Dalam manuskrip berkode Or. 18.097 S 1-2 yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, terdapat beberapa surat dari tokoh-tokoh agama di nusantara yang menjadi bagian dari peninggalan Snouck Hurgronje (1857-1936).
Salah satu surat mengandung surat laporan dari seorang bernama Muhammad Sholeh at-Turki kepada Kiai Haji Hasan Mustopa (1852-1930). Surat ini, sebagaimana bisa diketahui dari cap pos yang ada, dikirim dari Semarang tanggal 23 April 1891.
Dalam surat ini, Muhammad Sholeh melaporkan peristiwa bersejarah di mana para ulama berkumpul untuk bermusyawarah, Bahsul Masail dalam bahasa pesantren. Peristiwa ini terjadi di Semarang, disebut Semawis dalam surat.
Tepatnya, diskusi yang disebut dilaksanakan secara besar-besaran (gung-gungan) ini berlangsung pada tanggal 7 Ramadhan pukul 7 malam. Tidak disebutkan tahun dilaksanakannya.
Namun jika kita melihat bulan Ramadhan di tahun 1891, maka kemungkinan besar terjadi pada 7 Ramadhan 1308 yang bertepatan dengan 16 April 1891. Artinya ada jeda satu minggu sebelum surat ini dikirim pada 23 April 1891.
Ada lima ulama yang secara eksplisit disebut dalam diskusi agama ini. Mereka, sesuai penyebutan dalam laporan, yaitu Kiai Haji Muhammad Sholeh Darat, Kiai Haji Asy’ari Dingulan, Kiai Haji Muhammad Tirmidzi, dan Kiai Haji Sya`ban, dan Kiai Haji Ma`shum.
Selain mereka, ada ulama lainnya yang berkumpul dalam acara yang diinisiasi oleh seorang yang dalam surat disebut “Dara Kanjeng”. Tidak jelas dari surat ini siapa yang dimaksud dengan “Dara Kanjeng” tersebut. Namun, jelas sekali apa yang dia inginkan.
Jadi Tuan Agung ini mengumpulkan para ulama termasyhur itu untuk meminta bimbingan terkait dengan bagaimana mengamalkan 6 tarekat berikut.
Sesuai urutan penyebutan dalam surat, 6 tarekat itu adalah Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah-Qadiriyah, Khalwatiyah, Syathariyah, Akmaliyah, dan Sammaniyah.
Menurut Muhammad Sholeh at-Turki, yang menulis surat ini, para ulama menyatakan bahwa mereka tidak ada yang bisa mengajarkan 6 tarekat di atas. Alasan yang disampaikan adalah mereka tidak memiliki ijazah (kemursyidan) yang bisa menjadikan mereka memiliki izin untuk menyampaikan ajaran dari 6 tarekat di atas.
Dengan kerendahan hati, para ulama itu menyampaikan bahwa mereka hanya bisa mengajarkan kitab fikih dan tafsir. Sebagai nasihat agar Tuan Agung ini tetap mendapatkan bimbingan agama, para ulama itu menyampaikan amalan wirid harian yang bisa dilakukan.
Amalan-amalan ini menurut para ulama itu diambil dari kitab Jami`ul Ushul fil Awliya wa Anwa`ihim karya Syaikh Ahmad al-Kumusykhanawi (w. 1894) dan kitab Khazinatul Asrar Jaliyyatul Adzkar karya Sayyid Muhammad Haqqi an-Nazili (w. 1884).
Para ulama yang ada dalam diskusi itu menegaskan bahwa mereka mengamalkan dzikir-dzikir itu hanyalah untuk mengambil berkah (li ajlit tabarruk) dengan mengikuti anjuran para ulama muallif kitab-kitab ini.
Panduan ini utamanya meliputi dzikir 5 waktu, yang nampaknya dikaitkan dengan dzikir di sekitar lima waktu shalat fardhu.
Dalam gambaran besar, laporan ini hanya menyebutkan kalimat-kalimat dzikir yang meliputi tasbih (mensucikan Tuhan dari segala kekurangan), istighfar (memohon ampun atas dosa kepada Tuhan), dan salawat (memberikan doa tambah keagungan bagi Nabi Muhammad).
Mungkin para ulama itu memberikan panduan rinci kepada Tuan Agung. Yang jelas surat ini tidak memuat rincian dzikir tersebut.
Informasi yang biasanya menjadi satu dalam panduan dzikir adalah terkait kapan dalam sehari dan berapa banyak satu dzikir dilakukan. Yang jelas laporan ini mengandung informasi yang menarik.
Yang menarik dari surat ini adalah betapa update-nya para ulama dengan karya yang baru muncul di belahan dunia Islam lainnya. Dua kitab di atas ditulis oleh dua ulama Turki yang semasa dengan masa hidup para ulama yang sedang diskusi.
Bahkan Syaikh Ahmad al-Kumusykhanawi masih hidup pada tahun 1891, beliau wafat tahun 1894, ketika karyanya didiskusikan oleh para ulama di Semarang.
Sayyid Muhammad Haqqi an-Nazili juga baru 7 tahun wafat ketika karyanya dijadikan rujukan ulama itu untuk panduan amalan dzikir harian.
Hal penting lainnya adalah terkait dengan kepentingan Kiai Haji Hasan Mustopa yang dituju oleh laporan ini. Pertanyannya adalah dalam posisi apa Muhammad Sholeh at-Turki memberikan laporan ini kepada Kiai Haji Hasan Mustofa.
Selain itu, apa posisi Kiai Haji Hasan Mustofa sehingga diskusi terkait enam tarekat di Semarang perlu diketahui seorang ulama besar dari Garut.
Selanjutnya, bila laporan ini tepat seperti situasi yang terjadi, bukan berarti Kiai Sholeh Darat dan para ulama lainnya yang disebutkan tidak berbaiat dalam salah satu dari enam tarekat yang disebutkan.
Mereka bisa jadi telah baiat dalam salah satu tarekat itu, hanya saja mereka tidak mendapatkan baiat kemursyidan. Akibatnya, mereka tidak bisa mengajarkan tarekat yang mereka ikuti kepada orang lain karena tidak mendapatkan ijazah kemursyidan ini.
Terakhir adalah peran penting Snouck Hurgronje dalam menjaga surat laporan ini. Dia kemungkinan besar menerimanya sendiri dari Kiai Haji Hasan Mustofa yang merupakan kolega dekatnya.