Tuan Guru Zaharuddin Asahan atau terkadang juga dipanggil Syekh Zaharuddin Asahan adalah salah satu ulama Jambi yang paling berpengaruh pada paruh kedua abad 20. Beliau dilahirkan di Desa Sungai Jawi Jawi, Tanjung Balai, Asahan pada tahun 1901. Ayahnya bernama Usman dan ibunya bernama Khadijah.
Semasa kecil, Tuan Guru Zaharuddin belajar agama lingkungan keluarga. Memasuki usia remaja, ia melanjutkan studinya kepada Tuan Syekh Abdul Hamid Tanjung Balai, Asahan.
Setelah belajar kepada Tuan Syekh Abdul Hamid, ia kemudian berangkat ke Malaysia untuk belajar kepada Tuan Syekh Yusuf Tuk Awang Kenali, di Kelantan.
Tidak lama di Malaysia, ia kembali ke Asahan karena rasa rindu yang mendalam kepada orang tua. Di Asahan ia diangkat menjadi Muallim Muda dan memiliki izin pengajian dari Kesultanan Asahan. Beberapa tahun setelahnya, tepatnya ketika ia berusia 20-22 tahun, ia diangkat menjadi penasihat agama di Kesultanan Deli.
Rupanya jabatan yang menjanjikan tersebut tidak membuat Tuan Guru Zaharuddin puas menuntut ilmu. Sekali lagi ia pergi ke Malaysia untuk menuntut ilmu dari Tuan Syekh Yusuf Tuk Awang. Oleh Tuan Syekh Yusuf Tuk Awang, ia disarankan untuk melanjutkan studinya ke Mekah.
“Jika engkau belajar ke Mesir, ilmu banyak. Sambil tiduran engkau bisa mendapat ilmu. Jika engkau belajar atau mengaji di Mekah, ilmu sedikit tapi berkah” kata Tuan Syekh Yusuf Tuk Awang kepada Tuan Guru Zaharuddin.
Meskipun mendapatkan saran belajar ke Mekah, Tuan Guru Zaharuddin tetap melanjutkan studi ke Mesir selama dua tahun, sebelum belajar di Mekah. Karena sudah dikenal di kalangan ulama Mesir, ia mendapatkan surat rekomendasi sehingga oleh pemerintah Mekah diberi izin mengajar di Masjid Al Haram. Di sini ia dikenal sebagai Syekh Zaharuddin Asahaniah.
Kembali ke Indonesia dan Tinggal di Jambi
Pada tahun 1939, Tuan Guru Zaharuddin memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Namun, bukannya ke Asahan, ia justru ke Batavia atas permintaan muridnya. Dua tahun di Jakarta barulah ia kembali ke Asahan.
Akan tetapi, karena di Asahan Tuan Guru Zaharuddin tidak memiliki ruang gerak yang bebas. Sehingga ia memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Di Jakarta ia mengajar di Madrasah Nurul Islam di Pasar Minggu hingga tahun 1942.
Pada tahun 1942 Tuan Guru Zaharuddin diundang oleh kawan lama, Haji Kadar untuk mengajar di Jambi, tepatnya di Dusun Mersam, Kabupaten Batang Hari. Namun, sekali lagi Tuan Guru Zaharuddin hijrah setelah dua tahun di Mersam.
Tuan Guru Zaharuddin mengalami beberapa kali pindah dari dari satu desa ke desa lain hingga akhirnya pada tahun 1954 ia memutuskan untuk menetap di Mangun Jayo, Tebo. Di sini ia mendirikan Madrasah Nurul Jalal. Madrasah inilah yang menjadi tempat belajar murid dari seluruh penjuru, khususnya di Batang Hari dan Tebo.
Kitab Nur al-Jalal fi Ma’rifat al-Ilah Dzi al-Jalal
Tuan Guru Zaharuddin memiliki karya yang berjudul sama dengan nama madrasah yang didirikannya. Kitab tersebut adalah kitab tauhid yang berjudul Nur al-Jalal fi Ma’rifat al-Ilah Dzi al-Jalal.
Kitab ini selesai ditulis pada tahun 1373 bertepatan pada tahun 1953 lalu diterbitkan oleh penerbit Toha Putra, Semarang tanpa tahun terbit. Jumlah halaman kitab ini sebanyak seratus lima puluh halaman dan ditulis menggunakan aksara jawi berbahasa melayu.
Jika melihat keterangan pada halaman dua, sepertinya Nurul Jalal ditulis untuk kebutuhan belajar mengajar di madrasah. Di situ tertulis tata cara membacakan kitab Nurul Jalal di hadapan santri.
Metode penyampaian yang digunakan pada kitab Nurul Jalal adalah tanya jawab. Seorang guru menanyakan soal kepada santri, lalu dijawab pula oleh guru tersebut.
Berbicara masalah metode, Nurul Jalal memiliki gaya pertanyaan berkelanjutan dan berulang-ulang seperti:
Soal | Jawab |
Hukum akal berapa macam? | Tiga macam |
Apa yang tiga macam? | Hukum akal |
Berapakah terbagi hukum akal? | Tiga bahagian |
Karena apa pertanyaan dan jawabannya berulang | Supaya terlebih nyata dan bertambah terang |
Secara muatan, kitab Nurul Jalal menjelaskan cukup detail logika bertauhid Aswaja disertai dengan dalil Al-Quran, seperti mengapa Allah memiliki sifat wujud dan lainnya.
Penjelasan pada kitab ini didominasi oleh tanya jawab seputar sifat dua puluh dan jaiz Allah SWT. Hanya sedikit di antaranya menjelaskan dasar logika sifat ketuhanan, sejarah Nabi Muhammad, sifat rasul dan seputar surga dan neraka.
Jika melihat pembahasannya, nampaknya kitab ini ditulis untuk santri kelas menengah. Karena banyak memunculkan tanya-jawab yang tidak ditemukan pada santri kelas dasar seperti:
Soal | Jawab |
Apa artinya Tuhan mengadakan kita itu wajib? | Yang mengadakan kita pasti Tuhah, bukan yang lain dari Tuhan |
Bukankah ibu bapak kita yang membuat kita? | Tidak sekali-kali tidak |
Mana keterangannya? | Nabi Adam AS tidak ada ibu bapaknya |
Mana lagi keterangannya | Siti Hawa tidak ada ibunya |
Pertanyaan serupa terus diulang dan diperdalam hingga mencapai sepuluh pertanyaan.
Sayangnya kitab ini sudah jarang beredar di masyarakat. Hanya kalangan tertentu saja yang masih menyimpannya. Agaknya perlu dilakukan upaya mengkaji kembali kitab Nurul Jalal di majlis taklim atau di pesantren-pesantren Jambi. Karena secara materi kitab ini sangat mudah untuk dipahami. Tidak hanya itu, mengkaji kitab Nurul Jalal ini sama saja dengan menghidupkan kembali khazanah Islam di Jambi yang sangat maju pada abad 20.