إذ الفتى حسب اعتقاده رفع – و كل من لم يعتقد لم ينتفع
“Karena kualitas pemuda sesuai kadar keyakinannya, maka setiap orang yang tidak punya keyakinan, tidak akan dapat mengambil manfaat.”
Sebait nadzom di atas sering dikutip oleh guru saya, Romo KH. M. Anwar Manshur, pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Biasanya bait tersebut keluar dari lisan beliau ketika memotivasi santri-santri agar bersungguh-sungguh dalam belajar dan memiliki keyakinan yang kuat. Sumbernya berasal dari kitab Imrithi, tepatnya di bagian mukadimah.
Judul asli kitab ini adalah ad-Durrotu al-Bahiyyah Nadzmu al-Ajurumiyyah. Tetapi di kalangan kita lebih beken dengan sebutan Imrithi. Sebetulnya Imrithi adalah nisbat daerah asal pengarangnya, yakni Amrith atau Imrith, nama sebuah desa di Mesir. Barangkali lebih simpel menyebutnya kitab Imrithi ketimbang judul aslinya yang panjang.
Pengarangnya bernama lengkap Yahya bin Nur ad-Din Abi al-Khoir bin Musa al- Imrithi as-Syafi’i al-Anshori al-Azhari, berjuluk Syarof ad-Din. Ia adalah ulama abad ke-16 M. yang merupakan seorang sarjana al-Azhar. Julukannya yang lain ialah an-Nadzim, karena kepiawannya dalam membuat nadzom. Dan karyanya dalam bentuk nadzom yang paling terkenal, tentu saja kitab Imrithi yang sedang kita bahas ini.
Imrithi adalah kitab yang menadzomkan Jurumiyyah, sebuah kitab ilmu nahwu tingkat dasar yang sudah pernah saya buatkan satu artikelnya tersendiri. Maksud menadzomkan yaitu pengarang mengambil materi-materi di dalam Jurumiyyah yang berbentuk prosa, lalu dikreasi ulang menjadi karangan yang berbentuk sajak. Membuat prosa menjadi sajak memang sudah menjadi tradisi kepenulisan di dunia Arab.
Namun, Majid ar-Raghib, salah satu komentator Imrithi, menilai bahwa Imrithi tidak hanya menadzomkan Jurumiyyah, melainkan menjadi syarahnya pula. Karena dalam Imrithi disertai tambahan-tambahan yang memperluas materi dalam Jurumiyyah yang sangat ringkas.
Biasanya, masa ngaji Imrithi berada di tengah-tengah antara Jurumiyyah dan Alfiyyah. Jumlah nadzom yang ada di dalamnya mencapai 254 bait. Mayoritas santri di pondok pesantren tradisional pasti pernah menghafalkannya. Ada yang berhasil hafal keseluruhan, tetapi ada pula yang sebatas mukadimah. Bahkan di beberapa pesantren ada yang menjadikan Imrithi sebagai syarat kenaikan kelas.
Contohnya adalah Lirboyo. Di sana ada syarat bagi santri kelas 3 Tsanawiyyah untuk hafal Imrithi agar bisa naik ke tingkat Aliyyah. Meski ada pihak yang bilang bahwa menghafal bukanlah metode belajar yang baik, tetapi pesantren tetap memegang teguh prinsip al-hifzu nishful fahmi, hafal itu setengah dari paham. Dan prinsip ini masih terbukti ampuh menjadi pintu gerbang pemahaman santri.
Saya ngaji kitab Imrithi sebelum mondok di Lirboyo, tepatnya ketika saya masih di rumah. Guru saya adalah bibi saya sendiri, Ustazah Siti Masyitoh, yang merupakan alumni Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiat, salah satu pesantren salaf khusus putri di Lirboyo. Dan ngaji Imrithi adalah momen yang sangat berarti dalam kehidupan saya pribadi.
Ngaji Imrithi adalah momen ketika saya mulai memahami ilmu nahwu. Sebelumnya saya sama sekali tidak mengerti maksud dan fungsi dari materi-materi dalam ilmu nahwu. Jadi, Imrithi seakan-akan menjadi sebab ke-futuh-an saya.
Kitab Imrithi sudah bertahan selama 5 abad lamanya dan masih dikaji di banyak tempat. Tentu, ini membuktikan kualitas karangan ini sulit digantikan oleh karangan-karangan yang lebih baru. Dan ini tak hanya berlaku pada Imrithi saja, melainkan kitab-kitab lawas lainnya yang penggunaannya masih berlaku hingga sekarang.
Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah kualitas batin para pengarangnya. Mereka masyhur sebagai orang-orang yang punya keikhlasan luar biasa. Mereka membuat karangan tidak demi kepentingan apa-apa melainkan lillahi ta’ala. Berbeda dengan di masa sekarang, yakni ketika orang-orang membuat sesuatu untuk kepentingan duniawi. Sehingga karangan yang didasari oleh keikhlasan punya jangkauan manfaat dan keberkahan yang tak ada bandingannya.