Sedang Membaca
Memutar Lagu Indonesia Raya yang Tidak Tepat Waktu: Simbol Kebangsaan atau Otoritarianisme?
Gifari Juniatama
Penulis Kolom

Gifari Juniatama adalah penulis lepas dan peneliti independen. Meminati kajian sosial, agama, dan budaya. Saat ini tinggal di Tangerang. Dapat dihubungi melalui akun instagram @gifarijuniatama atau akun facebook Gifari Juniatama.

Memutar Lagu Indonesia Raya yang Tidak Tepat Waktu: Simbol Kebangsaan atau Otoritarianisme?

Memutar Lagu Indonesia Raya yang Tidak Tepat Waktu: Simbol Kebangsaan atau Otoritarianisme?

Setiap hal akan terasa nikmat jika dalam takaran yang pas dan sesuai. Misal saat seseorang memutar musik dangdut, tentu bukanlah sesuatu yang keliru jika disetel dalam volume suara yang bersahabat dan bukan pada waktu orang-orang butuh ketenangan. Momentum juga perlu diperhatikan saat hendak menyetel sebuah musik, seperti ketika dalam sebuah  acara pengajian, akan terasa tidak pantas jika didahului dengan musik disko.

Ketidaksesuaian juga belakangan terjadi dalam soal pemutaran lagu kebangsaan. Sejak November tahun lalu, lagu Indonesia Raya rutin diputar pada setiap jam 10.00 pagi di lingkungan BUMN. Hal tersebut berdasarkan surat edaran Menteri BUMN yang mewajibkan pemutaran lagu kebangsaan itu setiap hari kerja di jam yang sudah ditentukan. Saat lagu diperdengarkan, setiap orang diwajibkan bersikap sempurna dengan penuh hormat seperti sedang dalam sebuah upacara resmi negara.

Surat edaran yang memerintahkan pemutaran lagu Indonesia Raya juga nampaknya mulai bermunculan lewat pemerintahan daerah. Salah satu yang sudah mengeluarkannya adalah Pemerintah Provinsi Banten pada 31 Januari lalu. Dalam surat tersebut, Penjabat (Pj) Gubernur Banten,  A. Damenta menginstruksikan pemutaran Indonesia Raya dua kali dalam sehari pada setiap hari kerja. Pada pagi hari, lagu itu diputar pukul 10.00 dan di sore hari pukul 16.00. Di daerah Banten, lagu gubahan W. R. Supratman diputar pada setiap ruang publik seperti kantor, sekolah, pabrik, mall, pasar, bandara, pelabuhan, stasiun, rumah sakit serta seluruh fasilitas umum lainnya.

Dalam berbagai surat edaran yang memerintahkan pemutaran lagu Indonesia Raya, pada umumnya menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan semangat nasionalisme serta memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Sebuah argumen klise yang selalu muncul dari waktu ke waktu.

Baca juga:  Kliping Keagamaan (17): Kehormatan Pembaca Puisi

Peningkatan intensitas pemutaran lagu Indonesia Raya di luar upacara resmi merupakan sebuah keganjilan zaman di era seperti saat ini. Jika lagu kebangsaan diputar dalam acara resmi memiliki makna pewujudan praktik simbolik nasionalisme, pemutaran lagu itu setiap hari di jam-jam yang semestinya warga berkegiatan akan lebih terlihat seperti sebuah praktik indoktrinasi yang melebihi dosis.

Proses indoktrinasi semacam ini bisa turut dibaca sebagai sebuah gejala semakin menguatnya pengaruh negara atas ruang kebebasan milik publik. Secara jeli, Daniel Dhakidae dalam sebuah orasi budaya yang disampaikannya di Taman Ismail Marzuki pada 2014 lalu menilai bahwa telah terjadi semacam proses arus balik menuju kembali menguatnya pengaruh negara atas masyarakat sejak satu dekade lalu. Berbagai sinyalnya sudah dapat terdeteksi dalam bahasa kampanye politik pada pemilu 2014.

Dalam pemilu yang kini diingat sebagai peristiwa politik dengan gesekan antar warga paling panas pasca reformasi, setiap kubu yang berhadapan mengumbar simbol-simbol nasionalisme dalam langgam yang membawa kembali memori nasionalisme ekstensif ala Sukarno di masa lalu. Menurut Dhakidae dalam pidatonya lebih dari sepuluh tahun lalu itu, nasionalisme bisa berwujud intensif seperti era reformasi yang ditandai dengan lebih kuatnya posisi masyarakat sipil di hadapan negara serta bisa juga berwujud ekstensif yang ditandai dengan lebih kuatnya posisi negara sebagai institusi dengan daya paksa yang berkuasa lebih atas kehidupan warga negara.

Salah satu jejak nasionalisme ekstensif yang juga sering memiliki kecenderungan ekspansionis itu bisa dilihat dalam lagu Indonesia Raya. Lagu yang pertama kali diperdengarkan pada Kongres Pemuda II tahun 1928 ini lahir dalam konteks sejarah ketika sentimen nasionalisme tumbuh di tanah air, namun pada saat bersamaan perasaan tersebut menerima pengaruh cukup kuat dari gagasan Pan-Asianisme Jepang yang dianggap oleh banyak tokoh pergerakan nasional waktu itu semisal Sukarno sebagai kiblat kemajuan bangsa Asia.

Baca juga:  Ketika Toleransi Menjadi Ideologi Resmi Negara

Namun, ideologi yang dipupuk oleh Jepang ini memiliki sisi gelap berupa nafsu untuk mencaplok wilayah geografis serta kecenderungan fasis. Bayang-bayang dari kehendak berkuasa ideologi Asianisme ini bisa ditemukan dalam lirik Indonesia Raya. “Bangoenlah djiwanja…Sadarlah hatinja…Madjoelah negerinja…Oentoek Indonesia Raja” dalam lirik Indonesia Raya versi awal ini biasanya dimaknai sebagai sebuah usaha membangun semangat bagi warga negara untuk memajukan negara. Tetapi, lirik tersebut juga bisa ditafsirkan sebagai sebuah ambisi untuk mewujudkan mimpi berkuasa atas Indonesia Raya yang luasnya melebihi bentuk Indonesia saat ini.

Imajinasi “Indonesia Raya” yang hendak menyamai konsep Asia Raya milik Jepang ini sudah hadir sejak perdebatan penentuan wilayah geografis Indonesia di antara para pendiri negara. Kemudian ambisi ini kambuh saat rezim Demokrasi Terpimpin yang otoriter hendak mewujudkan cita-cita Astadwipa Nusantara dengan keinginan menarik Semenanjung Malaya menjadi bagian dari Indonesia. Pada era Orde Baru, konsepsi Indonesia Raya yang ekspansionis terlihat saat penguasa negeri ini ingin menguasai Timor Timur.

Menurut Dhakidae (2008), konsep “Indonesia Raya” sebagai bentuk kekuasaan nasionalistik yang berlebihan membutuhkan kekuatan otoritarianisme dan dukungan militer seperti terjadi pada saat Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru berkuasa. Kekuasaan pemerintah akan menjadi sangat sentralistik dan suara alternatif atau kritik terhadapnya akan dipandang sebagai ancaman.

Dengan segala unsur serta gagasan yang mengelilingi perjalanan sejarah lagu Indonesia Raya sejak awal kelahirannya, maka semakin seringnya pemutaran lagu kebangsaan ini bisa dirasakan sebagai sebuah gejala adanya kehendak pemerintah untuk lebih berkuasa atas warga negara. Dalam taraf yang lebih lanjut, propaganda berlebihan lagu kebangsaan kepada warganya sendiri ini bisa juga dilihat memiliki kemiripan dengan gestur kekuasaan otoriter dengan tuntutan loyalitas dan kepatuhan absolut.

Baca juga:  Agama dan Pelintiran Kebencian (2): Senjata Bagi Wirausawahan Politik

Secara paralel, fenomena pemutaran lagu Indonesia Raya yang terasa berlebihan ini datang bersamaan dengan tanda-tanda yang menunjukkan kecenderungan pemerintah untuk menjadi sentralistik dan militeristik. Hal ini setidaknya terlihat dari kengototan pemerintah untuk mengumpulkan kepala daerah sipil dalam kegiatan retret yang dibalut dengan segala simbol militer. Belakangan, isu menguatnya kembali kehadiran militer dalam kehidupan sipil ikut melengkapi gejala-gejala dari adanya keinginan untuk mewujudkan kembali “negara kuat.”

Pada sisi lain, kehadiran berbagai tanda otoritarianisme ini sebenarnya berasal dari pemerintahan yang dilahirkan oleh persepsi sebagian masyarakat yang nampaknya melihat situasi sehari-hari dengan kaca mata Hobbesian. Kehidupan masyarakat dipandang sebagai sumber segala konflik, setiap orang adalah homo homini lupus atau manusia yang menjadi serigala bagi sesamanya. Kekacauan semacam itu hanya bisa diatasi oleh sebuah negara kuat.

Adanya kecenderungan sebagian masyarakat yang masih mendambakan “negara kuat” ala otoritarianisme mungkin menandakan bahwa kesadaran sebagai warga negara sipil yang berdaulat masih kurang. Penolakan terhadap berbagai gejala kembalinya era kegelapan praktik kekuasaan  yang masih terbatas pada sebagian kalangan terdidik menunjukkan ada hal yang keliru dalam proses penyemaian cita-cita bersama untuk mewujudkan kehidupan yang adil dan makmur bagi semua warga negara. Mereka yang tertindas oleh ketidakadilan negara, justru tertipu oleh rayuan cita-cita “negara kuat.”

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top