Clifford Geertz meninggalkan “warisan” penting dalam melihat masyarakat Jawa. Satu temuannya adalah tentang trikotomi “santri, priyayi, dan abangan” di masyarakat Modjokuto atau dikenal dengan Pare, Kediri, Jawa Timur.
Teori Geertz membentang sepanjang “ruas jalan” studi antropologi dan sosiologi agama yang terbilang cukup legendaris. Kini, telah separuh abad lebih kajian Geertz tentang “The Religion of Java” (1960) yang sangat spektakuler itu, di dunia antropologi.
Trikotomi “santri, priyayi, dan abangan” tentu telah mengalami perkembangan dan transisi yang cukup kompleks. Dengan munculnya gerakan Islamisme pasca reformasi, identitas “santri-abangan” menjadi penting untuk dilihat kembali.
Menurut saya pendekatan fungsionalisme dan strukturalisme nampak begitu jelas mendaki di antara pemikiran Geertz seperti dalam tulisan “Ritual and Social Change: A Javanese Example” (1957). Di sini ia banyak meminjam teori Malinowski (1948) di dalam memaknai simbol-simbol ritual dan kebudayaan masyarakat Modjokuto.
Wajah Modjokuto di Masa Geertz
Wajah Kota Modjokuto tergambar dalam kehidupan sosialnya dan kebudayaan dengan historiografinya. Kota itu juga menggambarkan kehidupan masyarakat yang memiliki kecenderungan ideologi politik dengan warna pergolakan yang cukup “sengit” dan penuh “intrik”.
Termasuk perjuangan kaum petani abangan dalam perlawanan tragedi 1965. Tokoh-tokoh lokal dalam percaturan politik di Modjokuto memiliki kontribusi sejarah yang panjang dan kelam. Benturan kelompok Masyumi yang militant dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) semakin meruncing setelah pemilu 1955.
Mayoritas kaum petani yang aktif di BTI (Buruh Tani Indonesia) dan pendukung PKI (Partai Komunis Indonesia) menjadi korban dengan jumlah yang sangat fantastis. Kabarnya ketika terjadi penumpasan G-30 S PKI ada sekitar ratusan hingga ribuan lusin kepala manusia yang setiap malam diangkut truk dari satu tempat menuju “lapangan pembuangan mayat”.
Menurut pitutur salah satu saksi, setiap pagi ia menjumpai bercak-bercak darah di sepanjang jalan. Bau amis dan anyir telah menjadi hal biasa ketika peristiwa itu berlangsung. Bahkan orang-orang yang pergi ke sungai selalu mendapati pemandangan air berwarna kemerah-merahan dan hal ini menjadi tidak aneh lagi saat pagi hari mereka harus melakukan aktifitas di sungai.
Trauma kolektif yang terjadi pada masyarakat Modjokuto rupanya juga menyisakan rekonstruksi sosial, kebudayaan, politik, serta keagamaan dalam bentuk “wajah baru”. Simbol-simbol dan pemaknaan seperti yang pernah ditulis Geertz sebelumnya, kini beralih pada tampilan yang berbeda.
Hadirnya NU dan Muhammadiyah termasuk aliran-aliran kebatinan dan kepercayaan lokal juga ikut mewarnai fungsi sosial dan keagamaan. Oleh sebab itu meski secara geografis terbilang sebagai kota kecil, Modjokuto tetap memberi nuansa representasi yang unik sebagai wilayah emic dan epic dalam kajian antropologi agama dan sejarah 1965.
Perubahan Sosial Keagamaan dan Kebudayaan
Apa yang berubah dari kehidupan sosial keagamaan dan kebudayaan pada masyarakat Modjokuto? Para peneliti mulai dari generasi Clifford Geertz, Ricklefs, James L. Peacock, Robert Hefner, Michel Pichard, Martin van Bruinessen, Andrew Beaty, hingga Greg Fealy, dan tentu masih banyak lagi lainnya turut mewarnai kajian antropologi agama di Indonesia.
Berbicara tentang agama dan budaya, sumbangsih Clifford Geertz tidak pernah luput dari ingatan kita bersama, misalnya dalam buku “Local Knowledge” (1983) yang membedah analisis simbol dengan begitu detail mengenai kebudayaan dalam fenomena keagamaan. Rupanya inskripsi yang ditulis Geertz memang sungguh terjadi dalam kapital sosial masyarakat Modjokuto.
Modjokuto Kini
Sebagai daerah pertanian yang subur dengan potensi pertumbuhan ekonomi mikro, Modjokuto memang bisa diartikan cukup stabil, walaupun terbilang tidak banyak “kemajuan”.
Kemajuan paling tampak di sekitar “Kampung Inggris”, itu pun mulai didominasi oleh para pendatang dan pemilik modal dari luar Modjokuto semenjak sepuluh tahun terakhir.
Secara organik kota kecil ini membentuk karakter struktur sosial dan budayanya tersendiri. Sebagai daerah yang merupakan wilayah dengan kehidupan sosial kebudayaan, namun tradisi Kejawen masih cukup kuat dan melekat.
Terjadinya gelombang perubahan sosial keagamaan di Modjokuto mengalami pergeseran atas unsur-unsur kebudayaan seperti seni tradisi khas Jawa timuran yang biasanya menjadi salah satu penyanding ritual slametan. Seperti yang kita ketahui bahwa slametan memiliki fungsi solidaritas sosial yang cukup penting dalam tradisi masyarakat Jawa.
Di era 1950-an, upacara slametan untuk perkawinan biasanya menampilkan kesenian rakyat seperti ludruk, wayang, dan sejenisnya—pertunjukan seni ini paling digemari kaum abangan ketimbang kaum santri. Namun sayangnya pelan-pelan semenjak tahun 90-an pertunjukan seni rakyat itu mulai tergerus oleh ritual yang lebih agamis dan Islami dengan tradisi kaum santri.
Ketika Geertz melakukan penelitian, kehidupan masyarakat di Modjokuto masih menyisakan narasi struktur sosial keagamaan dan politik yang begitu nyata. Ketika itu pada tahun 50-an orang-orang abangan aktif di serikat BTI (Buruh Tani Indonesia) dan menjadi pendukung PKI (Partai Komunis Indonesia). Akan tetapi pasca 1965 hingga detik ini mereka menjadi lebih santri dan semakin Islami.
Sementara di sisi lain kaum abangan yang bertransformasi menjadi santri makin tumbuh secara acak tidak beraturan dan tidak lagi berdasarkan relasi kelas sosial seperti yang diungkapkan oleh Geertz. Abangan tidak hanya hidup di pedesaan namun juga di perkotaan.
Mereka hadir dari semua lini kelas sosial, dan bukan lagi dimaknai sebagai kategori yang tidak mengamalkan amalan-amalan syariat Islam, melainkan kelompok-kelompok yang mengikuti ajaran Sufisme Syech Siti Jenar.
Di sisi lain hadir dan bertahannya orang-orang abangan di Modjokuto memiliki “pesan” perlawanan terhadap bentuk-bentuk feodalisme. Jika dilihat lebih dalam tentang praktek-praktek keagamaan kaum abangan juga dekat dengan unsur ajaran mistisisme Islam atau Tasawuf yang telah bersinkretis dengan ajaran Kejawen.
Kategori ini saya definisikan sebagai orang-orang “abangan yang deterministik” yaitu tetap mempertahankan abangan dan aliran kebatinan yang identik percaya “klenik” termasuk praktek “perdukunan”.
Maka, seandainya Geertz tidak pernah bertandang di kota kecil ini, kita tidak akan pernah mengenal istilah “santri, priyayi, dan abangan” dalam mendeskripsikan masyarakat Muslim di Jawa.