Sedang Membaca
Megudar Suluk Sunan Kudus
Nur Ahmad
Penulis Kolom

Alumus Master’s Vrije Universiteit Amsterdam dan Dosen Fakultas Ushuluddin dan Humaniora, UIN Walisongo, Semarang.

Megudar Suluk Sunan Kudus

Dalam pembahasan yang lalu, penulis atau penyalin manuskrip Or. 3050 menyebutkan dua catatan. Pertama adalah ajaran Sunan Kudus mengenai akidah yang benar, yaitu tentang hakikat Allah. Di sini disebutkan bahwa setiap kita melihat makhluk, maka kita akan menemukan “citra” Ilahi.

Kedua, ajaran Sunan Kudus mengenai penciptaan alam semesta. Ajaran ini menyatukan apa yang tadinya terdikotomi: mengenai penciptaan yang sekali (dan bersifat qadim) dengan penciptaan yang terus terjadi (dan bersifat hadis). Kedua jenis penciptaan ini terjadi pada level yang berbeda.

Yang pertama terjadi di tingkatan “Alam Agung” (Alam Kabir). Sedangkan yang kedua terjadi di tingkatan “Alam Kecil” (Alam Shagir). Kali ini penyalin manuskrip sampai pada catatan mengenai Suluk Sunan Kudus.

Sebelum mengungkapnya, sebaiknya kita urai lebih dahulu apa itu “suluk”. Kata ini masuk ke dalam perbendaharaan bahasa Jawa dari bahasa Arab. Dalam bahasa asalnya, kata ini tersusun dari tiga huruf akar, yaitu “sin”, “lam”, dan “kaf”.

Pada mulanya, kata ini berarti “menghujamkan/memasukkan sesuatu ke sesuatu yang lain” (Maqayisul Lughah: 1979). Misalnya dalam ayat QS. Az-Zumar: 21 Allah berfirman, “Tidakkah kamu tahu bahwa Allah telah menurunkan hujan dari langit, lalu Allah menghujamkannya/memasukkannya ke dalam sumber-sumber air di dalam bumi…”.

Kata ini juga bisa bermakna “berjalan”, yang pada perkembangannya menjadi makna yang lebih umum digunakan. Kata “suluk” yang adalah bentuk “mashdar”-nya berarti “jalan” (Lisanul Arab, 1414 H).

Dalam perkembangannya kata ini memiliki makna khusus yang digunakan dalam bidang politik dan tasawuf (The Encyclopedia of Islam, 1997). Maknanya dalam bidang politik kita abaikan dulu, karena di luar kajian yang kita bahas.

Dalam terminologi ilmu tasawuf sangat populer menyebut orang-orang yang menjalankan tasawuf sebagai “salik”, yaitu bentuk kata benda yang menunjukkan pelaku suluk.

Mereka adalah orang-orang yang menempuh jalan menuju Hakikat Ilahi. Dalam kata lain, Imam al-Jurjani menjelaskan bahwa “Salik adalah mereka yang menempuh jalan makam-makam spiritual melalu pengalaman langsung bukan dari ilmu dan penggambaran” (at-Ta’rifat: 1983).

Baca juga:  Islam Banjar dan Politik (1): Relasi Akrab antara Politik dan Islam di Tanah Banjar

Suluk dalam dunia sufi adalah beragam langkah dan metode yang ditempuh untuk menyucikan nafsu diri sehingga pantas menjumpai Tuhan. Suluk oleh sebab itu adalah perjalanan vertikal dari dunia fana menuju alam ruhani yang kekal. Dalam sebuah manuskrip dari Madura, perjalanan ini digambarkan sebagai perjalanan seorang Pangeran Jasmani menuju kekasih Dewi Ruhani (MS. Or. 4911).

Dari makna terakhir inilah kata suluk masuk ke dalam bahasa Jawa. Kata suluk sudah digunakan sejak masa Wali Sanga. Sebuah kitab tasawuf berbahasa Jawa abad ke-16 dinamai Ushul Suluk. Ajaran-ajaran yang terkandung di kitab ini dinisbatkan kepada Sunan Bonang. Di dalamnya disebutkan bahwa sumber utama dari kitab ini adalah kitab Ihya’ ‘Ulumuddīn Imam al-Ghazali dan kitab al-Tamhid fi bayan al-tawhid Abu Syakur al-Salimi (Admonition of Seh Bari: 1969).

Setelah itu, kata suluk sangat populer digunakan untuk menyebut sebuah genre kitab khusus yang mengajarkan ilmu ini. Karakteristik genre karya ini identik: ditulis dalam bahasa Jawa dan mengikuti aturan puisi macapatan. Sangat banyak kitab-kitab suluk di Jawa. Suluk Ali-Fatimah disebut sebagai ajaran untuk bekal mati, Suluk Wujil, Suluk Malang-Sumirang, Suluk Tirta Raga, Suluk Balkum, Suluk Jebeng, Suluk Paesan Wahya-Jatmika, dan Suluk Martabat Ta’ayun adalah sebagian kecil di antaranya.

Baca juga:  Pengalaman Keluarga Kami Melakukan Salat Istikharah

Isinya memang bukan ditujukan bagi kaum awam tanpa bimbingan seorang guru yang mengulasnya. Digambarkan ada orang muslim awam yang keliru memahami konsep salat “daim” yang ada dalam kitab suluk, yaitu keadaan selalu mengingat Tuhan, sehingga ia melalaikan salat wajib lima waktu. Oleh sebab itu, Kiai Soleh Darat (w.1903) melarang umat muslim pada umumnya membaca kitab-kitab suluk ini (Majmu’at: t.th).

Sekarang kita bisa kembali ke teks Suluk Sunan Kudus yang di manuskrip kita terekam di halaman sembilan belas hingga dua puluh satu.

(baris 5) Fashlun. Punika tingkahing

(6) ngabayanaken ujaring suluk. Fashlun. utamaneng sembah malih tannemuning

(7) nala reka tannoningeng raga lenyep lengat tannana kasunyate. tegese

(8) utamaning sembah. Kang tan syarik tingale. Ing dalem salate

Artinya:

(baris 5) Satu fasal. inilah

(6) penjelasan mengenai suluk. Fasal. Keutamaan sembahyang adalah (untuk) menemukan

(7) inti. Gambarannya (yaitu) melihat dirinya lepas jauh tidak ada hakikatnya. Yaitu

(8) keutaman salat (adalah salat) yang tidak ada sekutu dalam pandangan di dalam salat.

Fashlun memberikan kita gambaran bahwa ajaran-ajaran ini sebenarnya direkam dalam satu kitab dengan pembagian sub-bab (fashlun) di dalamnya. Di mana kita kali ini sampai pada sub-bab: inilah penjelasan mengenai suluk.

Fasal. Keutamaan sembahyang adalah (untuk) menemukan “nala”. Kalimat ini menjelaskan kedudukan salat lima waktu yang utama. Beberapa ulama mengatakan bahwa salat adalah mikraj-nya seorang mukmin (Ar-Razi, Mafatihul Ghaib; An-Naisaburi, Tafsir an-Naisaburi).

Hal ini demikian karena dalam salat seorang membaca surat al-Fatihah yang merupakan pengajaran langsung Allah kepada hambanya bagaimana berdoa kepada-Nya. Juga karena dalam sembah, seorang hendaknya melihat-Nya. Jika belum mampu melihat-Nya, maka yakinlah bahwa Dia melihatnya.

Baca juga:  Relasi Tuhan dan Manusia (2): Mengenal Nama-Nama Tuhan pada Masa Pra Islam

Tujuan sembahyang menurut ajaran suluk yang dinisbatkan kepada Sunan Kudus ini adalah “menemukan nala”. Dalam beberapa kamus Jawa kuno, “nala” diartikan api (Kamus Jawa Kuno: 2004; Kamus Kawi-Bali: 1988). Dalam arti ini tampaknya makna kalimat di atas adalah keutamaan salat adalah seperti menemukan api. Api apa yang dimaksud? Api mengingatkan kita pada cahaya. Dalam bahasa Jawa kuno “nala cintyamaṇi” berarti cahaya akalnya, pikirannya cemerlang. Salat hendaknya menerangi akal seseorang.

Cf. Winter bersama gurunya, Ranggawarsita, memberi makna yang lebih lengkap untuk kata “nala”. Ia adalah “latu, manah, teleng” (Kamus Kawi Jawa, 2007). “Latu” adalah api. “Manah” adalah hati yang merasakan. Dan “teleng” adalah pusat dan inti dari sesuatu.

“Menemukan nala” oleh sebab itu adalah menemukan cahaya hidayah, menemukan hati yang bersih sehingga merasakan kebenaran, serta menemukan inti dan pusat dari kehidupannya. Salat hendaknya mengantarkan seseorang menemukan dirinya.

Melihat dirinya lepas jauh tidak ada hakikatnya. Ketika seorang yang salat menemukan diri sejatinya maka dia merasakan bahwa dirinya bukan apa-apa. Di sini disebutkan seseorang yang telah memperoleh inti salat akan mengantarkannya keluar dari dirinya serta menyadari dirinya tidak memiliki hakikat sendiri.

Dalam bahasa kaum sufi, makhluk tidak memiliki eksistensi mandiri, keberadaannya adalah karena mendapatkan pancaran sinar Ilahi. Segala sesuatu kecuali Tuhan adalah kemungkinan semata.

 

Wallahu a’lam

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top