Saya mendapat “pemandangan” istimewa dalam pesawat, perjalanan dari Jogja ke Jakarta, siang tadi. Pemandangan apa? Pramugari cantik? Awan putih yang bergulung-gulung? Pemandangan kota dari atas? Bukan. Lalu apa?
Saya menyaksikan pemandangan seorang penumpang laki-laki tidak berhenti mendaras Alquran sepanjang perjalanan. Mendaras Alquran di pesawat sendiri tidak istimewa sebetulnya, biasa saja. Ini juga bukan pertama kalinya saya mendapati penumpang pesawat mendaras Alquran. Tapi ini istimewa, karena dia mendaras dengan Alquran “konvensional” dengan ukuran yang boleh dibilang besar. Saya yang duduk dua jok di belakangnya, dapat melihat surat apa yang sedang dia baca.
“Saya tidak terbiasa baca Alquran di ponsel,” jawab lelaki itu ketika saya tanya kenapa tidak pakai ponsel.
Lelaki ini tidak bersedia menyebutnya namanya. Hanya umur dan profesi yang diasebutkan. “Tidak enaklah. Samarin saja ya,” kata lelaki 40 tahun ini. Dullah sudah 12 tahun anggota DPRD di salah satu propinsi di Jawa, selain sebagai wiraswasta.
Dia bawa Alquran ke manapun, di taruh di tas punggungnya. Dia mengaku selalu memiliki wudu, agar bisa kapan saja membaca kitab suci.
Dullah sudah 4-5 tahun terkahir ini selalu mencuri-curi waktu mendaras Alquran. Kebiasaannya itu berhasil mengkhatamkan 4-5 kali khatam Alquran dalam sebulan.
“Tidak ingin hafal Alquran?” Tanya saya.
“Ya, saya punya hafalan. Belum semua,” jawab sarjana kimia dari UGM ini.
Hari ini, banyak orang mendaras Alquran di perjalanan, entah di kereta, kendaraan pribadi, bus, hingga saat menunggu antrian di apotik.
Mendaras Alquran di manapun tidak ada yang istimewa sebetulnya. Kegiatan tersebut sama dengan membaca majalah, buku, menulis, mendengarkan musik, ataupun main game. Tapi karena di tempat umum, membaca Alquran, sama dengan membaca buku atau menulis, harus mengikuti etika-etika yang berlaku, semisal tidak mengganggu sekelilingnya.
Dan saya melihat, Pak Dullah, saat mendaras Alquran di pesawat, sudah sesuai dengan etik-etika umum. etika apa itu? Dia tidak mengganggu orang-orang yang duduk di kanan dan kirinya, di depan dan di belakangnya, karena suaranya nyaris tidak terdengar.