islam dan Demokrasi untuk melihat esensi “Islamisme”: pendekatan liberal-modernis, pendekatan ekonomi-politik, dan pendekatan pasca-strukturalisme.

Menurutnya, ketiga pendekatan itu belum mampu mengurai Islamisme sampai ke taraf paling dasariah. Sebab, pendekatan liberal-modernis melulu menempatkan Islamisme sebagai apa yang “tetap” dan “tradisional”—pendekatan ini jamak memandang Islam secara monolitik dengan mengabaikan pluralitas kekuatan-kekuatan sosial yang lahir justru dari rahim Islamisme sendiri, sehingga pandangan liberal-modernis atas Islamisme justru terjebak pada overgeneralisasi atas realitas-realitas yang terjadi pada dunia Islam. Sedang pendekatan ekonomi-politik—pendekatan yang identik dengan Marxisme, kendati dianggap sebagai alternatif atas “gagalnya” pendekatan modernisasi, tetapi kemudian, pandangan ini pun dianggap tidak relevan karena terlalu deterministik dalam memandang realitas dunia Islam; Marxisme meletakan determinasi ekonomi atas suprastruktur yang membentuk realitas. Adapun pendekatan pasca-strukturalisme, hanya melihat Islam sebagai sesuatu yang “bersifat diskurfis”, yang maknanya akan sangat bergantung sejauh mana ia diartikulasikan dalam ranah politik, sehingga meniscayakan tafsir yang berbeda-beda oleh masing-masing kelompok dan artikulasi kepentingannya. Akhirnya, melalui perspektif post-marxisme Rizky sampai pada kesimpulannya bahwa, “Islamisme sejatinya adalah sebuah proyek untuk membangun ‘hegemoni’ baru dengan menjadikan Islam sebagai referensi utama.” (hal 52)

Baca juga:  Edward W Said dan Tindak-tanduk Intelektual Indonesia

Setelah berhasil mengurai esensi Islamisme, buku ini mulai memfokuskan pembahasan pada wacana hegemonik yang hendak dibangun oleh IM di panggung politik Mesir. Rizky berusaha mengemas fragmen sejarah pergerakan IM dalam bingkai yang utuh; ia merunut pelbagai lektur yang menjabarkan asal-usul IM beserta wacana kebangkitan Islam yang dicanangkannya; kemudian represi terhadap IM di era Presiden Gamal Abdel Nasser pasca-revolusi Mesir 1952; lalu berlanjut ke “pergerakan bawah tanah” IM hingga kemunculannya kembali; dan mengakhirinya dengan pembahasan batas-batas perjuangan hegemonik IM pada 2011-2013.

Buku ini tidak hanya berhasil menyoroti kiprah IM dalam pentas politik Mesir, tetapi juga berhasil menelisik seberapa besar dampak pergerakan IM selama ini. Seumpama memiliki indra ke-enam, Rizky berhasil melihat serta menyingkap keberadaan hantu Islamisme IM kepada sidang pembaca. Ia berhasil menjelaskan secara detail perihal betapa “meresahkannya” hantu tersebut di pentas politik Mesir serta menunjuk sederet nama tokoh IM yang berusaha menjaga “arwah” tersebut tetap hidup selama ini.

Hanya saja, setelah rampung membaca buku ini saya tidak menemukan studi komparatif antara IM dengan organisasi muslim Indonesia sebagaimana dijanjikan Rizky pada pengantarnya. Sebab di akhir bab buku ini, Rizky hanya menutupnya dengan mewanti-wanti organisasi muslim Indonesia untuk lebih waspada terhadap “bisikan-bisikan” hantu Islamisme ihwal wacana membangun hegemonik di dalam negeri yang meridai adanya pluralitas keberagamaan. Alih-alih mengajukan sebuah perbandingan, melalui teks berjudul “Pelajaran Untuk Indonesia”, Rizky hanya memberikan semacam telaah reflektif belaka.

Baca juga:  Catatan Yahya Cholil Staquf: PBNU, Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama

Kiranya Rizky benar-benar menyajikan studi komparatif, saya rasa studi tersebut dapat menambah daya pikat buku ini. Bagaimanapun, “hantu” serupa IM pernah (atau barangkali masih) bergentayangan di Indonesia. Dan hal tersebut jelas dapat menjadi topik yang menarik untuk diperbincangkan. (*)

Judul : Dakwah dan Kuasa, Jalan Terjal Ikhwanul Muslimin dalam Pentas Politik Mesir
Penulis : Ahmad Rizky M. Umar
Penerbit : Basabasi
Cetakan : pertama, Januari 2020
Tebal : 264 Halaman
ISBN : 978-623-7290-55-1

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top