Sedang Membaca
Sejarah dan Polemik Azan dengan Pengeras Suara

Mahasiswa Ma'had Aly Krapyak Yogyakarta.

Sejarah dan Polemik Azan dengan Pengeras Suara

Suara seruan yang sering kali kita dengar setiap masuk waktu salat khususnya pada masyarakat Islam di Indonesia dan dunia biasa kita sebut dengan azan. Azan atau أذَان dalam bahasa arab secara bahasa (etimologi) mempunyai arti seruan. Sedangkan secara istilah (terminologi) azan mempunyai makna menginformasikan (memberitahukan) tentang waktu-waktu salat dengan kata-kata tertentu. Berdasarkan sejarah, Nabi Ibrahim adalah orang pertama yang melakukan azan kepada umatnya, seperti dalam firman Allah SWT dalam Al-Quran surat Al-Hajj ayat 27 :

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

Menurut tafsir Ibnu Katsir وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ yang berarti “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji”, yaitu serukanlah kepada manusia untuk mengerjakan haji ke Baitullah ini yang Kami perintahkan kamu untuk membangunnya.

Menurut suatu pendapat, Nabi Ibrahim berkata, “Wahai Tuhanku, bagaimanakah saya menyampaikan seruan itu kepada manusia, sedangkan suara saya tidak dapat mencapai mereka?”

Allah Swt. berfirman, “Berserulah kamu, dan Akulah yang menyampaikannya.”

Maka Ibrahim berdiri di maqamnya. Menurut pendapat lain di atas sebuah batu. Menurut pendapat yang lainnya di atas Bukit Safa. Dan menurut pendapat yang lainnya lagi, bahwa Ibrahim menaiki bukit Abu Qubais, lalu berseru, “Hai manusia, sesungguhnya Tuhan kalian telah membuat sebuah rumah (Baitullah), maka berhajilah (berziarahlah) kalian kepadanya.”

Menurut suatu pendapat, setelah Ibrahim mengumandangkan seruan itu semua bukit dan gunung merendahkan dirinya, sehingga suaranya mencapai seluruh permukaan bumi, bayi-bayi yang masih berada di dalam rahim dan tulang sulbi dapat mendengar seruannya dan segala sesuatu yang mendengar suaranya menjawabnya, baik batu-batuan, pohon-pohonan, dan lain sebagainya. Didengar pula oleh semua orang yang telah dicatat oleh Allah bahwa dia akan mengerjakan haji, sampai hari kiamat. Jawaban mereka ialah “Labbaika Allahumma Labbaika (Kami penuhi seruan-Mu, ya Allah. Kami penuhi seruan-Mu, ya Allah).

Riwayat yang paling kuat mengatakan bahwa azan yang diperintahkan oleh Rasulullah pertama kali dilakukan pada tahun pertama setelah hijrah ke Madinah. Menurut Abu Daud mengisahkan bahwa Abdullah bin Zaid bermimpi setelah umat Islam musyawarah tentang cara pemanggilan untuk salat, dalam mimpinya Abdullah bin Zaid ada seseorang yang mengajarkan lafadz yang sekarang digunakan untuk azan umat Islam. Kemudian Abdullah bin Zaid menceritakan kepada Rasulullah dan Rasulullah mengatakan bahwa mimpi tersebut benar. Umar bin Khattab pun juga bermimpi seperti yang diceritakan Abdullah bin Zaid. Rasulullah pun mengutus Abdullah bin Zaid untuk mengajarkan lafadz azan tersebut kepada sahabat Bilal yang lantang suaranya.

Baca juga:  Fungsi Masjid pada Masa Awal Islam: Dari Tempat Ibadah Sampai Balai Pengobatan

Bilal adalah muadzin atau orang yang mengumandangkan azan pertama kali, bahkan saat peristiwa penaklukan kota mekkah, Bilal juga mengumandakan azan di ka’bah. Dipilihnya Bilal karena suara yang dimilikinya keras sehingga bisa menjangkau jarak jauh karena pada masa Rasulullah belum ada pengeras suara, Di samping suara yang keras, Bilal juga memiliki suara yang indah sehingga umat muslim yang mendengarnya merasa nyaman dan tentram. Seperti ungkapan Khalil Muhammad Khalid dalam bukunya “Biografi 60 Sahabat Rasulullah” yaitu “Aduhai betapa indahnya waktu itu. Kehidupan di Makkah berhenti bergerak dan ribuan kaum Muslimin berdiri laksana jasad mati. Dengan khusyuk dan berbisik, mereka tirukan kalimat azan mengikuti Bilal.”

Dapat diketahui bahwa fungsi azan adalah seruan atau ajakan yang digunakan untuk mengundang umat muslim ketika waktu salat telah tiba dengan seruan yang keras dan indah untuk didengar. Pada masa di syari’atkannya azan pertama kali di zaman Rasulullah tidak ada seorang pun yang protes ketika azan dikumandangkan walaupun dengan suara keras seperti suaranya Bilal. Hal itu terjadi karena umat muslim ketika sudah hijrah ke Madinah mempunyai posisi yang kuat dan berpengaruh kepada masyarakat, selain itu azan yang dikumandangkan memiliki suara yang merdu dan indah.

Pada tahun 1874 Ernst Werner von Siemens mengenalkan sebuah prinsip kerja transmisi suara yang kelak menjadi cikal bakal dari pengeras suara. Di Indonesia sendiri alat pengeras suara masuk pertama kali pada tahun 1960 an, ketika itu merk dagang alat elektronik asal jepang bernama TOA. Merk TOA adalah alat pengeras suara yang tersohor dan terkenal di Indonesia. Menurut G.F. Pijper seorang berkebangsaan Belanda yang mengkaji agama Islam di Indonesia, alat pengeras suara pertama kali dikenal luas untuk menyuarakan azan pada tahun 1930 an di Masjid Agung Surakarta. Polemik dari azan yang menggunakan alat pengeras suara pun terjadi, mulai dari pengeras suara yang jelek sehingga menghasilkan suara yang bising dan tidak enak didengar, muadzin yang mengumandangkan azan lagi sakit, misalkan sakit batuk sehingga azannya menjadi tidak enak di dengar untuk khalayak umum dan masih banyak lagi peristiwa menggunakan pengeras suara untuk azan yang menjadi polemik.

Islam adalah agama yang mengatur kehidupan manusia bahkan sampai pada hal yang detail. Dalam adat bertetangga, ajaran Islam memerintahkan umat muslim untuk berbuat baik dan tidak menganggu tetangganya, seperti mengeraskan suara TV atau radio yang membuat tetangga kita merasa terganggu. Abu Hurairah berkata, Rasulullah ﷺ bersabda :

Baca juga:  Otoritas Kaum Sufi di Masa Dinasti Seljuk

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ

Artinya: “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir maka janganlah dia mengganggu tetangganya.” (HR. Bukhari (no.1609); Muslim (no.2463); dan lafaz hadits ini menurut riwayat beliau, Ahmad (no.7236).

Dapat dipahami bahwa dalam ajaran Islam kita dilarang untuk mengganggu tetangga kita bahkan kita harus berbuat baik kepada tetangga. Pertanyaannya sekarang apakah suara azan dengan pengeras suara dapat dikatakan mengganggu?

Tujuan azan dengan pengeras suara agar terdengar oleh masyarakat luas sebagai syiar agama Islam serta pengingat jika waktu salat sudah masuk. Dalam kehidupan modern sekarang, dengan jumlah penduduk yang padat dan kebisingan yang ditimbulkan oleh suara mesin kendaraan, mesin pabrik ataupun aktivitas manusia yang semakin meningkat apalagi di kota-kota besar yang mayoritas penduduknya Islam, sehingga jika azan tidak dengan pengeras suara maka azan tidak dapat terdengar oleh masyarakat sebagai pengingat waktu salat.

Jika alasan azan dengan pengeras suara menimbulkan kebisingan, maka suara mesin kendaraan, mesin pabrik, aktivitas manusia juga bisa menimbulkan kebisingan, sehingga azan dengan pengeras suara dapat dikatakan tidak mengganggu karena tujuan azan dengan pengeras suara untuk mengingat waktu salat dan syiar Islam di wilayah yang mayoritas beragama Islam. Keadaan berbeda jika dalam suatu wilayah terdapat mayoritas non-muslim seperti di Bali, maka azan tidak dianjurkan dengan pengeras suara karena bisa mengganggu berdasarkan keadaan wilayah tersebut yang mayoritas non-muslim.

Dalam kitab Fathul Mu’in Syarah Qurratil ‘Ain, Syekh Zainuddin Al-Malibari ulama fiqih syafi’i mengatakan bahwa:

يُسَنُّ رَفْعُ الصَّوْتِ بِالْأَذَانِ لِمُنْفَرِدٍ فَوْقَ مَا يُسْمِعُ نَفْسَهُ ولِمَنْ يُؤَذِّنُ لِجَمَاعَةٍ فَوْقَ مَا يُسْمِعُ وَاحِدًا مِنْهُمْ

Artinya, “Disunnahkan mengeraskan suara azan bagi orang yang salat sendirian di atas volume suara yang dapat memperdengarkan dirinya sendiri; dan bagi orang yang adzan untuk jamaah di atas volume yang dapat memperdengarkan satu (1) orang dari mereka”. Kaidah fiqih menyatakan: “Falâ turajjâhu mashâlalih khâsshah ‘ala mashâlalih ‘ammah,” kemaslahatan yang bersifat khusus tidak dimenangkan di atas kemaslahatan yang bersifat umum.”

Seorang mujaddid abad 20, Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi dari Mesir dalam wawancara tentang hukum mengeraskan suara azan sampai menimbulkan kebisingan padahal di daerah tersebut ada orang yang sakit maka hukumnya adalah bathil. Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi dalam wawancaranya menggunakan bahasa Arab Amiyah (pasaran) mesir, Beliau menggunakan diksi غوغائية dalam wawancaranya, kata tersebut bisa bermakna bising, rusuh ataupun urakan.

Baca juga:  Keajaiban Banten: Karomah Maulana Hasanuddin

Diksi berikutnya yaitu يهبهب , kata tersebut bisa bermakan “suara yang ditimbulkan oleh hewan yang sedang bersetubuh”, bahkan contoh penggunaan kata هبهب adalah هبهب الكلب yang bermakna gonggongan anjing. Dapat diketahui bahwa Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi mengatakan suara azan yang menimbulkan kebisingan disamakan dengan gonggongan anjing dan hukumnya adalah bathil.

Menurut pendapat saya tentang aturan azan dengan pengeras suara yang dikeluarkan oleh menteri agama kurang relevan jika harus dilaksanakan oleh semua masyarakat Indonesia, baik dalam kehidupan masyarakat di Indonesia yaitu di desa yang mayoritas muslim maupun di kota-kota besar mayoritas muslim yang terdapat suara kebisingan lain seperti mesin kendaraan, mesin pabrik maupun aktivitas manusia yang lain.

Suara azan sangat dinantikan oleh masyarakat di desa sebagai pertanda masuk salat terlebih lagi pada bulan Ramadan, selain suara azan, pujian atau bacaan-bacaan baik yang memuji Allah setelah azan dikumandangkan juga tidak asing di dengar oleh masyarakat. Jika keadaan seperti ini maka azan yang dilakukan dengan pengeras suara tidak dapat dikatakan mengganggu sehingga hukum haram atau bathil tidak dapat dikenakan dalam kasus ini.

Seperti muadzin yang dilakukan pada masa Rasulullah yaitu Bilal yang mempunyai suara lantang dan dapat didengar pada jarak yang jauh, maka azan yang dilakukan dengan pengeras suara pada kasus seperti ini tidaklah menjadi masalah. Namun jika azan yang dilakukan dengan pengeras suara di tengah-tengah masyarakat yang non-muslim kemudian dapat mengganggu orang lain bahkan sampai membuat suara bising serta terdapat orang yang sakit, maka pernyataan Syekh Mutawalli Asy-Sya’rawi bahwa hukumnya bathil. Sehingga penggunaan pengeras suara pada keadaan ini hendaknya dilakukan dengan lirih seperti ungkapan Syekh Zainuddin Al-Malibari yaitu volume yang dapat memperdengarkan satu orang dari mereka.

Sebagai saran untuk aturan pengeras suara azan yang dikumandangkan bisa mengganggu masyarakat umum, maka aturan yang sama juga berlaku untuk pengeras suara panggilan atau seruan bagi agama lain, misal lonceng pada agama Kristen, panggilan nyanyian untuk dewa pada agama Hindu sehingga dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia dapat terjalin kerukunan, rasa aman dan tentram.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
2
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top