“Ilmu kalam adalah ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam mempertahankan akidah keimanan dan menolak pembaharu yang menyimpang dalam dogma yang dianut kaum muslimin pertama dan ortodoksi muslim, ahlussunnah.”
“… Bagi para teolog, tujuan dari ilmu kalam (teologi) adalah menemukan jalan pemecahan bagaimana ‘aqai`d, pokok-pokok keimanan yang telah dinyatakan kebenarannya oleh hukum agama, dapat dibuktikan dengan bantuan argumentasi logis, sehingga bid’ah-bid’ah dapat dilenyapkan dan keraguan-keraguan serta kesalahpahaman mengenai pokok-pokok keimanan dapat dihilangkan.”
“Pokoknya, harus diketahui bahwa ilmu ini –ilmu kalam, teologi spekulatif— bukan merupakan sesuatu yang penting bagi pelajar masa kini. …Namun, faedahnya ilmu kalam bagi individu-individu tertentu dan kaum pelajar masih diakui. Sebab, tidak baik bila muslim ahlussunnah tidak mengetahui tentang argumentasi spekulatif di dalam mempertahankan ‘aqidah-‘aqidah keimanan ortodoks”.
Kutipan-kutipan tersebut diambil dari “Muqaddimah” Ibn Khaldun (1986: 589). Yang menarik, kutipan terakhir berkaitan dengan pemikiran kalam Qadhi ‘Abd al-Jabbar, bahwa terdapat signifikansinya untuk ilmu kalam dalam perkembangan selanjutnya.
Menurut Peters, ilmu kalam merupakan speculative reflection, yakni pemikiran yang bersifat pengamatan dari gejala yang tidak empirik (lihat Peters, God’s Created Speech: A Study in the Speculative theology of the Mu’tazili Qadi l-Qudat Abu l-Hasan ‘Abd al-Jabbar bn Ahmad al-Hamadani, 1976: 4). Dalam definisi Ibn Khaldun di atas, diperlukan bukti-bukti logis dalam penjelasan akidahnya.
Bahasan lebih jauh tentang ilmu kalam sangat terkait dengan skisme dalam Islam, hingga sampai pada peristiwa al-fitnah al-kubra, pada saat pembunuhan Khulafaur Rasyidin ke-3. Hal itu bersamaan dengan sejarah perkembangan keislaman lainnya pada masa mihna (the inquisition) antara tahun 218-234/833-848.
Peristiwa mihna tersebut, lebih dekat dengan madzhab Mu’tazilah sebagai salah satu kelompok mutakallimin yang mendapat pemihakan dari Khalifah saat itu. Tidak heran jika pada saat itu Mu’tazilah termasuk aliran yang paling dominan. Pada masa itulah telah lahir pemikir Mu’taziliy yang masyhur bernama ‘Abd al-Jabbar.
Sepintas ‘Abd al-Jabbar (320-415/932-1025)
Dalam kitab Mutasyabih al-Qur’an (al-Jabbar, tanpa tahun), disebutkan nama lengkap ‘Abd al-Jabbar adalah Abu al-Hasan ‘Abd al-Jabbar ibn Ahmad ibn ‘Abd al-Jabbar ibn Ahmad ibn al-Khalil ibn ‘Abd Allah al-Hamzani al-Asadabi. Dalam kitab Syarh al-Usul al-Khamsah (al-Jabbar: 1965), namanya dengan sebutan Qadi al-Qudah Abu al-Hasan ‘Abd al-Jabbar ibn Ahmad al-Khalil ibn ‘Abd Allah al-Hamazani al-Asadabi. Namun begitu, beliau lebih dikenal dengan nama Al-Qadi ‘Abd al-Jabbar dan di kalangan Mu’tazilah sendiri, bila itu sebutan al-Qadi, maka maksudnya adalah ‘Abd al-Jabbar.
Tentang tahun kelahirannya, tidak ada sumber yang menyebutkannya secara pasti, hanya diperkirakan antara 320-325 dan wafatnya di kota Ray pada tahun 415 H. (ada yang mengatakan, 416 H.). Yang pasti, umurnya (lebih) 90 tahun. Dia dilahirkan di Asadabad, kota kecil yang termasuk daerah Hamazan di wilayah Khurasan, Iran. Karena itulah, beliau dinisbahi al-Hamazani dan al-Asadabi.
‘Abd al-Jabbar, mulanya belajar di Hamazan dan Isfahan (keduanya di Iran), lalu pindah ke Basrah, dan Bagdad untuk memperdalam keilmuannya. Bidang ilmu yang digelutinya, meliputi Tafsir, Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, Ilmu Kalam, dll. Diantara guru-gurunya, antara lain Ibrahim ibn Salmah al-Qattan (w. 345/957), lalu ‘Abd ar-Rahman ibn Hamdan al-Jallab (w. 346/958), dan Zubair ibn ‘Abd al-Wahid al-Asadabi (w. 346/958), ketiga-tiganya dalam bidang Hadis. Adapun dalam ilmu Kalam pada Abu Ishaq Ibrahim ibn Iyasy dan Abu ‘Abd Allah ibn ‘Ali al-Basri (w. 369/980).
Sebelum belajar ilmu Kalam pada guru-guru tersebut, ‘Abd al-Jabbar masih bermazhab Asy’ari dalam Akidah. Adapun ‘Ali Abu Ishaq ibn Iyasy termasuk guru yang sangat besar perannya dalam pergantian mazhab al-Jabbar. Gurunya ini adalah murid dan penerus tokoh Mu’tazilah aliran Basrah yang cukup terkenal, Abu Hasyim.
Lalu, pergi ke Bagdad untuk meneruskan belajar pada murid Abu Hasyim lain, yang bernama Abu ‘Abd Allah al-Bashri. Setelah meninggalkan Bagdad, Al-Jabbar ke Ramahurmuz, Khusustan. Kota kecil ini adalah salah satu kubu Mu’tazilah dan di tempat itu, al-Jabbar disamping mengajar di Masjid Abu Muhammad ar-Raharmuzi, ia juga mulai mendiktekan kitabnya yang terbesar, yakni Al-Mugni fi Abwab at-Tawhid wa al-‘Adl. Setelah kurang lebih lima tahun, beliau dipanggil oleh as-Sahib ibn ‘Abbad, seorang wazir Bani Buwaih di Ray untuk diangkat sebagai Qadi al-Qudah. Dengan jabatan itu, ia berhak mengangkat dan menghentikan hakim-hakim di wilayahnya, seperti Ray, lalu Qazwain Suhraward, Qum, Sawah, Jurjan, Tabristan, dst. Jabatan tersebut dilepas beliau, setelah diberhentikan oleh Amir Buwaih, Fakhr ad-Daulah. Dalam sejarah Mu’tazilah, posisi tersebut adalah posisi yang sangat penting.
Setelah pensiun dari jabatannya itu, waktu al-Jabbar digunakan untuk mengajar dan menulis, hingga akhir hayatnya, pada tahun 415/1025 al-Jabbar tetap tinggal di Ray.
Empat Metode Ilmu Kalam al-Jabbar
Disebutkan dalam kitab Syarh Usul al-Khamsah, buah pikir al-Jabbar jumlahnya sekitar 60 karya, terdiri dari 43 tentang ilmu Kalam, dan sisanya mengenai Tafsir, Usul al-Fiqh, Ulum al-Qur’an, dll. Adapun karya yang dikenal oleh khalayak, antara lain; Al-Mugni fi Abwab at-tawhid wa al-‘Adl, Fadl al-I’tizal wa Tabaqat al-Mu’tazilat wa Mubayanatuhum li Sa’ir al-Mukhalifin, Al-Muhit bi Taklif atau Majmu’ fi al-Muhit bi at-Taklif, Syarh al-Usul al-Khamsah, Kitab al-Ushul al-Khamsah, dan Al-Mukhtasar fi Usul ad-Din.
Sekilas penjelasan beberapa kitab Al-Jabbar. Kitab Al-Mugni fi Abwab at-tawhid wa al-‘Adl terdiri dari 20 bagian, terdapat bahasan secara panjang lebar tentang hal-hal yang berkaitan dengan ajaran terpenting Mu’tazilah. Seperti keesaan Allah (at-Tauhid) dan Keadilan Allah (al-‘Adl). Kitab Al-Muhit bi Taklif atau Majmu’ fi al-Muhit bi at-Taklif membahas pokok keesaan dan keadilan Tuhan. Kitab ini besar, terdiri dari empat bagian, namun baru dua bagian yang diterbitkan (1990). Lalu, kitab Syarh al-Usul al-Khamsah. Lima prinsip ajaran Mu’tazilah dibahas dalam kitab ini. Sehingga tidak heran, jika kitab ini sebagai handbook of speculative theology (kalam). Kitab tersebut, telah diedit oleh muridnya sendiri yakni Qawam ad-Din Mankdim Syasydiw. Dalam versi lain diedit oleh ‘Abd al-Karim ‘Usman (1384/1965).
Dengan mengamati karya-karya ilmu Kalam yang disebut, khususnya Al-Mugni fi Abwab at-tawhid wa al-‘Adl dan Syarh al-Usul al-Khamsah, nampak sekali bahwa al-Jabbar adalah seorang pakar ilmu Kalam yang Mu’tazili.
Adapun untuk metode ilmu Kalam al-Jabbar, seperti dikatakan Machasin (1994) bahwa manusia itu hanya dapat mengetahui kegaiban melalui penyimpulan berdasarkan pengetahuannya atas yang hadir di sekitarnya. Itulah yang disebutnya sebagai dalil. Jadi, yang gaib itu selamanya tidak akan dapat diketahui oleh manusia secara langsung.
Penyimpulan dari tanda atau dalil itulah yang diajukan al-Jabbar sebagai jalan untuk mengetahui yang gaib. Karena tanda-tanda ini berupa hal-hal yang diketahui yang ada di sekitar manusia, sementara yang dituju adalah pengetahuan akan sesuatu yang gaib. Maka, cara itu sering disebut dengan al-istidlal bi asy-syahid ‘ala al-gaib atau juga, haml al-gaib ‘ala asy-syahid.
Menurut Al-Jabbar, seperti dijelaskan Machasin (1994) terdapat empat hal yang dapat dipakai sebagai dasar untuk penyimpulan. Pertama, sama-sama dalam suatu dalil/jalan untuk mengetahui. Misalnya, keadaan bahwa Allah Mahamampu (qadiran) ditunjukkan oleh keabsahan perbuatan bagi Allah, sebagaimana kemampuan manusia ditunjukkan oleh adanya perbuatannya. Kebanyakan sifat-sifat Allah disimpulkan atas dasar keserupaan seperti ini.
Kedua, sama-sama dalam sebab (‘illat). Hukum (ketetapan-ketetapan) di dunia ini yang kita ketahui secara dlaruri, dapat diketahui adanya sebab baginya dengan bantuan dalil. Manakala kita temukan sebab serupa mengenai hal gaib, maka mestilah kita simpulkan hukum baginya.
Ketiga, sama-sama dalam apa yang berlaku seperti sebab (‘illat). Ada hukum tertentu bagi kita, ketika –misalnya— kita sedang berkehendak. Sifat berkehendak ini kita ketahui secara dlaruri, bersamaan dengan adanya hukum itu. Karenanya, manakala kita mengetahui adanya hukum tertentu pada alam gaib, kita dapat menetapkan adanya sifat tertentu pula padanya.
Terakhir, keempat adalah adanya sesuatu yang menjadi sandaran hukum di dunia yang ada di sekitar kita, lalu ditemukan sesuatu yang lebih kuat di alam gaib. Misalnya, kebaikan pembebanan orang yang sudah diketahui dari keadaannya bahwa ia tidak akan menerima pembebanan itu.
Di dunia nyata ini, menyajikan makanan pada orang lapar yang disangka tidak akan memakannya adalah baik. Karena itu, penyajian seperti itu dengan pengetahuan (bukan hanya sangkaan) bahwa orang yang lapar itu tak akan melakukannya, baik juga.
Dengan keempat metode kalam al-Jabbar, kiranya menjadi jelas bahwa mu’tazilah itu menjadi kelompok rasional, kelompok yang mengedepankan akal, bukti-bukti dan argumentasi. Tidak mungkin adanya sesuatu tanpa ada dalil, bukti atau argumentasi. Pemahaman kalam demikian tentu saja yang menjadi salah satu pembeda dengan yang lainnya. Wallahu a’lam.