Susur galur pertalian darah ulama Banjar di Nusantara terjaga utuh hingga abad ke- 20, bahkan mungkin hingga hari ini. Kokohnya hubungan kekerabatan ini salah satunya dimobilisasi oleh terbukukannya dengan apik dan lengkap dalam sebuah kitab silsilah bernama Syajarah al-Arsyadiyah karya Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari.
Sebagaimana makna harfiah dari judul Syajarah al-Arsyadiyah, kitab ini merujuk dan dimulai dari satu titik sentral, yakni Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Beliau seorang ulama kharismatik dan berpengaruh di kesultanan Banjar pada akhir abad ke-18. Beliau berhasil menyambung estafet literasi fiqih di Nusantara, Shirat al-Mustaqim karya Nuruddin al-Raniri dengan karya monumentalnya Sabil al-Muhtadin.
Penyusunan Syajarah al-Arsyadiyah dilatarbelakangi karena adanya permintaan dari sementara kerabat sekaligus keturunan Syakh Arsyad kepada Syekh Abdurruhman Siddiq untuk menuliskan biografi dan silsilah keturunan Syekh Arsyad al-Banjari. Permintaan itu terjadi tahun 1335 H/ 1917 M. Ketika itu keturunan-keturunan Syekh Arsyad tidak lagi menetap di Kalimantan, tetapi telah menyebar ke berbagai penjuru Nusantara: Indonesia, Malaysia, Singapura, bahkan ada yang berada di Saudi Arabia, khususnya di Mekah.
Syekh Abdurrahman Siddiq mengakui bila penyusunan karya geneologis ini sangat berat untuk dikabulkan, membutuhkan referensi dan informasi yang sangat banyak serta akurat, ditambah lagi ketika itu ia telah memasuki usia lanjut, sekitar 60-an tahun. Hingga pada akhirnya di tahun 1349 M/ 1931 M sempat muncul kekhawatiran di hatinya apakah dirinya mampu menyelesaikan karya ini atau tidak. Di tengah keterbatasan itu, ia tetap berupaya mengumpulkan referensi terkait dan berusaha mengirimkan surat-surat kepada kerabat Syekh Arsyad untuk mendata keturunannya masing-masing.
Syekh Abdurrahman Siddiq beranggapan dengan menyusun Syajarah al-Arsyadiyah ini menjadi salah satu jalan untuk menjaga nasab, menjaga hubungan silaturahim, dan agar dapat saling berbagi kepada keluarga terdekat. Akhirnya, berselang satu tahun kemudian, tahun 1350 H/ 1932 M Syajarah al-Arsyadiyah berhasil disusun.
Syajarah al-Arsyadiyah terdiri atas tujuh bagian, satu muqaddimah, empat tadzkirah, satu khatimah, dan satu takmilah. Di bagian muqaddimah, Syekh Abdurrahman Siddiq mengisahkan tentang manaqib (riwayat hidup) Syekh Arsyad al-Banjari, mulai dari asal usulnya, masa kelahirannya 13 Safar 1122 H, masa remaja di usia 8 tahun menjadi anak angkat sultan Banjar, masa menuntut ilmu di Mekah dan Madinah selama 30 tahun bersama empat serangkai: ia, Abd al-Samad al-Falimbani, Abdurrahman Misri Betawi, dan Abd al-Wahhab Bugis. Disebutkan pula tahun kembalinya Syekh Arsyad ke Nusantara, tahun 1186 H. Setelah kembali, Syekh Arsyad memegang otoritas untuk mengatur urusan keagamaan, dibentuklah mahkamah syariah, mengangkat kadi di daerah-daerah dan seorang mufti di Martapura.
Disebutkan pula bahwa Syekh Arsyad berhasil menulis banyak karya di antaranya: Tuhfah al-Raghibin, Qaul al-Mukhtashar, Ushul al-Din, Tashawuf, kitab al-Nikah, al-Faraidh, dan yang paling terkenal Sabil al-Muhtadin li al-Tafaqquh fi Umur al-Din, karya ini pernah dicetak di Palestina, Mesir, dan Mekah. Syekh Arsyad wafat pada tahun 1227 H dan dimakamkan di Kalampayan.
Seperti yang disebutkan di atas, setelah bagian pengantar, Syajarah al-Arsyadiyah terdiri atas empat tadzkirah. Pada tadzkirah pertama berkaitan tentang seluruh keturunan Syekh Arsyad melalui istri-istrinya, terdiri atas tujuh kitab: kitab pertama keturunan Tuan Bajut, kitab kedua keturunan Tuan Bidur, kitab ketiga keturunan Tuan Lipur, kitab keempat keturunan Tuan Go Wat, kitab kelima keturunan Tuan Tariah, kitab keenam keturunan Tuan Aminah, dan kitab ketujuh tentang Tuan Kadumanik, Tuan Murkidah, Tuan Liyuh, Tuan Daya’, empat istri Syekh Arsyad ini memiliki keturunan, dan terakhir Tuan Palung memiliki tiga orang anak.
Di akhir tadzkirah kedua terdapat keterangan tentang 10 orang keturunan Syekh Arsyad al-Banjari yang berpangkat Mufti dan 11 orang berpangkat Kadi. Ada sepuluh orang yang menjabat sebagai Mufti, lima orang pada masa kesultanan Banjar adalah: Jamaluddin bin Arsyad al-Banjari, Ahmad bin Arsyad al-Banjari, Muhammad As’ad cucu Arsyad al-Banjari, Muhammad Arsyad bin Mufti Muhammad As’ad, Syihabuddin. Sedangkan lima orang berikutnya pada masa penjajahan Belanda, yaitu: Muhammad Khalid bin Hasanuddin, Muhammad Nur bin Kadi Mahmud, Muhammad Husain bin Mufti Jamaluddin, Jamaluddin bin Abdul Hamid, dan Abdurrahman Siddiq al-Banjari.
Sebelas orang keturunan Syekh Arsyad yang berpangkat Kadi adalah: 1). Abu Su’ud bin Arsyad al-Banjari, 2). Abu Na’im bin Arsyad al-Banjari, 3). Mahmud bin Yasin, 4). Muhammad Amin bin Mufti Jamaluddin, 5). Muhammad Ali Junaidi bin Kadi Muhammad Amin, 6). Muhammad Sa’id al-Jazuli bin Kadi Abu Su’ud, 7). Muhammad Amin bin Kadi Mahmud, 8). Abdul Samad bin Mufti Jamaluddin, 9). Muhammad Jufri bin Kadi Abdul Samad, 10). Bajuri cucu Kadi Abdul Samad, dan 11). Muhammad As’ad bin Mufti Muhammad Nur. Delapan orang Kadi terakhir ini menjabat pada masa penjajahan Belanda.
Pada tadzkirah kedua, dijelaskan tentang seluruh keturunan saudara-saudara Syekh Arsyad al-Banjari yang berjumlah empat orang: Abidin, Haji Zainul Abidin, Diang Panangah, dan Nurmin. Bagian ini terdiri atas tiga bab yang terkait tentang keturunan saudaranya masing-masing itu. Tadzkirah ketiga, menjelaskan tentang seluruh keturunan saudara-saudara istri Syekh Arsyad al-Banjari. Bagian ini terdiri atas lima bab. Tadzkirah keempat, menjelaskan tentang asal usul keturunan dan pertalian darah antara Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari dengan leluhurnya Syekh Arsyad al-Banjari. Bagian ini terdiri atas tiga bab.
Kemudian khatimah, pada bagian ini dijelaskan tentang sejarah keturunan raja-raja Banjar yang telah memeluk Islam. Diawali dari sultan ke-7, sultan Suriyan Syah atau Sultan Batu Habang. Kemudian anaknya sultan Rahmatullah (sultan ke-8), kemudian sultan Musta’in billah bergelar Panembahan di Darat (sultan ke-9), sultan Inayatullah (sultan ke-10), sultan Sa’idallah (sultan ke-11), sultan Tahlilullah (sultan ke-12), sultan Tamhidullah (sultan ke-13), sultan Tamjidullah I (sultan ke-14), sultan Muhammad (sultan ke-15), sultan Tahmidullah II (sultan ke-16) sultan inilah yang meminta Syekh Arsyad menulis kitab Sabil al-Muhtadin. Kemudian sultan Sulaiman (sultan ke-17), sultan Adam (sultan ke-18), sultan Abdurrahman (sultan ke-19), sultan Tamjidullah II (sultan ke-20), dan sultan Hidayatullah (sultan ke-21). Dua sultan terakhir ini diasingkan oleh penjajah Belanda. Sultan Tamjidullah II diasingkan ke Batavia, sedangkan sultan terakhir sultan Hidayatullah diasingkan di Cianjur Pariangan.
Kemudian terakhir tentang Takmilah al-Khatimah yang menjelaskan silsilah keturunan sultan Muhammad bin Tamjidullah I (sultan yang ke-15) dan sultan Tahmidullah II bin Tamjidullah I (sultan ke-16 dari kerajaan Banjar). Sebelum menutupnya dengan kolofon, syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari menyampaikan pernyataan penutup:
“Maka barangsiapa daripada ahlinya yang mengetahui dengan tahqiq hendaklah dibetulkannya akan yang terkhilaf itu dan lagi tiap-tiap bertambah zuriat daripada yang tersebut di dalam risalah ini hendaklah ditulisnya pada pertambahan itu pada tepi lembarannya” (Syajarah al-Arsyadiyah: 103).
Karya monumental tentang nasab ulama dan sultan Banjar ini selesai ditulis oleh Syekh Abdurrahman Siddiq al-Banjari pada malam Jum’at 12 Syawal 1350 H. Karya ini pertama kali diterbitkan oleh percetakan Mathba’ah Ahmadiyah di Singapura pada tahun 1356 H atau enam tahun setelah karya ini rampung.