Seorang tokoh muslim Tanah Air yang menarik untuk diperbincangkan, di antaranya adalah Mun’im Sirry. Telah banyak media menulis sosoknya. Kepentingan saya menuliskannya, karena saya sempat “nyeruput barokah” beliau ketika menjadi dosen tamu di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada tahun 2018. Lebih tepatnya pada semester tiga, mata kuliah Studi Akademik Alquran dan Tafsir. Jadi, ada sudut pandang personal ketika saya menilainya.
Sebelum tahun itu, saya sama sekali belum pernah mengenal beliau secara personal, apalagi bertatap-muka. Desas-desus yang beredar, Prof. Mun’im merupakan orang Indonesia yang menjadi dosen di Amerika Serikat. Dada saya berdegup dan berdesir ketika mendengar baliau bakal mengajar di kelas. Ini kesempatan langka. Jarang-jarang anak pelosok Sumatera seperti saya meraih kejutan akademik sedemikian.
Konon Mun’im terlibat proyeksi (editor) buku kontroversial Fiqih Lintas Agama yang digawangi oleh Nurcholish Madjid, Sang Guru Bangsa yang telah lebih duluan saya kenal sisi buramnya, sebagai pentolan Sepilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme). Ketidaktahuan saya itu tampaknya dilatari kurangnya pasokan buku-buku “penggoyang iman” seperti ini.
Mun’im dilahirkan pada 9 Maret 1971 dari keluarga petani tembakau di Madura. Santri udik di Pesantren al-Amien (1983-1990) yang ‘beragama’ NU. Fokus, tekun, konsisten, serta dibarengi dengan kekuatan doa, menjadikannya “seseorang”, asisten profesor dan bermustautin di Amerika, lebih spesifiknya di University of Notre Dame. Kendati begitu, saya senang sering menyapanya “professor”. Rocky Gerung saja boleh, kenapa beliau tidak?
Ketika diminta mengajar, Prof. Mun’im sebenarnya tidak paham penuh dengan perkuliahan di Indonesia. Alasan krusialnya, karena semua studinya dihabiskan di luar negeri. Ia adalah alumni S1 dan S2 di International Islamic University, Islamabad, Pakistan (1990-1996). Sewaktu di Pakistan ia pernah turut memanggul senjata bersama kelompok ekstrimis, alasannya demi sesuap nasi dan menyambung hidup.
Keberangkatan Prof. Mun’im muda ke Pakistan merupakan mimpi besar dan pertarungan antara hidup dan mati di negeri orang. Bekalnya yang tersisa ketika tiba di Pakistan sekitar $50, mengingat kondisi finansial orangtuanya, anak muda umur 18 tahunan itu bertekad tidak akan pernah meminta kiriman dari rumah, ini dibuktikannya hingga selesai S1 dan S2 di Pakistan. Begitu paparnya dalam Islam Revionis Kontestasi Agama Zaman Radikal (2018: 122-125).
Meski orang Madura tulen, Prof. Mun’im tidak terlihat “ndeso”, beliau mahir sekali berbahasa Arab dan Inggris. Apalagi ia juga jebolan magister University of California Los Angles (UCLA) dan doktoral University of Chicago (2012), menambah ketepatan bila menyebutnya sebagai “adik intelektual” Cak Nur, bukan Buya Syafi’i, apalagi Amien Rais. Mungkin karena gejala faktor genetik dan trah intelektual yang tidak serupa, dengan dua orang itu. Kendati sama-sama Pendekar Chicago, kata Gus Dur suatu ketika.
Melalui profil di laman google scholar, terlihat bahwa Prof. Mun’im sangat memiliki ketertarikan serius terhadap studi Alquran, hermeneutika, teologi, serta studi perbandingan Islam dan Kristen. Tergambar dari disertasinya, Reformist Muslim Approaches to the Polemics of the Qur’an against Other Religions” (2012). Setahun kemudian karya ilmiah ini diterjemahkan menjadi, Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik al-Qur’an Terhadap Agama Lain.
Penguasaan teks Timur dan Barat memperkaya pemikiran Prof. Mun’im, meski akhirnya lebih cenderung memberi jempol pada sarjana “kafir”. Label liberal yang diseprotkan kaum konservatif, membuatnya tertawa dan malah balik bertanya, “Apa dan siapa gembong liberal itu? Ulil Abshar Abdalla-kah? Di Harvard University saja tidak kelar, JIL masih belum apa-apa.”
Sewaktu mengajar, Prof. Mun’im sangat tepat waktu, selalu datang dan keluar kelas tepat waktu. Sesekali ia menyesal, “Sayangnya waktu kita telah habis”. Beliau sangat menghargai “suara” dan karya mahasiswa, dengan ungkapan “ini sangat menarik!”, tanpa pernah bilang kata “salah” atau nada meremehkan.
Di akhir perkuliahan, Prof. Mun’im meminta mahasiswanya mengirimkan satu lembar proposal riset lengkap dengan bibliografinya. Teman-teman mahasiswa bingung dan merasa kewalahan, bisakah menuliskan proposal dalam satu lembar? Untungnya saya tidak katro amat. Saya pernah melihat proposal tesis seorang dosen alumni Belanda, benar-benar satu lembar, singkat dan padat. Bukan bertele-tele seperti tulisan orang Indonesia. Beliau bersedia membaca proposal yang dikirimkan melalui akun email dan membalasnya segera dengan ungkapan apresiatif.
Background akademik, perkawinan kultural Indonesia-Pakistan-Amerika, dan penguasaan literasi dari dua sisi membangun horizon pikir Prof. Mun’im tentang Islam terlihat sangat “binal”. Beliau jatuh cinta dengan pemikir kritis, terutama kepada sarjana Inggris John Wansbrough (w. 2002) berserta murid-murid ideologisnya, Patricia Crone (w. 2015) dan Michael Cook.
Dalam sekapur sirih bukunya, Islam Revisionis Kontestasi Agama Zaman Radikal (2018), Prof. Mun’im tanpa segan menyebut Wansbrough sebagai “nabi-nya” kaum revisionis. Saya pun kemudian menilai beliau sebagai “mujtahid”, penerus Wansbrough itu. Namun, secara sadar, Prof Mun’im tidak menafikkan sarjana klasik yang telah “memuncratkan” embrio dalam ranah ini, misalnya Ignaz Goldziher (w. 1921) dengan karyanya Muhammadanische Studien.
Tak ubahnya seperti tulisan Goldziher, karya besar Wansbrough, Quranic Studies (1977) dan The Sectarian Milieu (1978) turut membuat kelimpungan sarjana muslim konservatif. Pasalnya “buku haram” tersebut mendobrak kemapanan doktrinal Islam yang dianggap telah final, padahal pada sisi berbeda sebenarnya orang muslim mengakui telah terjadi dogmatisasi.
Pemikir revisionis sejatinya mengajak untuk memikirkan ulang (re-thingking) dan merekonstruksi pandangan tentang Islam menggunakan sumber dan kerangka ilmiah. Pandangan yang menjadi fokus garapan revisionis terutama tentang kemunculan Islam dan sejarah Alquran, dapatkah dibuktikan? Mayoritas muslim menerimanya secara taklid buta, tanpa mempersoalkan parameter originalitas dan keakuratan data historis.
Menjadi ‘komplotan’ revisionis tampaknya terlebih dulu menanamkan jiwa skeptis dan kecurigaan terhadap Islam. Cukup beralasan memang, karena apa yang diterima tentang Islam merupakan produk belakangan, lebih satu abad pasca nabi Muhammad wafat. Kajian historis menolak mentah-mentah fakta demikian.
Tesis Wansbrough berdasarkan kaedah historisitas yang paling “menohok” iman Islam adalah tentang kelahiran Alquran di Mosopotamia, bukan di Mekkah-Madinah. Argumen mendasarnya hanya di daerah inilah yang memungkinkan realitas persinggungan Islam dengan agama-agama kitabiyah, terutama abad ke-8 dan ke-9.
Pandangan Wansbrough tersebut menginspirasi Prof. Mun’im. Tak ayal, pada sebuah seminar di Kuala Lumpur, Malaysia, ia mendapat predikat sebagai sarjana “menyimpang”. Tetapi beliau tetap muslim yang taat menurut saya, karena pernah terlihat jumatan di masjid kampus UIN. Satu hal yang perlu diberi garis bawah adalah, pengguliran ini beredar pada wilayah diskusi intelektual, bukan soal iman awam.
Prof. Mun’im mengeluhkan kajian revisionis yang masih seperti eceng gondok, belum berakar kuat dan kokoh. Padahal, akan membuka ruang garapan baru bagi sarjana Islamic studies ke depan. Tampaknya ia terus menebarkan mazhab ini, terekspresikan melalui buku-buku “bandel” yang menampung buah ideologisnya, seperti: Kontoversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis (2015), Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis (2017), dan Islam Revisionis Kontestasi Agama Zaman Radikal (2018),
Dalam melahirkan “anak-anak” ideologisnya tersebut, Prof. Mun’im tidak pernah takut tentang melayangnya iman pembaca. Sebab, seperti yang saya pahami dari pengantar buku Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis (2017), pembentukan keyakinan mengalami tempaan panjang, tidak akan serta merta mudah terkoyak lantaran sekelumit bacaan berbeda.
Usaha penyebaran bibit revionis tampaknya tidak berhenti hanya melalui buku, Sebelum bertolak ke Amerika, sekitar bulan Mei 2018, Prof. Mun’im sempat hadir di layar kanal Youtube Komunitas Lingkar Semanggi. Sebuh grup diskusi yang dimoderatori Komaruddin Hidayat. Di kesempatan itu, beliau mengangkat Studi Alquran Kontemporer di Barat.
Prof. Mun’im secara dewasa tidak pernah memaksakan orang lain berpikiran serupa dengan dirinya. Beliau hanya ingin memprovokasi dan menstimulus sarjana muslim untuk membuat pertanyaan kritis-skeptis, meski jawaban yang dihasilkan boleh jadi tidak disepakati. Ia juga siap meladeni setiap kritikan yang ditujukan kepada karya dan pemikirannya, karena dengan demikian dinamika dan diskursus tentang Islam semakin meriah.
Belakangan ini Prof Mun’im terlihat aktif menulis di laman media daring geotimes.co.id, tulisannya selalu disambut hangat dan terus dibagikan oleh ribuan, bahkan ratusan ribu penghuni dunia maya. Namun, topiknya lebih fokus pada diskursus relasi antar agama, Islam dan Kristen.
Ia juga menyempatkan diri menulis mengenai riba dan bunga bank. Apakah selera revisionis beliau pasca kembali dari Indonesia 2018 lalu menjadi berubah? Saya belum membacanya, kalau saja benar, saya akan merevisi gelar “mujtahid”-nya. (SI)
Informasi yang renyah untuk diketahui. Selamat mentor epistomologi! Tulisan Anda sangat bermanfaat ??