Pada suatu momen, Gus Dur tampak lelah dengan keadaan di sekitarnya yang kebak kepentingan-kepentingan egosentris. Lemparan psikologis dari kondisi itu adalah dirinya ketika ditanya alasan kenapa ziarah kubur dengan enteng menjawab, “Ya, karena di kuburan, orang-orang yang sudah mati tidak lagi memiliki kepentingan.”
Jawaban itu sebenarnya adalah refleksi dari kejenuhan Gus Dur menghadapi manusia yang penuh selubung keakuan. Terlebih sebagai tokoh publik, tak sedikit yang berniat jahat hingga ingin membunuhnya.
Melalui peristiwa-peristiwa yang dialami Gus Dur, kita seharusnya belajar bahwa relasi sosial yang sehat amatlah perlu. Selain itu, manusia yang dibekali akal budi seharusnya mampu bersikap peduli kepada liyan secara tulus dan penuh cinta kasih. Inilah jangkar bagi segala tindakan yang sehat di masyarakat.
Sebagai sosok yang telah selesai dengan selubung diri, berani melawan kebohongan, dan peduli kepada liyan, tak heran jika Gus Dur abadi: dalam makna dicintai hingga hari ini dan kelak. Gus Dur dikenang tidak hanya oleh para teman, keluarga, dan pengagumnya. Tetapi oleh orang-orang yang sangat sulit kita bayangkan: sopir angkot. Ya, seorang sopir angkot!
Di sebuah kota yang sesak pada suatu petang di bulan Ramadan, Gus Dur terkenang oleh seorang sopir angkot yang biasa mangkal di sepanjang Jalan Kaligawe, Semarang. Ia seoang sopir angkot yang saleh spiritual dan saleh sosial. Label kesalehan ini saya sematkan pada sopir itu semata karena rasa kagum mendengar selawat Ya Nabi Ya Min Qidam dari kaset audionya, juga keramahan yang cukup jadi obat dari kepala pening sebab kota yang gerah dan berdebu.
Sopir itu bercerita, beberapa bulan lalu ziarah ke makam Gus Dur di Tebu Ireng, Jombang. Ia menceritakan itu bukan tiba-tiba, tetapi terpantik ketika pada suatu kelokan melewati gereja yang ramai umat Kristiani beribadah.
“Hari ini Jumat Agung. Kalau di Islam mungkin Maulid Nabi, Mas. Bedanya kalau Kristen yang diperingati wafatnya Isa Al-Masih, bukan kelahirannya.”
“Iya, Pak. Juga yang membedakan lagi kalau di Kristen pada nyanyi, kalau di Islam selawatan.”
Sopir itu tertawa.
“Saya pernah Mas, ngantar orang-orang Kristen ke pemakaman ketika ada yang meninggal. Meskipun di pemakaman, mereka masih aja nyanyi.” Katanya terkekeh.
Saya ikut tertawa.
“Tapi hal kayak gitu nggak saya sikapi serius, Mas. Saya sikapi santai, seperti Gus Dur itu lo. Saya suka Gus Dur. Enteng menyikapi perbedaan. Saya pernah ziarah ke makamnya sekali, Mas. Beberapa bulan lalu. Gus Dur itu keramat, yang ziarah banyak. Keramatnya lagi, Mas, saya nyoba memfoto makamnya Gus Dur tapi malah nggak bisa dilihat. Maksudnya nggak muncul gambar, hanya gelap saja. Padahal beberapa kali saya menjebret, tapi tetap saja pas saya buka di galeri HP nggak muncul gambar makam.”
“Jangan-jangan kamera Bapak tertutupi tangan?”
“Nggak Mas, jelas-jelas pas mau motret kelihatan gambarnya. Ya ini yang saya maksud keramat!”
Saya terdiam. Tetapi, saya memikirkan kekeramatan Gus Dur yang lain—yang sebenarnya, hal ini lebih membuat saya takjub. Gus Dur mampu diteladani oleh seseorang orang yang sukar kita bayangkan: sopir angkot. Ia meneladani Gus Dur dalam pemaknaannya atas sikap santai memandang perbedaan. Sungguh keramat bukan?
Peristiwa ini bagi beberapa orang mungkin biasa saja, tapi bisakah kita memandang ini dari kepekaan batin dan kesadaran berpikir? Di sana ada kepedulian, ada lelucon, juga tentu ada teladan yang bertebaran—yang lagi-lagi, mampu menjadikan kita lebih luhur dan bijaksana.