Buku terakhir yang ditulis Imam al-Ghazali adalah buku “Kematian dan Akhirat”. Adakah alasan buku tersebut ditulis di akhir, menjadi buku pamungkas?
Ada! Imam al-Ghazali membuatnya menjadi buku terakhir karena ingin meniru Musa yang diberi waktu 40 siang dan malam untuk mempersiapkan dirinya bertemu dengan Allah.
Imam al-Ghazali menulis 40 buku untuk membantu kita mempersiapkan kematian, di mana kita juga akan bertemu Allah.
Kematian adalah akhir dari kehidupan, tetapi juga permulaannya. Ketika kita meninggal, kita kembali ke sumber kita.
Kita datang dari dunia lain, dan Nabi Muhammad saw berkata:
“Hiduplah di dunia seperti orang asing atau musafir yang berteduh di bawah pohon, ia istirahat (sesaat) kemudian meninggalkannya.”
Kita berada di bumi ini hanya untuk sesaat, dan kita telah dibawa kesini untuk belajar sebanyak-banyaknya tentang mengapa kita berada di sini, apa yang seharusnya kita lakukan selama kita di sini, dan bagaimana cara bersiap untuk saat di mana kita pergi dari sini.
Imam al-Ghazali menulis 40 buku untuk menjelaskan hal-hal ini pada kita, mencapai keselamatan sebagai bekal perjalanan berikutnya kembali ke sumber kita berasal.
Imam al-Ghazali sejak kecil terkenal akan keinginan besarnya untuk belajar. Beliau adalah pelajar yang sangat tekun hingga guru-gurunya sangat kagum dengan ambisinya untuk berjuang memahami pelajaran-pelajaran yang diberikan kepadanya.
Dengan bertambahnya umur, Imam al-Ghazali menjadi sangat terampil dalam berdebat, dengan siapapun tentang apapun, dan dengan kedalaman ilmunya serta cara persuasifnya yang baik, Imam al-Ghazali selalu menang dalam debat.
Beliau terkenal sangat mumpuni di penguasaan bahasa Arab, Bahasa Persia, logika, dan tata bahasa, serta hukum.
Imam al-Ghazali adalah salah satu pengacara terhebat di sejarah Islam. Berbeda dengan pengacara-pengacara yang mempelajari hukum untuk kepentingannya dalam membela orang lain dan menuntut orang lain, Imam al-Ghazali adalah pengacara yang menulis tentang apa itu hukum dan bagaimana sistematiknya. Inilah yang disebut sebagai “filsafat hukum”. Imam al-Ghazali adalah pakar filsafat hukum.
Filsafat atau “filosofi” berarti “cinta akan kebijaksanaan” dan berasal dari dua kata bahasa Yunani, philo (cinta) dan sophos (bijaksana). Maka ahli filsafat sesungguhnya adalah orang yang mencintai kebijaksanaan.
Apakah kebijaksanaan itu?
Bijaksana adalah menggunakan pengetahuan yang kita kuasai dengan cara sebaik mungkin. Contoh, terkadang, hal yang paling baik untuk dilakukan adalah diam dan terkadang juga, hal terbaik adalah untuk berbicara dengan lantang.
Kebijaksanaan memberi tahu kita kapan kita harus diam dan kapan kita harus berbicara. Hukum yang baik adalah hukum yang bijaksana. Hukum terdiri dari kebijaksanaan. Penerapan kebijaksanaan adalah bagian dari hukum.
Contoh, mencuri adalah hal yang salah. Tetapi jika orang yang kelaparan, dan tidak ada yang memberinya makanan, maka Allah tidak akan menghukum orang yang mengambil hal yang ia butuhkan untuk selamat.
Tetapi hanya orang bijaksana yang dapat menentukan ketika mencuri adalah hal yang pantas dihukum atau tidak; artinya, hanya orang bijaksana yang memutuskan seseorang yang mencuri pantas dihukum atau tidak karena ia sangat terpaksa dan dalam keadaan yang sangat sulit.
Maka hukum sangat membutuhkan orang yang sangat bijaksana untuk memahami bagaimana cara menerapkannya dan kapan tidak harus diterapkan. Ini adalah aspek hukum yang Imam al-Ghazali tulis.
Imam al-Ghazali mempunyai guru yang bernama Imam al-Juwayni. Ia mengajarkan Imam al-Ghazali bahwa seluruh hukum Islam memiliki lima alasan di baliknya:
1) untuk melindungi agamamu;
2) untuk melindungi hidupmu;
3) untuk melindungi pikiranmu;
4) untuk melindungi harta bendamu; dan
5) untuk melindungi keluargamu.
Ada tambahan dari penelitian di bidang hukum selanjutnya, yakni perlindungan martabat. Martabat adalah sesuatu yang membuat kita menjadi manusia yang selalu berperilaku baik dan adil karena manusia adalah manusia yang sempurna dibanding makhluk lainnya.
Allah tidak membuat manusia seperti ular yang melata dan meluncur dengan perutnya, atau seperti anjing yang berjalan dengan keempat organnya. Sebagai gantinya, Allah membuat manusia menjadi makhluk yang berjalan tegap. Tegap berarti lurus, tidak bengkok atau cekung.
Tegap juga mempunyai arti kedua, yaitu yang berperilaku baik, dengan keutamaan dan keunggulan.
Jadi, martabat adalah sesuatu yang semua umat manusia miliki. Terkadang kita jumpai orang-orang yang buruk tabiatnya yang dengan sengaja merendahkan dan mempermalukan orang lain: di dalam konsep hukum, itu berarti mereka mengambil martabat dari orang-orang tersebut.
Contohnya, beberapa orang akan memperlakukan orang lain dengan buruk karena warna kulit mereka berbeda. Dalam Islam, hal itu sangat salah karena itu melanggar alasan keenam di balik hukum Islam, yaitu kita harus melindungi martabat.
Dalam Alquran dikatakan bahwa itu adalah tanda dari Allah ketika kita melihat orang-orang dengan warna kulit yang berbeda. Jadi ketika kalian melihat orang dengan warna kulit merah, hitam, kuning, atau putih, kalian seharusnya kagum dengan cara Allah yang menciptakan banyak warna kulit yang berbeda-beda.
Imam al-Ghazali banyak menulis tentang hukum dan hal ini sangatlah penting. Sebab pilar kedamaian antar umat manusia itu ditunjang oleh hukum. Ketika kita tidak mempunyai hukum atau ketika beberapa orang melanggar hukum, maka yang terjadi adalah munculnya perbuatan yang membahayakan orang lain, pengambilan harta yang bukan haknya atau bahkan saling bunuh-membunuh. Hal-hal tersebut sangat salah, dan hukum mencegah orang-orang dari melakukan hal-hal yang tidak baik.
Tetapi sesekali, beberapa orang tetap melakukannya, dan mereka diberi hukuman karena dua alasan: yang pertama adalah menyelamatkan mereka dari hukuman di alam akhirat dan yang kedua adalah untuk mencegah yang lain agar tidak melakukan hal yang sama di dunia ini dengan cara mencontoh perilaku buruk mereka. Manusia suka mencontoh orang lain, dan itulah mengapa kita seharusnya mencari orang baik dan saleh untuk dicontoh dan bukan orang yang jahat dan kejam.
Ketika Imam al-Ghazali menjadi sarjana yang hebat, seorang pemimpin membuatnya menjadi kepala universitas yang paling top di dunia yang berlokasi di Baghdad, Iraq.
Imam al-Ghazali baru berusia 30 tahun pada saat itu, dan beberapa orang merasa iri kepadanya karena beliau sangat bijak dan memiliki wawasan luas pada usia yang sangat muda.
Seringkali Imam al-Ghazali berdebat dengan mereka untuk menunjukkan kebenarannya dan kesalahan orang lain. Beliau sering melakukan ini.
Tetapi kemudian beliau menyadari bahwa perbuatannya tidak terlalu baik. Imam al-Ghazali mulai merasa seperti orang yang pamer karena menyukai pujian akan kepintarannya.
Di dalam lubuk hatinya, Imam al-Ghazali lantas ingin memperbaiki kepribadiannya. Beliau mempelajari bahwa kita semua mempunyai tiga kepribadian yang hidup di dalam diri kita.
Mereka disebut pribadi yang keras, pribadi yang menyalahkan, dan pribadi yang damai.
Pribadi yang keras adalah pribadi yang paling rendah. Cirinya adalah egois dan menginginkan semuanya untuk dirinya sendiri. Beberapa orang membiarkan pribadi ini mendominasi dua kepribadian lainnya. Mereka menjadi orang yang sangat mengerikan.
Jenis kepribadian yang kedua adalah pribadi yang menyalahkan. Kepribadian ini lebih baik karena kepribadian ini tidak cocok dengan kepribadian yang keras, dan justru cenderung menyalahkan diri sendiri jika berbuat sesuatu yang buruk.
Kita bisa mengambil contoh, perilaku anak-anak yang terkadang merasa sangat marah terhadap ibunya dan mengatakan sesuatu yang buruk, tetapi kemudian anak tersebut merasa bersalah dan bertanya kepada diri sendiri, “Kenapa aku melakukannya?”
Jawabannya adalah kepribadian pertama membuatmu melakukannya, itulah mengapa hal itu disebut pribadi yang kuat. Dan kepribadian yang kedua tahu bahwa itu adalah hal yang salah dan membuatmu merasa bersalah: itulah mengapa ia disebut dengan pribadi yang menyalahkan.
Imam al-Ghazali tahu bahwa ia harus melawan pribadinya yang rendah. Maka ketika beliau melakukan sesuatu yang salah, beliau akan menghukum pribadinya yang rendah dengan cara berpuasa atau beramal hingga beliau berhenti melakukan hal-hal yang salah.
Ketika beliau sudah menaklukkan pribadinya yang rendah, Imam al-Ghazali tidak harus menyalahkan dirinya sendiri lagi, dan sifat aslinya terpancar: inilah yang disebut pribadi yang damai atau jiwa yang damai. Inilah kita yang sebenarnya, tetapi akan memakan waktu yang lama untuk kita menjadi orang tersebut.
40 buku yang Imam al-Ghazali tulis, sama seperti peta yang bisa kita ikuti untuk berjalan menuju diri kita yang sebenarnya. Ia melewati perjalanan tersebut dan membuktikan bahwa jika salah satu dari kita mengambil perjalanan yang sama, maka perjalanan tersebut akan membawa kita ke satu tempat yang sama.
Tempat itu disebut Surga. Imam al-Ghazali membuktikan pada dirinya sendiri apa yang Nabi Muhammad saw katakan, dan dengan jalan ini, buku-buku yang ditulis Imam al-Ghazali adalah buku yang didasarkan pada ilmu pengetahuan yang dipraktekkan sendiri olehnya.
Imam al-Ghazali menunjukkan siapa yang mengikuti 40 bukunya akan mengambil jalan yang sama dan juga membuktikan untuk diri mereka sendiri bahwa praktek Islam adalah nyata, dan menemukan jiwa damai mereka dan tidak akan melakukan hal-hal yang membahayakan jiwanya lagi.
Alquran mengatakan pada kita untuk tidak membahayakan jiwa kita, tetapi Allah juga berkata, di bab yang berjudul “Laba-laba”, bahwa barang siapa “bertengkar” (dengan dirinya sendiri) di jalan Kami, akan Kami bimbing ke jalan Kami” (QS 26:69).
Ayat tersebut diturunkan ketika Nabi Muhammad saw sedang di Mekkah, dan Nabi tidak diizinkan untuk membela dirinya sendiri jika seseorang menyerangnya selama Nabi berada di Mekah.
Maka dari itu, pertengkaran pada ayat ini sebenarnya berarti perjuangan melawan pribadinya yang lebih rendah. Allah menjanjikan jika kita berhasil, Ia akan membimbing kita ke jalan kebijaksanaan yang utama, agar kita selalu tahu jalan mana yang harus kita ambil ketika keadaan-keadaan berbeda datang di kemudian hari.
Hidup memiliki beberapa situasi yang berbeda, dan di masing-masing situasi yang kita hadapi atau terlibat, kita membutuhkan kebijaksanaan agar kita dapat memilih hal yang benar.
Pesan Imam al-Ghazali ke Anak-anak
Kalian, anak-anak, memiliki jiwa yang berharga yang Allah letakkan di dalam tubuh kalian sebagaimana membuat diri kalian unik. Itu berarti tidak ada orang lain seperti kalian.
Ketika kalian datang ke dunia ini melalui perut ibu kalian, kalian sangat suci, seperti emas atau salju. Tetapi kalian memiliki pribadi yang rendah di dalam diri kalian yang berpura-pura menjadi diri kalian yang sesungguhnya.
Ketika kalian bertengkar dengan pribadi kalian yang salah, pribadi kalian yang sebenarnya akan terpancar. Ini mengapa kita mengatakan beberapa orang sangat bercahaya. Imam al-Ghazali menulis buku sebagai pelajaran agar kalian dapat bersinar terang dalam gelapnya dunia dan menjadi cahaya untuk orang lain.
Ketika kalian mengikuti ajaran al-Ghazali, mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw, mengikuti ajaran Allah Swt, kalian akan bersinar, dan yang lain akan melihat sinar itu. Beberapa di antara mereka akan menginginkan kalian untuk menunjukkan bagaimana cara agar mereka mendapatkan sinar tersebut: tetap saja beberapa akan berusaha mangambilnya dari kalian karena itu sangat berharga.
Tetapi 40 buku Imam al-Ghazali akan mengajarkan kalian bagaimana cara untuk membuat sinar kalian terpancar dan juga cara untuk melindunginya dengan memberikan kehidupan pada ilmu dari kepercayaan kita.
Saya harap kalian belajar segala hal-hal dalam 40 buku tersebut suatu hari nanti dan menggunakan seluruh karyanya sebagai peta hidup kalian. Terdapat segala hal yang kalian butuhkan untuk menemukan jati diri kalian, diri kalian yang bersinar terang. (Diterjemahkan dari Al-Ghazali The Book of Knowladge for Children. Penerjemah tim Alif.id)