Sedang Membaca
Menziarahi Manuskrip Islam di Barat
Avatar
Penulis Kolom

Mahasiswa doktoral di Leiden Institute of Area Studies (LIAS), dan juga staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya Malang.

Menziarahi Manuskrip Islam di Barat

Saat ini ada geliat kuat terhadap pelestarian naskah peninggalan leluhur Nusantara di masyarakat. Hal itu terlihat dari makin ramainya kursus pembacaan naskah-naskah yang beraksara Jawa, Pegon, Jawi, Jawa Kuna, Aksara Buda, dan aksara lainnya di Nusantara. Selain itu, komunitas yang memfokuskan pada peninggalan pra-Islam juga aktif dalam pelbagai kegiatan.

Di saat yang sama sejak Islam Nusantara diwacanakan secara masif di ruang publik, geliat pembacaan dan penyelamatan naskah-naskah Islam, terutama beraksara Pegon dan Jawi juga marak terjadi di kalangan pesantren dan di luar masyarakat pesantren, terutama pada upaya digitalisasi naskah. Hal ini tampak berkebalikan dengan trend di perguruan tinggi yang justru bidang filologi sebagai cabang ilmu yang seharusnya memiliki otoritas untuk menampung geliat itu cenderung pudar dan kikis karena dianggap tidak memenuhi pasar dunia kerja dan dianggap tidak siap saji untuk tuntutan dunia kerja.

Hal itu tampak pada hilangnya sejumlah matakuliah yang memfasilitasi terbentuknya filolog kompeten dan mahir di beberapa perguruan tinggi yang bernaung pada Fakultas Sastra atau Fakultas Ilmu Budaya. Seringkali, filolog yang handal malah justru ditempa kuat di dunia pesantren untuk kasus naskah Islam, dan di komunitas dan keluarga untuk kasus naskah Jawa dan naskah-naskah Pra-Islam.

Kemungkinan ke depan hilangnya sejumlah ilmu-ilmu induk akan semakin tampak di perguruan tinggi akibat dunia yang semakin dangkal dan mengeras ini. Memang ini trend global yang juga terjadi di kampus di Barat. Akan tetapi, ada contoh yang menarik untuk disajikan bahwa kekuatan kampus di Barat justru terletak pada komitmennya untuk menyimpan, mengoleksi, dan merawat manuskrip atau naskah-naskah di masa ekspansi kolonialnya.

Melalui tulisan ini, saya akan menyinggung ihwal manuskrip Islam di Perpustakaan Leiden, dan bagaimana ia memberikan sumbangan terhadap kajian sosial humaniora. Memang, membicarakan peninggalan naskah di Barat kita tidak bisa melewati fase getir kolonialisme yang oleh Pollock (2009), dalam “Future Philology? The Fate of a Soft Science in a Hard World, disebut “terselip ciri kriminalitas” atau dengan istilah Sastrawan (2020), Oriental Philology after Orientalism, sebagai “dosa warisan kolonial” dalam setiap naskah dan lempir yang berhasil kita pegang hingga saat ini.

Membicarakan masa pengumpulan manuskrip pada masa ekspansi kolonialisme kita tidak bisa memungkiri ada peran serdadu dan peluru yang berdampingan dalam ikhtiar pengumpulan naskah pada masa awal itu. Ihwal itu, dengan demikian, tidak hanya dipahami sebagai upaya pengumpulan, tetapi juga penjarahan, lihat misalnya Carey (2008) “The Power of Prophecy” dalam subbab The British Rape of Yogyakarta untuk kasus naskah Yogyakarta pada tahun 1811-1812.  Saya akan membahas soal ini dalam kesempatan lain.

Doa yang dianjurkan Gus Baha’

Untuk memulai bahasan ini, saya akan memulai dengan konteks Islam di Indonesia yang sedang kesengsem dengan kepiawaian dan kedalaman Gus Baha’. K.H. Ahmad Bahaudin Nursalim (lh.1970-) atau akrab dikenal Gus Baha’ sewaktu membaca kitab I ‘ānatu al-ṭalibīn (syaraḥ Fatḥ al-Mu’in) karya Muhammad Syaṭa adimyāti (w.1310/1892) juz II halaman 302 ada doa panjang yang bagus sekali. Gus Baha’ menganjurkan kepada santri yang hadir untuk membaca doa  “subhāna Allah mil’al al-mizān wa muntaha al-ilmi….”.

Baca juga:  Kliping Keagamaan (1): Ini Halal, Ini Haram, tentang MUI yang Diundang oleh Produsen Indomie

Whatsapp Image 2021 12 14 At 21.07.47 (1)

Doa yang sama juga ada pada kitab Hilyatu al-awliyā’ wa ṭabāqāt al-aṣfiyā’ juz X halaman 89 karya Abī Nu‘aīm al-Asbāhāni atau al-Isfahānī (w.430/1036). Gus Baha’ membaca doa tersebut tatkala menghidupkan malam-malam Lailatut Qadar, dan juga tatkala beliau mensyukuri atas terbitnya kitab tafsir yang beliau anggit atau dalam rangka mengkhidmati al-Quran.

Di di special collection perpustakaan Leiden, doa yang dianjurkan Gus Baha’ tersebut saya temukan dari kode naskah Or 800. Awal mulanya saya mencari penulisan ulang karya IbnʿArabī (w. 638/1240), terutama al-Futūḥāt al-Makkiyya yang ada diagram putaran alam semesta pada jilid 6 versi terbitan Darul Kutub Islamiyyah. Informasi dari katalog Voorhoeve (1957:88), Handlist of Arabic Manuscripts, memberikan kabar awal bahwa ada dua fragment al-Futūḥāt yang berupa bab atau fasal tertentu.

Apa yang saya cari tidak ada di sana. Meskipun demikian, dalam sampul depan terdapat doa-doa yang bagus sekali. Di bagian pinggir dari teks utama (matan) terdapat catatan atau komentar pemilik atau penyalin naskah itu (marginalia). Meskipun, pemilik atau penyalin naskah belum terang atau mungkin tidak ada (anonim). Ada sedikit redaksi yang berbeda dari apa tertulis pada kedua kitab di atas, tampaknya memang doa ini dibaca sebelum memulai membaca kitab atau pengajian kitab pada masanya karena posisinya yang berada di sampul depan.

Doa ini memang secara semantik maknanya cantik, secara struktur gramatika tertata rapi. Meskipun doa ini tertulis untuk doa yang dibaca pada bulan Muharam (As-syura), dan tertulis “barangsiapa yang membacanya tidak akan meninggal atau menjumpai kematian dalam setahun”.. Penggalan doa dalam naskah peninggalan Warner ini kemungkinan adalah catatan seorang penekun pemikiran IbnʿArabī di Turki pada akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17. Siapakah Warner?, dan bagaimana fragmen Naskah fragmen al-Futūḥāt dari Turki bisa sampai ke Leiden?

Warisan Levinus Warner

Naskah fragmen al-Futūḥāt adalah hibah dari Levinus Warner (c.1618-22 Juni 1665) sebagaimana tertulis sampul depan dalam bahasa Latin Ex. Legato viri Ampliff. Levini Warneri ‘hibah dari orang yang sangat terhormat Levinus Warner’. Warner lahir di prinsipalitas Lippe di Jerman. Setelah ia merampungkan studi tingkat dua di Paedagogium, Bremen, ia diterima di Athenaeum Illustre pada tahun 1636 di mana Warner menerima perintah dari kepala sekolahnya (Ludovicus Crocius) untuk menekuni bahasa-bahasa Ketimuran (Oriental languages).

Pada 19 Mei 1638 Warner melakukan matrikulasi di Universitas Leiden sebagai mahasiswa filsafat. Warner belajar bahasa-bahasa Timur Tengah di bawah asuhan  Jacobus Golius (1596-1667), dan bahasa-bahasa Ibrani di bawah asuhan Constantijn L’Empereur (1591-1648). Singkat kata, kemudian ia melakukan lawatan ke Turki pada musim gugur 1645 sebagai sekretaris Nicolaas Ghisbrechti atau Ghysbrechtsz. Ghysbrechtsz adalah seorang pengrajin berlian yang aslinya dari Belanda Selatan yang bekerja di Turki, dan ia juga bekerja kepada pemerintah Belanda pada tahun 1612 sebagai diplomat.

Baca juga:  Sajian Khusus: Agama dan Pelintiran Kebencian

Setelah Nicolaas Ghisbrechti wafat, Warner melanjutkan pekerjaannya dan menjadi residen di Turki selama lebih dari dua puluh tahun. Pada masa Warner menjadi residen di Turki, ia membeli dan mengoleksi lebih dari 900 manuskrip dalam bahasa Arab, Persia, dan Ibrani. Sekitar 73 naskah berbahasa Ibrani Warner dapatkan dari komunitas Karaite, sebuah komunitas Yahudi Non-rabi yang memikat orang-orang Kristen dari Eropa. Memang, tampaknya Warner tertarik pada Yudaisme dalam komunitas tersebut.

Dalam memeroleh manuskrip tersebut, Warner dibantu oleh penutur-jati sekitar di antaranya adalah Muhammad al-‘Urdi al-Halabi (c. 1602-1660), dan orang yang memiliki nama Allepo Salih Effendi atau yang dikenal sebagai Ibn Sallûm, seorang dokter yang melayani Sultan Mahmed IV. Selain itu, ada orang Allepo yang bekerja untuk Warner sebagai asistan naskah dan juga penyalin naskah (amanuensis), yakni Niqula ibn Butrus al-Halabi atau Nicolaus Petri. Semenanjung Anatolia pada masa itu adalah titik perjumpaan antara orang-orang Eropa dan Asia. Maka, Anatolia juga disebut sebagai Asia Minor.

Warner tinggal bersama dengan seorang wanita Yunani ortodok, Cocone de Christophle, kendati keduanya tidak pernah menikah. Warner meninggal tanpa keturunan pada 22 Juni 1665. Dua hari sebelum meninggal Warner berwasiat bahwa semua koleksi manuskrip miliknya di Turki untuk dihibahkan ke Universitas Leiden. Manuskrip pertama tiba di Leiden pada tahun 1668 dan bergilir tiba pada tahun berikutnya hingga pengiriman terakhir pada 1674. Sampai saat ini koleksi Warner tersebut masih terawat dengan baik di special collection di perpustakaan Universitas Leiden dengan tajuk an incomparable treasure of Oriental books (Incomparabilis Thesaurus Librorum Orientalium).

Fragmen al-Futūḥāt

Whatsapp Image 2021 12 14 At 21.07.47

Dilihat dari corak tulisan dari koleksi naskah tinggalan mendiang Warner tersebut, ada kesamaan tradisi penulisan dan penyalinan kitab di pesantren dalam konteks Melayu dan Jawa. Misalnya, tradisi penyalinan teks utama di pesantren. Biasanya, santri menulis ulang kitab utama atau teks utama. Kemudian teks utama tersebut diberikan makna atau terjemahan melalui interlinear gloss (makna gandul atau makna jenggot) tatkala kiai membacakan secara lisan. Dan juga tradisi memberikan catatan komentar di sebelah pinggir kitab (murad atau marginalia).

Tradisi-tradisi itu tampaknya meneruskan tradisi skolastik Islam pada abad pertengahan, yang merentang pada abad ke-9 hingga ke-12. Gus Dur (1984) pernah menulis yang serupa di majalah pesantren, edisi perdana dengan judul “Asal Usul Tradisi Keilmuan di Pesantren”, ia menyebutnya dengan pengaruh Hellenisme (Wahid,1984:4). Meskipun, sebagian sarjana Barat mengajukan pendapat bahwa turunnya tradisi berpikir logis ala Aristotelian dan Neoplatonik di dunia Islam itu pudar tatkala mistisisme Islam mulai menguat, yang dibawa oleh Al-Ghazālī (w.505/1111) dan IbnʿArabī (w. 638/1240).

Kendati demikian, banyak juga sarjana Barat yang membantahnya, misalnya Frank Griffel (2015) dalam tulisannya Al-Ghazālī at His Most Rationalist: The Universal Role for Allegorically Interpreting Revelation (al-Qānūn al-Kulli fi t ta’wīl). Bahasan serupa bisa dibaca pada tulisan Mas Ulil dalam kolom berikut.

Baca juga:  Puisi, Dagelan, Demokrasi

Patut dicatat bahwa karya magnum al-Futūḥāt ditulis oleh IbnʿArabī dalam dua versi. Versi  pertama rampung ditulis pada tahun 629 H, dan versi kedua mulai ditulis pada tahun 632 dan selesai empat tahun lamanya, yakni 636 H. Versi pertama dari manuskrip aslinya mungkin hilang, tetapi salinan naskah dari versi pertama masih bisa ditemukan. Versi kedua jauh lebih utuh dibandingkan versi pertama, yakni sejumlah 37 jilid.

Manuskrip yang beredar belakangan lebih mengacu pada versi kedua bahkan hingga terbitan yang teranyar yang selama ini beredar. Perkembangan penerbitan al-Futūḥāt dari masa ke masa didokumentasikan rapi dengan menyebutkan perkembangan jumlah jilid, penerbit, dan tahunnya oleh (Addas & Cook, 2019). Al-Futūḥāt mulai ditulis setelah Ibn ‘Arabi melakukan perjalanan spiritual dan fisikal dari Andalusia ke Mekkah sekitar tahun 598 H.

Konon setelah draf awal kitab tersebut diletakkan di atas Ka’bah oleh IbnʿArabī, dan manakala draft itu masih utuh dan tidak lenyap diterpa angin atau benda lainnya, artinya keutuhan itu adalah tanda persetujuan dari Allah untuk diterbitkan dan disebarkan. Kemudian, IbnʿArabī baru mulai menuliskannya untuk khalayak umum. Maka tak heran selang tiga abad kitab itu telah dicetak, fragmen-fragmen al-Futūḥāt juga masih banyak beredar tidak sebagaimana kitab al-Futūḥāt secara utuh yang dipahami khalayak modern sekarang ini yang telah terkodifikasi rapi dan berjilid lengkap itu.

Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah posisi fragment al-Futūḥāt dengan sempalan naskah lain yang mungkin berada pada belahan dunia lain yang berkurun waktu sama? Pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang tidak mudah dan usaha akademik yang sungguh-sungguh ke depan.

Naskah-naskah keislaman yang berada dalam koleksi Perpustakaan Leiden sebagian adalah hibah dari para orientalis yang ditugaskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada masa ekspansi kolonialnya. Di Nusantara nama orientalis Belanda yang terkenal adalah Snouck Hurgronje (8 Februari 1857-26 Juni 1936). Ia juga banyak menghibahkan koleksi manuskrip ke Perpustakaan Leiden yang diberi tajuk “Legaat Prof. Dr. Snouck Hurgronje 1936”.

Saya kira kekuatan kampus Leiden terletak pada upaya menjaga tradisi yang berabad-abad lamanya itu. Tradisi akademik itu dijaga dan diupayakan agar senantiasa kontekstual dengan zaman melalui tradisi akademik yang ketat. Dalam upaya menjaga tradisi itu, Leiden juga menyimpan jutaan naskah dari belahan dunia, terutama Islam dan Nusantara.

Melalui ziarah manuskrip ini semoga menimbulkan kesanggupan untuk membaca dan mengkaji dengan sungguh-sungguh setiap corak aksara dalam manuskrip Islam untuk generasi mendatang. Kemudian, mewartakannya kembali apa yang mereka pelajari dengan semangat zaman, tentunya, untuk keberlanjutan generasi dan masyarakatnya. Hanya dengan begitu negara dunia ketiga bisa ikut menentukan narasi dirinya dalam sesrawungan global di kancah akademik melalui naskah peninggalan leluhurnya.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top