Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama KH. R. Ng. Agus Sunyoto berpulang di tepat paruh bulan suci, 15 Ramadan 1442 bertepatan 27 April 2021. Mas Agus wafat, di hari Selasa, seperti wafat KH Maimoen Zubair. Hari dimana banyak para saleh berpulang. Hari ini pula kapundhut KH Muhammad Sya’roni Achmadi, ulama besar ahli Alquran asal Kudus Jawa Tengah yang juga mustasyar PBNU.
Entahlah, tak biasanya tengah malam tadi saya menyimak pidato Mbah Moen di layar kaca televisi. Selama Ramadan setiap 01.00 WIB, TV9 Nusantara menayangkan kembali nasehat-nasehat beliau. Semalam Mbah Moen mengupas tentang bulan sabit (al ahillah).
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu pertanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadah) haji.
Perjalanan Manusia digambarkan Allah dengan rembulan, dan bukan matahari. Bulan sabit adalah awal perjalanan manusia mengawali kehidupan. Rembulan kian membesar hingga utuh menjadi bulan purnama sebangun dengan rentang usia manusia dalam hitungam 28-40 tahun. Di situlah manusia menemukan puncak purnamanya di paruh tanggal bulan, untuk kemudian kemudian luruh. Rembulan kian mengecil seiring kian berkurangnya kesempurnaan fisik manusia hingga akhirnya benar-benar sirna seperti bulan di penghujung tanggal.
Semalam, bulan purnama Ramadan begitu indah sempurna. Masjid dan mushala masih bergairah menggelar tarawih malam kelimabelasnya. Malam terakhir sebelum nanti malam mulai ada qunut dalam witir terakhir.
Malam purnama semalam, adalah malam terakhir Mas Agus Sunyoto terbaring di Ruang Intensive Care Unit (ICU) ditunggui belahan jiwa, Sang Istri Bu Nur Agus Sunyoto.
“Aamiin… mohon maaf, mohon doa dan fatehah untuk kesembuhan dan keselamatan Mas Agus. Skrg masih d ICU… (Bu Nur Sunyoto)“. Begitu jawaban sari nomor WA Mas Agus saya coba tanya beberapa hari lalu.
Mas Agus Sunyoto adalah lentera yang menerangi kegamangan tentang peradaban kita sendiri. Ke mana-mana, Mas Agus akan lantang bicara dan tajam menulis berbagai praktik pemalsuan, pembelokan sejarah oleh kaum kolonial demi mengerdilkan peradaban nusantara agar tak lagi punya kepercayaan diri untuk sekadar mendongakkan muka dihadapan takabur peradaban Barat.
Melalui bukunya Atlas Walisongo, dia beberkan sederet bukti bahwa para wali itu telah nyata melakukaan kerja kebudayaan dengan trilogi strategi kebudayaan. Berulang dan berulang dia sampaikan: perdagangan, kesenian, kekeluargaan. Bahwa peradaban Jawa dan Nusantara sangatlah tinggi di masa lalu hingga Islam hadir untuk menyempurnakan peradaban yang sudah nyaris sempurna.
Apa yang tak dimiliki bangsa ini sehingga mudah dikalahkan? Kata Mas Agus: kepercayaan diri! Situasi yang sengaja diciptakan kolonialisme Belanda dengan ‘mengarang’ sejarah yang jauh dari fakta. Untuk urusan ini, dia sampai harus bolak-balik ke negeri kincir angin itu, untuk berburu manuskrip dan bukti sejarah genuinnya.
Mas Agus akan menghadang semua tipu daya licik yang hendak memalsukan sejarah atas nama kekuasaan. Dia menulis buku lengkap tentang Resolusi Jihad, untuk menunjukkan perlawanan bahwa kecongkakan negara yang hanya mendasarkan penyusunan sejarah bangsa pada fakta tertulis dan wawancara pejabat veteran formal seputar 10 November 1945 adalah sebuah kesalahan besar. Faktanya, yang berperang di perang semesta itu sebagian besar adalah para santri yang terlecut oleh fatwa Jihad Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari dan Reolusi Jihad NU, 22 Oktober 1945. Tidak sia-sia, negara merekognai gerakan nasionalisme para kiai dan kaum santri ini dengan menjadikan tanggal itu sebagai Hari Santri.
Mas Agus, makhluk langka di NU yang kini sudah mulai banyak penerusnya. Suatu ketika di tahun 2016, almarhum AD Rohman Syakur, Ulama sepuh dan Rois Syuriyah PCNU Kabupaten Pasuruan dhawuh ke saya di ndalemnya bahwa pengurus NU perlu dikasih cerita sejarah kerajaan-kerajaan agar tahu dan paham bahwa NU adalah kelanjutan peradaban Nusantara. Saat itu pula saya kontak Mas Agus untuk menyampaikan pesan itu. Dalam hitungan waktu, Mas Agus dihadirkan berbicara dapan forum Pra Konfercab di Kawasan Kebun Teh Wonosari Malang, memberi perspektif bagi arah gerakan keagamaan dan kemasyarakatan dengan sejarah sebagai kompas kemudinya.
KH Anwar Iskandar, Wakil Rois Syuriyah PWNU Jawa Timur saat ini, menyebut nama Agus Sunyoto untuk mengarahkan kawan-kawan muda NU di Jawa Timur yang sedang menyiapkan Riset Sejarah tentang perjuangan para kiai di masa revolusi fisik 1945-1949. Riset yang digelar sebagai followup peringatan Hari Santri 2020 itu, akan menambah perbendaharaan tulisan sejarah perjuangan para Kiai dan Santri di masa perang gerilya hingga pertempuran Surabaya lanjut tentang agresi militer Belanda di tahun 1947 yang banyak memakan korban jiwa para Kiai. Saat itu Belanda menyisir pesantren sepanjang pantura Jawa Timur hingga bagian selatan, karena mereka tahu kantong spirit perang gerilya adalah pesantren-pesantren. Kiai Abdul Jalil Sidogiri ditembak Belanda saat shalat shubuh di masa agresi ini.
Ketika PBNU mendapuknya sebagai Ketua Lesbumi, kita semua bahagia. Diharapkan Lesbumi menjadi generator peradaban kaum sarungan di era baru, era digital, yang tak tahu ke mana ujungnya. Era dimana kaum milenial akan mendominasi bangsa ini karena fenomena bonus demografi yang kini sudah mulai terasa. Dalam Rakornas ketiganya, atau rakornas terakhir yang digelar Mas Agus pada 3-5 Juli 2019 di Taman Chandra Wilwatukta Pandaan Pasurian, Lesbumi pun mengangkat tema Meneguhkan Islam Nusantara di Era Milenial. Saya alfaqir yang bau kencur ini diminta bicara. Mas Agus yang pakar itu pun menyimak di kursi peserta. Bahkan milenialnya, sang putra diminta bicara memberi perspektif ala anak gelay kini tentang kebudayaan di hadapan para senior yang hadir. Ini luar biasa.
Pada kesempatan Harlah ke-59 Lesbumi pada 27 Maret 2021 lalu saya kirim pesan WA kepada beliau. #59thLesbumi: Katakanlah dengan Seni dan Budaya. 28 April 1962, Lesbumi atau Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia didirikan. Situasi peliklah yang mendorong organisasi para seniman-budayawan santri dan Nahdlatul Ulama itu lahir. Kebuntuan politik kebangsaan berpuncak di Gestapu 1965 mengharuskan dibukanya jalur kebudayaan sebagai rute alternatif, jalan memutar untuk nenghindari perpecahan bangsa.
Ya, agama adalah nasehat. nilai luhurnya harus mampu menginspirasi semua umat manusia. Seni adalah pintu masuknya, dan kebudayaan sebagai infrastruktur yang bisa mengokohkan agama di hati dan perilaku manusia. Walisongo adalah contoh melegenda. Efeknya abadi hingga kapanpun.
Agama ditanamkan di lubuk hati masyarakat nusantara, bahkan nun jauh di dasar kebudayaan bangsa. Melalui seni gamelan, wayang kulit, hingga dendang bocah, tuntunan agama masuk sebagai pesan damai bahagia. Tak ada benci dan amarah. Melalui budaya lokal, masyarakat membuka hati untuk rela dan bahagia diajak ke gerbang peradaban makarimal akhlaq, misi sang baginda.
Ya, seni adalah kita. Dengannya nasehat agama menjadi niscaya. Seorang ulama besar, Dzunnun al Misri berpesan. Seni tak lain adalah suara kebenaran yang bisa menggugah hati manusia menuju Allah yang Maha Rahman. Selamat Harlah ke-59 Lesbumi.
Sebagai bentuk takzim saya pada beliau dan Lesbumi saya tambahkan di penghujung pesan: Atas Nama Masyarakat Budaya TV9 Nusantara Hakim Jayli.
Entah kenapa saya seserius itu mengirim ucapan ‘tahniah’ Harlah Lesbumi, nyaris sebulan lalu. Rupanya karena itulah Harlah Lesbumi terakhir bagi Mas Agus. Dalam hitungan jumput waktu, masuk sebuah pesan jawaban dari beliau:
“Alhamdulillah. Semoga Lesbumi makin berkembang dan dibutuhkan masyarakat. Matur nuwun.”
Menyimak info dari Bu Nur Sang Istri, bisa jadi dia menjawabnya ketika kondisi tubuhnya sudah seperti bulan di akhir tanggal. Tapi itulah manusia baik dan pemimpin sejati, dalam lemahnya Mas Agus masih berpikir tentang berkembang dan kian dibutuhkannya Lesbumi oleh masyarakat, khususnya oleh organisasi Nahdlatul Ulama’.
Kita semua jadi saksi, Mas Agus Sunyoto orang baik. Dia berhak peroleh ampunan Ramadan dan mendapat tempat terbaik di Sisi-Nya. Amin.
Surabaya, 27 April 2021