Hamzah Sahal
Penulis Kolom

Founder Alif.ID. Menulis dua buku humor; Humor Ngaji Kaum Santri (2004) dan Ulama Bercanda Santri Tertawa (2020), dan buku lainnya

18 Tahun Lalu Presiden Gus Dur Dilengserkan

Tak ada “bulan madu” saat Gus Dur menjadi presiden. Hari-harinya penuh polemik. Sepertinya, tak ada hari tanpa kontroversi. Dan, dari hari ke hari, dari pekan ke pekan, dari bulan ke bulan, musuh Presiden Gus Dur makin banyak. Itulah Gus Dur di mata media.

Ya, sepertinya memang tidak ada yang memihak Gus Dur. Politisi, parlemen, tentara, pengusaha, birokrat, media, organisasi Islam modernis, bahkan para pembantunya ada yang menentang Gus Dur secara terbuka.

Puncaknya terjadi tangal 23 Juli 2001, saat Gus Dur mengeluarkan Dekrit, sebagai bentuk perlawanan pada parlemen. Salah satu isi Dekrit adalah membubarkan MPR/DPR. Saat itulah, hanya beberapa jam setelah Dekrit, sidang istimewa digelar: Mengkudeta Gus Dur!

Gus Dur yang dipilih secara demokratis, lalu dilantik tanggal 20 Oktober 1999, dilengserkan tanggal 23 Juli 2001. Inilah awal mula agenda reformasi berbelok.

Meski singkat sekali menjadi presiden, Gus Dur telah mengubah dasar-dasar negeri ini secara signifikan. Saya masih ingat dalam sebuah tulisan, Renald Kasali mengatakan, Gus Dur menjadi presiden kurang dari dua tahun, tapi sepuluh berubahan besar telah dilakukan. Sementara SBY, sepuluh tahun menjadi penguasa, hanya ada dua perubahan, itu pun dilakukan oleh wakilnya.

Tidak salah Renald Kasali, Gus Dur memang telah mengubah arah negeri ini. Gus Dur mengubah, lebih tepatnya merobohkan tembok tebal yang dibangun oleh rezim militer bernama Orde Baru selama 32 tahun. Inilah beberapa tiga perubahan mendasar yang hari ini kita semua bisa menikmatinya:

Baca juga:  Kisah Seorang Arab Baduwi Kencing di Masjid

Pertama: “Demiliterisasi”

Reformasi besar-besaran setelah Soeharto tumbang terjadi di tubuh tentara (ABRI). Dan Presiden Gus Dur yang mereformasi habis-habisan, dengan dukungan rakyat sepenuhnya. Secara sederhana “demiliterisasi” bermakna menghilangkan peran-peran politik ABRI: dihapuskannya Fraksi TNI-Polri di DPR.

Gus Dur menginginkan TNI bekerja sebagai tentara yang profesional, kembali ke barak, TNI aktif tidak boleh menduduki posisi sipil, tidak boleh berpolitik, ataupun berbisnis. Langkah besar Gus Dur dalam melakukana dimiliterisasi itu termasuk memisahkan TNI dan Polri. Nama ABRI pun hilang.

Turunan-turunan reformasi TNI cukup banyak, seperti Panglima TNI diberikan kepada Angkatan Laut, yang pada waktu itu dipegang oleh Laksamana Widodo AS. Begitu juga Menteri Pertahanan, semasama Gus Dur, dijabat oleh orang sipil, yakni Juwono Sudarsono dan Mahfud MD. Masih banyak contoh-contoh demiliterisasi yang dilakukan oleh Gus Dur, sesuatu yang mustahil ada di zaman Orde Baru. Ya, Orde Baru, dengan Soehartonya, adalah rezim militer, yang sedikit-sedikit militer, apa-apa militer. Itu bubar semua di zaman Gus Dur. Sekarang bagaimana? Duuh, katanya militer hendak mengisi pelajaran di sekolah-sekolah. Semoga ini tidak benar.

Kedua: Menghapus Departemen Penerangan dan Departemen Sosial

Dua departemen ini adalah sistem kontrol kepada masyarakat. Gus Dur menilai Departemen penerangan ini banyak melakukan disinformasi dan pembodohan kepada masyarakat. Sementara Departemen sosial dibangun oleh Orde Baru, salah satunya, untuk menciptakan ketergantungan masayarakat pada negara.

Baca juga:  Tangisan Umar Ketika Rasulullah Meninggal

Pembubaran dua departemen itu membuat gejolak tinggi di awal-awal Gus Dur memegang pemerintahan. Orang bingung, mulai dari gagasan hingga urusan teknis, mulai dari bertanya apa maksudnya hingga bertanya mau dikemanakan para pegawainya. Yunus Yosfiah, seorang jenderal dan bekas menteri penerangan, terlibat perdebatan dengan Presiden Gus Dur secara terbuka, satu peristiwa yang tak akan terjadi di era Soeharto.

Ketiga: Mengakui Kong Hu Cu sebagai Agama

Sifat yang melekat kuat pada diri Gus Dur adalah menjunjung tinggi kemanusiaan. Sebelum jadi presiden, Gus Dur berjuangan untuk persamaan hak, di mana-mana beliau syiar bahwa semua manusia sama, tidak boleh ada diskriminasi atas nama apapun. Haram hukumnya membeda-bedakan manusia karena perbedaan agama, budaya, golongan, ras, dan lain-lain.  Semua orang sama di depan konstitusi.

Salah satu upaya keras menghapus diskriminasi adalah mengakui Kong Hu Cu sebagai agama resmi. Dan diikuti dengan keputusan Imlek hari libur fakultatif (menjadi hari libur nasional setelah era Megawati).

Tionghoa di era Orde Baru tidak boleh terlihat, baik ekspresi budayanya hingga politiknya. Mereka harus meleburkan diri, dari bahasa, nama, agama, hingga politik. Tionghoa tidak boleh menjadi dirinya. Namun di sisi lain, Soeharto juga memfasilitasi segelintir Tionghoa untuk membangun gurita bisnisnya.

Baca juga:  Jejak Keturunan Rasulullah di Bumi Nusantara

Demikian tiga hal mendasar yang telah dilakukan Gus Dur. Dan sesungguhnya masih banyak lagi, seperti mewacanakan pencabutan TAP MPRS No. 25 Tahun 1966 tentang Komunisme, permintaan maaf terkait tragedi kemanusiaan, dan lain sebagainya. Belum lagi kebijakan internasional Gus Dur, yang mendukung poros India, China, dan Afrika Selatan.

Di pemerintahaannya yang demikian singkat, Gus Dur telah menunjukkan, telah mencontohkan kepada kita semua, bagaimana menjadi pemimpin yang rela berjuang dan berkorban, bukan memperlihatkan cara mempertahankan kekuasaan dan menumpuk-numpuk harta kekayaan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Kata-kata yang sering diucapkan Gus Dur, “Biarlah sejarah yang membuktikannya” — Walaupun kejatuhan Gus Dur waktu itu dengan isyu “Brunaigate-Bulogate” — akhirnya sejarah juga yang menjawab bahwa ternyata itu juga tidak terbukti. Pada akhirnya semangat Reformasi juga dikhianati oleh tokoh-tokoh reformasi sendiri lebih disebabkan permintaan kue kekuasaan (jatah menteri dari partai-partai pendukung). Tetapi sesungguhnya kelemahan politik Gus Dur juga terlalu berpegang teguh pada prinsip dan tidak mau didekte, padahal kalau melihat kenyataan bahwa dia terpilih secara parlementer sementara maunya Gus Dur harus sesuai Undang-Undang Dasar (secara presidensil). Kelemahan Gus Dur yang kedua adalah juga tidak melihat kenyataan bahwa tokoh-tokoh Reformasi sudah bersatu dengan tokoh2 Orde Baru (Golkar) sementara Gus Durnya terlalu berani membersihkan dan memecati orang-orang Orde Baru (sesuai cita-cita awal semangat Reformasi). Kelemahan ketiga, Gus Dur juga tidak melihat kenyataan bahwa politik praktis itu tidak bisa dilepaskan dari politik dagang sapi (waktu itu) sementara dia sendiri terlalu memegangi prinsip idealisme politik — sehingga ketika dedengkot partai besar menawari tidak akan dijatuhkan dengan syarat begini-begitu Gus Dur tetap pada prinsipnya yang dianggap benar. Kata Mahfud MD yang menjadi wakil Gus Dur untuk lobi, “Aman Gus, asal begini-begini tidak akan dijatuhka ,” — tapi apa jawab Gus Dur? “SAYA LEBIH BAIK JATUH DARIPADA HARUS MELANGGAR UNDANG2”. Ya, mungkin Gus Dur benar tapi juga harus melihat kenyataan bahwa politik praktisnya waktu itu adalah kekuasaan ada ditangan parlemen. Andai saja mau menerima tawaran kan selamat sampai lima tahun ….

Komentari

Scroll To Top