Siapa yang tak mengenal kisah epik Laila Majun, cerita cinta legendaris yang memengaruhi sejarah kesusastraan dunia. Tapi, barangkali kita kurang familiar dengan nama pengarang cerita ini sendiri, Nizami Ganjavi. Dia adalah penyair Persia abad ke-12, pada era dinasti Saljuk. Ketokohan Nizami tidak hanya diakui di Iran, tapi juga di berbagai negara yang dulu di bawah kesultanan Saljuk serta memiliki rumpun bahasa Persia seperti, Azarbeijan, Tajikistan, dan Afganistan. Di Iran sendiri, setiap tanggal 21 Esfand atau bertepatan dengan 11 Maret dikhususkan sebagai hari untuk mengenang sosok penyair legendaris ini.
Penyair yang memiliki nama lengkap Jamaluddin Abu Muhammad Ilyas ini, lahir di kota Ganja yang saat ini masuk bagian Republik Azarbeijan. Tidak ada yang mengatahui secara pasti tahun kelahirannya, namun dari hasil penelusuran karya-karyanya, diperkirakan Nizami lahir antara tahun 1135-1145 Masehi. Sejak kecil ia sudah menjadi yatim piatu, tetapi kondisi ini tidak membuatnya patah arang, bahkan sejak belia ia dikenal pembelajar yang hebat.
Semangat Nizami muda dalam menggali berbagai literasi, layak dijadikan model generasi muda di berbagai belahan dunia. Nizami tidak hanya menguasai sastra Persia dan Arab, ia juga mempelajari berbagai disiplin ilmu dari filsafat, tasawuf, astronomi hingga musik. Kekayaan pengalaman membacanya ini akan dapat kita telusuri dalam karya-karyanya. Larik-larik syairnya memiliki irama yang indah dan pesan yang kaya. Meski sepanjang hidupnya, ia jarang sekali bepergian , tetapi buku-jauhbuku yang ia baca telah mengantarkannya pada dunia yang lebih luas.
Selain “Laila dan Majnun”, Nizami sebenarnya melahirkan banyak karya lainnya. Dalam kesusastraan Persia, ada lima koleksi terbaik Nizami yang dikenal dengan “Panj Ganj” atau Alkhamsa, yaitu: Makhzan al-Asrar, Khosro va Shirin, Leili va Majnun, Haft Peykar, dan Iskandar Nameh. Beruntung, saya sudah memiliki ketiga buku pertama, hadiah dari sahabat Irani. “Saya selalu membacanya setiap akan tidur. Semoga Anda menyukainya”, ujarnya saat memberikan buku ini menjelang Tahun Baru Persia.
Di kalangan masyarakat Iran, cerita Khosro-Shirin sebenarnya lebih popular ketimbang Laila-Majnun. Nizami, ketika mendeskripsikan cinta Khosro kepada Shirin lebih manusiawi dan tidak sesakral cinta Qais kepada Laila. Tetapi, perjalanan panjang dan berliku jalinan cinta Khosro-Shirin begitu asik untuk terus diikuti, meski akhirnya juga berakhir tragis. Syair-syair dalam buku Khosro va Shirin diyakini memiliki irama yang indah dan lembut. Jumlah syairnya juga lebih banyak, sekitar 6500 bait dibanding syair Laila-Majnun yang hanya 4500 bait.
Saya membacanya sambil membayangkan tokoh-tokoh itu hadir dalam imajinasi saya. Sosok Shirin cukup menarik perhatian saya. Meski ia digambarkan sangat mencintai Khosro Parviz, putra mahkota dari kerajaan Sasanid, tetapi Shirin tetap rasional dan tidak menjadi bucin begitu saja. Ia berusaha menjaga kehormatan dan prinsip yang diyakininya sampai akhirnya mereka dipertemukan dalam ikatan suci.
Meski dikenal sebagai penyair yang banyak menuliskan cerita, tetapi tentu saja tujuan Nizami adalah mengajak pembacanya untuk masuk melampaui gambaran cerita itu sendiri. Sebagaimana penuturan Jami, penyair Persia abad 15: “Meski kebanyakan syair Nizami berbentuk cerita dan mitos, tapi sebenarnya hanya alasan untuk menjelaskan hakikat dan maarif ilahi”. Tampak benar apa yang disampaikan Jami, jika kita mendedah karya lain Nizami, Makhzan Al-asrar.
Buku Makhzan Al-asrar barangkali memang tidak terlalu popular di Indonesia, tetapi justeru ini merupakan karya pertama Nizami. Dalam buku yang memuat 2260 bait ini, kita akan diajak mengenal sisi lain Nizami lewat syairnya yang sufistik. Bagian awal-awal buku ini menyuguhkan puluhan syair pujian kepada Allah dan Rasulullah. Beberapa syairnya membuat saya bernostalgia dengan puisi Rumi dalam Matsnawi. Seperti ketika Nizami menulis: “Duhai Tuhan, karena Engkaulah kehidupan ada. Kau ubah tanah kering menjadi mulia” atau pada puisi yang memuji Nabi Muhammad: “Kami semua hanyalah jasad, siramilah dengan ruhmu. Kami semua hanya semut dan engkaulah Sulaiman”.
Selain memiliki irama yang indah dan kedalaman makna, syair Nizami juga membangkitkan semangat dan harapan kepada seluruh pembacanya. Dalam bukunya, Iskandar-Nameh, syair penguat itu kerap muncul di antara cerita-cerita kepahlawanan yang diangkat. Sebagaimana syari berikut:
Saat musibah menyapa, usah kau putus asa dan bersedih
Karena, pada langit yang gelap, terkandung air yang jernih
Saat mencari solusi usah kau tutup pintu harapanmu
Karena, dalam pahitnya hidup, ada keberuntunganmu
Saat setiap tarikan nafasmu mencari harapan
Maka, di situlah Tuhan datang memberimu harapan
Spirit dan pesan syair-syair di atas tak lekang oleh waktu. Terutama, dalam situasi dunia yang dipenuhi kecemasan seperti sekarang ini, syair-syair tersebut bisa menjadi penyejuk sekaligus penenang bagi ruh kita. Mari mengenang kebaikan sang penyair ini dengan hadiah Alfatihah, semoga suatu saat kita bisa menziarahi langsung pusaranya.