Isu krisis identitas telah lama menjadi perbincangan hangat di ruang publik Indonesia. Perubahan yang masif serta tidak disertai dengan kemapanan jati diri pada subjek-subjek pemilik kebudayaan, melahirkan suatu ketidakjelasan dalam pribadi masyarakat berbudaya. Fenomena ini diperparah dengan sikap merasa kecil kepada bangsa lain (inferiority complex) yang merupakan hasil doktrin politik dari produk kolonialisme. Kemudian, terjadilah suatu fenomena di mana suatu masyarakat berkebudayaan, merasa tidak percaya diri dengan identitas yang dimilikinya dan ‘menggantungkan’ identitas-identitas tersebut pada kebudayaan yang dianggapnya lebih hebat dari miliknya.
Bangsa Indonesia sebagai suatu entitas sosial, juga tidak lepas dari pengaruh gejala fenomena ini. Kita dapat melihat bagaimana sebagian dari masyarakat kita terjebak dalam keterkaguman buta (taqlid) pada nilai-nilai kebudayaan yang sejatinya bertentangan dengan nilai-nilai keindonesiaan. Isu-isu moralitas menjadi semakin disorot seiring dengan berbagai kasus penyimpangan sosial yang terjadi. Ditambah semakin berkembangnya penggunaan media sosial yang dapat menampilkan akun-akun anonim untuk menghujat atau mencaci maki sesama. Akhirnya, timbullah pertanyaan besar, kemanakah jati diri bangsa Indonesia yang diwariskan oleh para leluhur kita? Padahal, Alquran sebagai kitab suci dan pedoman bagi manusia, sejatinya adalah identitas dari umat Islam itu sendiri.
Secara sederhana, identitas dapat diartikan sebagai sebuah karakteristik pembeda yang dimiliki oleh suatu entitas dengan entitas yang lainnya. Meminjam analogi yang dilakukan oleh Habib Luthfi Yahya, Ra’is Jam’iyyah Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyah, bahwasanya identitas seperti air di laut. Berbagai macam kotoran hasil aliran yang dibawa oleh sungai bermuara di lautan. Namun, lautan selalu menyapu kotoran tersebut ke pinggir pantai sehingga bagian tengah laut tetap suci. Dapat pula diumpamakan dengan ikan-ikan yang hidup di air asin. Rasa mereka tidak pernah ikut menjadi asin ketika dimakan meskipun tinggal di lingkungan yang penuh dengan garam.
Menurut teorinya, masyarakat dan kebudayaan di seluruh tempat akan selalu bergerak dinamis, elastis, meskipun berada dalam sutu kelompok yang terisolasi. Pada kasus yang terjadi pada bangsa Indonesia, di tengah pergulatan pengaruh Internasional, kita dihadapkan pada realitas bahwa setiap kelompok masyarakat berusaha menonjolkan bentuk-bentuk identitasnya. Identitas yang dianggap lebih tinggi, karena mewakili sebuah kebudayaan yang maju, acapkali dijadikan model bagi identitas-identitas yang dianggap ada di bawahnya. Fenomena inilah yang melahirkan suatu gejala yang disebut sebagai krisis identitas. Bangsa Indonesia pun tengah menjadi sasaran dari perebutan identitas ini.
Indonesia, secara legal memang bukanlah sebuah negara Islam. Akan tetapi, negara ini memiliki caranya sendiri untuk tetap menjadi islami. Pancasila adalah suatu bukti manifestasi nilai Islam dalam semangat perjuangan bangsa Indonesia. Mulai dari sila pertama hingga kelima, terlihat jelas bagaimana nafas islam mengalir dalam ideologi bangsa. Tiada satupun nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam dalam kalimatnya. Kelima sila inilah yang kemudian merajut berbagai suku, bahasa, dan etnik di Indonesia menjadi satu kesatuan bangsa. Identitas islam seolah selalu tersemat mendengar nama Indonesia yang juga negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia ini.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, telah cukup menjadi hujjah bahwa negara ini adalah negara yang menghormati agama. Nilai agama tumbuh sumbur dan dijamin oleh negara. Segala macam agama yang ada terakomodir dalam bingkai Pancasila. Pancasila tak ubahnya seperti Piagam Madinah karya Rasulullah SAW yang menyatukan berbagai agama menjadi satu identitas, yaitu umat Muhammad, penduduk Madinah. Umat Muhammad tidak hanya diartikan sebagai mereka yang beriman atau ummat al-ijabah saja, tetapi juga mereka yang belum beriman, yakni ummat ad-da’wah. Rasulullah SAW berfirman yang artinya,
“Para nabi adalah anak dari ibu-ibu yang berbeda, agama mereka semua satu, dan ibu mereka lain-lain.”
(HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ahmad)
Konsep umat pun akhirnya meluas pengertiannya dari sekadar komunitas agama, sehingga dapat pula dikatakan sebagai bangsa. Keberagaman dalam bangsa sejatinya adalah keniscayaan, hal ini pun sejalan dengan firman Allah Swt.
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia uamt yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.”
(Hud: 118-119)
Menilik pada ayat ini, bangsa Indonesia yang plural dan beragam sejatinya adalah suatu ketetapan yang dipilih oleh Allah SWT. Imarah M. (1999) dalam Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan kemajukan dalam Bingkai Persatuan menyebut bahwa kemajemukan sendiri adalah suatu conditio sine qua non ‘syarat mutlak’ sifat universalitasnya. Konsep ini haruslah dipegang erat terlebih dahulu sebagai suatu fondasi konstruksi berpikir kita secara lebih jauh. Bahwasanya kita adalah bangsa yang plural, bukan negara Islam, tetapi islami dalam sendi bangunannya dan dapat mengambil nilai islam dalam pembentukan karakter maupun sikap perbuatannya.