Syahdan, seorang penyadap nira suatu saat tersadarkan oleh Sunan Kalijaga yang tengah menyaru sebagaimana kebiasaannya dalam menyadarkan atau mengkaderisasi seseorang. Nama sang penyadap nira itu adalah Ki Cakrajaya, yang setelah melakukan tapa obong, diprovokasi sedemikian rupa hingga gosong, bergelar sebagai Sunan Geseng.
Pada dasarnya bentuk tapa Sunan Geseng dan Sunan Kalijaga hampir sama, diberi amanah untuk menunggu dan tenggelam dalam penungguan itu sampai sang pemberi amanah teringat dan kemudian membangunkannya. Perbedaan di antara keduanya, seandainya Ki Cakrajaya tenggelam dalam api provokasi, Raden Syahid tenggelam dalam ketiadaan identitas—bahkan sampai ia pun menjadi salah satu walisanga, namanya terkadang tenggelam dalam nama Bima Sena ketika berjumpa dengan Dewa Ruci atau bahkan Nabi Khidhir yang konon secara khusus membimbing dan mengkaderisasi para wali.
Membaca kisah maupun kiprah dua wali ini memang cukup mengasyikkan ketika membacanya dengan kerangka tafsir humanistik. Bahkan konon Prof. Dr. Slamet Mulyana, sejarawan penulis Tafsir Negarakretagama, berdasarkan kronik Sam Po Kong, menyatakan bahwa keduanya adalah kakak beradik yang berdarah Tionghoa dimana Kalijaga bernama Gan Si Chang, salah satu kapten kapal Laksmana Cheng Ho, dan Geseng bernama Gan Si Eng.
Dalam kisah-kisah babad pun keduanya juga saling berkaitan. Sunan Kalijaga dikenal sebagai salah satu guru dari Sunan Geseng. Bidang kewalian keduanya juga saling berhubungan dengan Syekh Siti Jenar. Seandainya Kalijaga adalah menantu Siti Jenar, Geseng adalah penerus kewalian Siti Jenar yang mengurusi masalah wejangan tertinggi yang dikenal sebagai Sasahidan.
Keterkaitan keduanya dengan gula kelapa (gula klapa) juga tak dapat diragukan lagi. Seandainya Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali yang menciptakan pupuh tembang dhandhanggula atau dhandhanggendhis, Sunan Geseng berawal dari seorang penyadap nira atau pembuat gula kelapa. Misteri tentang pupuh dhandhanggula, atau dikenal pula sebagai sarkara, sepertinya cukup asyik ketika dibaca dalam keterkaitannya dengan tasawuf Jawa yang lekat dengan Syekh Siti Jenar dan salah satu cara dalam berdakwah atau berpropaganda.
Pupuh atau metrum dhandhanggula, dalam kerangka konsep sangkan-paran, menduduki fase titik tengah dalam keseluruhan fase kehidupan manusia (Kantuk yang Tak Berujung Lelap: Liminalitas dalam Kebudayaan Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).
Taruhlah dalam pagelaran wayang purwa, lazimnya se-pupuh tembang dhandhanggula akan diperdendangkan pada suasana pathet 9 dimana seusai adegan Gara-Gara, seorang ksatria tengah mendengarkan dan belajar wejangan-wejangan dari seorang pertapa. Seandainya dirunut dari fase kehidupan manusia, metrum dhandhanggula identik dengan usia yang mulai memikirkan masa depan atau hari akhir.
Dalam khazanah budaya Jawa, fase itu adalah fase sesudah fase puber yang identik dengan asmarandana (api asmara) dan maskumambang (pasang surut masalah asmara seperti patah hati dan berahi). Secara kronologis, fase yang identik dengan metrum dhandhanggula itu ibarat telaga yang sudah tak beriak atau jalan yang sudah tak beriak. Umumnya, fase itu di kisaran usia menjelang 40 tahunan yang dahulu kerap menjadi patokan seseorang untuk belajar ngelmu kasampurnan yang berorientasi pada pencapaian manising pati atau khusnul khatimah.
Konsep tentang manising pati (manisnya kematian) memang menjadi salah satu ideal dalam tasawuf Siti Jenar. Karena itulah istilah dhandhanggula juga dapat dimaknai sebagai manisnya kematian. Sebab, istilah “dhandhang” adalah juga berarti burung gagak yang telah sejak lama diidentikkan dengan kematian. Mengaitkan antara Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, Sunan Geseng, dan dhandhanggula bukanlah sebentuk upaya yang mengada-ada ketika dikaitkan dengan metode atau cara dalam berpropaganda ataupun berdakwah.
Demi memperoleh dhandhanggula yang berarti manisnya kematian, orang pun akan sebisa mungkin memperhitungkan rasa (tenggang rasa) yang secara otomatis adalah sebentuk toleransi. Taruhlah ketika orang membiarkan praktik caos dhahar atau sesajen yang lazim dilakukan oleh kalangan Hindu dan pewaris kearifan-kearifan lokal, meskipun tak dilandasi oleh nalar dan ilmu (pethek bodhon), sikap itu akan menyelamatkan rasanya sendiri—yang otomatis rasa orang lain pula. Sebab, ketika orang menyikapi praktik caos dhahar itu secara berlebihan sudah pasti rasa yang akan ditimbulkannya sendiri akan pahit, minimal akan menjadi kendala sendiri yang bahkan pun dalam upayanya untuk beragama dan bertuhan.
Dengan demikian, ketika orang melihat output dari dhandhanggula adalah toleransi, maka secara pragmatis ideal manising pati atau manisnya kematian dapat dimaknai sebagai hasil yang baik atau produktif.
Suasana dan gaya berdakwah ataupun berpropaganda yang identik dengan dhandhanggula—yang secara historis lekat dengan citra Syekh Siti Jenar, Sunan Kalijaga, dan Sunan Geseng—merupakan pilihan bentuk dakwah yang secara kultural bersifat autochthonous dengan negara Indonesia yang memang majemuk dan secara ideal memang menuntut perlunya olah rasa (tenggang rasa). Bukankah dengan adanya Pancasila dan UUD 1945 kemajemukan negara ini sudah tak perlu lagi memerlukan nalar?