Islam merupakan agama yang menyerukan pada umatnya untuk melaksanakan sesuatu atas dasar ilmu. Islam menjauhi taklid buta atas satu perbuatan dan menyerukan untuk mengilmui suatu hal sebelum mengamalkannya. Ayat yang turun pertama kali kepada Nabi Muhammad berbunyi “iqra”, kata “iqra” yang berarti bacalah adalah seruan untuk selalu belajar, yang berarti mencari ilmu kapan pun dan di mana pun.
Kegiatan membaca erat kaitannya dengan tulis-menulis. Yang mana kegiatan itu oleh Syekh Abu Bakar Jabir Al-Jazair dikatakan sebagai kunci ilmu dan pengetahuan (Al-Jazairi, 2003). Tulis-menulis juga merupakan kunci kemajuan manusia hingga saat ini. Jika diimplementasikan dalam keseharian hidup, kita akan menemukan keberhasilan yang terjadi dimulai dari konsep yang matang. Konsep yang matang itulah bagian dari kegiatan baca-tulis.
Jika ditilik masa sebelum sekarang, maka kita akan mendapatkan para tokoh kemerdekaan adalah mereka yang sangat intens pada baca-tulis. Mereka memiliki kebiasaan membaca buku, bahkan tidak sedikit dari mereka yang produktif dalam menuliskan gagasan dan wacana untuk masa depan umat dan bangsa Indonesia kedepan. Adanya dialektika mengenai dasar negara antara Nasionalisme dan Islamisme menunjukkan bahwa kemampuan mereka tidak hanya pada level teknis, yaitu sudah sampai pada level filosofis. Level yang demikian mereka raih dengan keseriusan belajar dan pikiran yang mendalam, dan itu mereka dapatkan setelah begitu intens pada baca-tulis.
Tradisi itulah yang dinamakan tradisi literasi. Menurut Jean E. Spencer, literasi adalah kemampuan untuk membaca dan menulis yang merupakan pintu gerbang untuk mencapai predikat sebagai yang terpelajar (Syahlan, dkk., 2019). Kunci yang diberikan oleh Spencer ini adalah baca-tulis. Tradisi inilah yang harus ditingkatkan oleh umat Islam.
Pesan Iqra
Saat Nabi Muhammad sedang mengasingkan diri ke dalam Gua Hira, turunlah wahyu kepadanya berupa surat Al-‘Alaq ayat 1-5. Kata yang pertama kali disebut adalah iqra. Secara bahasa kata iqra berarti bacalah. Kata “iqra” biasa dipahami dengan kegiatan membaca teks. Namun jika ditelisik lebih dalam ternyata tidak hanya sebagai pembacaan teks, yaitu juga membaca konteks yang terjadi dalam kehidupan sekitar.
Kata “bacalah” menandakan pesan kepada umat manusia untuk senantiasa belajar, mengamati, dan mengilmui setiap hal, terutama mengenai yang berhubungan Tuhan. Karena dengan belajar akan menghilangkan kebodohan dalam diri seseorang. Itulah yang disebut dengan kegiatan menuntut ilmu, yang mana dengannya seseorang akan menjadi pribadi yang bijak dan adil, seperti yang dikatakan oleh Az-Zarnuji, bahwa ilmu adalah suatu sifat yang dengannya menjadi jelas suatu perkara sebagaimana mestinya (Az-Zarnuji, 2022).
Pesan “iqra” berisi tentang keutamaan ilmu bagi manusia. Dalam satu ayat dikatakan bahwa Allah akan mengangkat derajat bagi ahli ilmu:
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
“Allah akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadalah: 11)
Salah satu tanda bahwa Allah mengangkat derajat orang yang berilmu adalah menjadikannya luas pengetahuan dan dapat berpikir jauh ke depan. Beda halnya dengan orang yang tidak berilmu, ia akan menjalani kehidupan apa adanya dan tidak memikirkan masa depannya. Dengan ilmu setiap perkara akan terlihat jelas dan jalan keluarnya akan terbuka sesuai dengan yang dibutuhkan.
Ilmu sebagai dasar segala sesuatu
Pesan menuntut ilmu yang terkandung dalam makna iqra berlaku untuk sepanjang hayat. Manusia lebih membutuhkan ilmu ketimbang membutuhkan makan dan minum. Ilmu sangatlah dibutuhkan oleh manusia di mana pun dan kapan pun, baik itu perkara duniawi maupun perkara ukhrawi.
Dalam konsep tauhid, syarat yang pertama adalah ilmu, yaitu mengilmui makna serta konsep yang ada dalam tauhid tanpa taklid buta, sekalipun taklid bagi orang awam tentu juga lebih utama dari tidak menjalankan sama sekali. Kemudian baru dilanjutkan dengan mengamalkan dalam keseharian. Itu menandakan bahwa ilmu adalah hal yang penting bagi umat Islam.
Zaman Abbasiyah adalah zaman yang dikenal sebagai zaman kegemilangan umat Islam. Kemajuan itu tidak terlepas dari tradisi ilmu yang saat itu begitu kencang dilakukan. Umat Islam pada saat itu mencintai ilmu serta menjauhi dikotomi. Ilmu yang beredar saat itu merupakan ilmu yang seperti hakikatnya, yaitu ilmu yang dapat mengantarkan seseorang untuk mengenal pemilik segala ilmu, yaitu Allah.
Mengulang kembali kegemilangan umat Islam yang pernah terjadi sepertinya tidaklah mustahil, setidaknya ada usaha-usaha meski dalam bentuk kecil. Umat Islam hendaknya mencintai ilmu dan menghidupkannya, serta tidak dikotomi dalam mempelajari ilmu. Budaya ilmu yang ada di dalam umat Islam harus dikuatkan, salah satunya adalah mengamalkan kata “Iqra” yang termuat dalam wahyu pertama. Ilmu harus menjadi prioritas utama sebelum kebutuhan-kebutuhan yang lain.
Sumber bacaan:
Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Aisar At-Tafasir Likalam Al-‘Aly Al-Kabir, jilid ke-5, (Madinah: Maktabah Al-ulum wa Al-Hikam, 2003).
Burhanul Islam Az-Zarnuji, Ta’limul Muta’allim, (Solo: Pustaka Arafah, 2022).
Taslim Syahlan, dkk., “Pendampingan Santri untuk Membangun Tradisi Literasi di Pondok Pesantren Al-Mubarok Mranggen Demak”, jurnal DIMAS: Jurnal Pemikiran Agama untuk Pemberdayaan, 19(1), 2019.