Penulisan fikih sudah ada sejak era awal. Coraknya pun berbeda-beda. Mulai dari corak seperti Imam Abu Hanifah, corak seperti Imam Malik, hingga corak fikih-nya Al-Ghazali dalam Ihyâ’ Ulumuddîn. Corak pertama lebih dikenal dengan fikih corak ar-ra’yi (akal), kedua lebih dikenal dengan ahlu al-hadis. Corak ketiga merupakan perpaduan fikih murni dengan kentalnya tasawuf.
Pada era itu, corak ketiga merupakan corak yang benar-benar baru. Dimana ia memadukan fikih yang lebih pada legal formal, dipadukan dengan muatan ruhani menggunakan platform tasawuf-nya. Atas dasar terobosan ini, maka sebagian menyematkan gelar al-mujaddid (sang pembaharu) kepada Al-Ghazali (meskipun hal tersebut bukan satu-satunya alasan).
Rupanya penulisan corak ini tidak banyak dilakukan oleh ulama setelahnya. Hingga datanglah seorang ulama Mesir, Syekh Abdul Wahâb asy-Sya’roni, dengan bukunya Al-Mîzan al-Kubrâ. Buku ini merupakan suksesor Ihya’, sebagaimana hal itu diungkapkan oleh salah seorang profesor dari Al-Azhar Cairo, Prof. Dr. Muhammad Abu Zaid al-Amiir dalam salah satu ngajinya.
Syekh Abdul Wahâb asy-Sya’roni sendiri merupakan ulama dari Mesir. Ia merupakan murid langsung dari wali khos era itu, Syekh Ali al-Khowas. Maka tidak heran ketika asy-Sya’roni mampu meracik fikih sebagaimana fikih dalam Ihyâ’ Ulumuddîn. Pengaruh tasawuf yang dibawa sang guru sudah dipastikan diserap dengan baik oleh sang murid.
Al-Mîzan al-Kubrâ tergolong karya fikih komparatif. Ia mengakomodir pendapat mazhab-mazhab muktabar. Hal ini terlihat jelas dalam mukadimah kitab tersebut. Asy-Sya’roni mengungkapkan: “Kitab ini merupakan mizan (timbangan) dengan kualitas tinggi. Disini saya berupaya untuk mengumpulkan dalil yang berbeda-beda. Disamping itu, saya juga berupaya mengakomodir pendapat para mujtahid serta para pengikutnya, mulai dari generasi awal sampai akhir hingga hari kiamat”.
Dari kutipan tersebut, sekilas mungkin tidak ada perbedaan dengan fikih komparatif lainnya, seperti misalnya Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, karya Ibnu Rusyd. Hanya saja, ketika dibaca lebih jauh maka akan kita temukan klaim dari asy-Sya’roni yang menyatakan bahwa kitabnya merupakan terobosan baru yang belum pernah dilakukan oleh ulama sebelumnya. Lantas apa yang melandasi klaim tersebut?
Klaim tersebut agaknya bukan tanpa dasar. Coba saja kita buka bab-bab awal kitab tersebut. Disana terasa secara jelas perbedaan antara kitab ini dengan kitab fikih yang ada. Asy-Sya’roni mengajukan barometer baru dalam menyikapi perbedaan pendapat antar madzhab. Ia sudah tidak lagi sibuk untuk mengunggulkan satu pendapat dan mengalahkan yang lain. Asy-Sya’roni melihat perbedaan ini dengan kacamata yang berbeda. Disini ia mengajukan tolak ukur berupa hukum yang memberatkan dan hukum yang meringankan.
Parameter ini tergambar jelas dalam ungkapan asy-Sya’roni: “Semua yang ada dalam syariat Islam kembali kepada amr (perintah) dan nahi (larangan). Masing-masing dari amr dan nahi tadi menurut para ulama terbagi menjadi hukum yang diberangkatkan dan hukum yang mengandung keringanan”.
Dengan parameter ini, asy-Sya’roni konsisten menimbang semua perbedaan pendapat yang terjadi. Sekali lagi, ia sama sekali tidak melihat satu pendapat lebih unggul dan yang lain lebih lemah, justru, ia melarikan satu pendapat, sebagai hukum yang ringan –pada kasus A, misalnya—, pendapat yang lain merupakan pendapat yang berat –pada kasus yang sama.
Cara mengaplikasikan neraca ini –fikih yang meringankan dan fikih yang memberatkan— pun memiliki sistemnya sendiri. Asy-Sya’roni secara langsung memaparkan cara kerja neraca tersebut: “Masing-masing derajat ringan dan berat memiliki pemerannya. Seseorang yang kuat dalam hal keimanan serta fisik, maka ia dikenai syariat (hukum) yang berat, baik hukum itu secara tegas dan definitif disebut oleh syariat, ataupun hukum tersebut hasil dari ijtihad. Baik pendapat yang berat tadi merupakan pendapat mazhab orang yang bersangkutan atau pun dari mazhab lain. Sedangkan seseorang yang lemah secara keimanan dan fisik, maka ia mendapat hukum dengan derajat ringan, baik pendapat yang ringan itu dari mazhab orang yang bersangkutan atau pun dari mazhab lain” (lihat: Abdul Wahab asy-Sya’roni, Al-Mîzan al-Kubrâ, Dar al-Fikr, Bairut, 2010, hal 4).
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa apa yang dibawa oleh asy-Sya’roni dalam kitabnya, Al-Mîzan al-Kubrâ, merupakan fikih dalam bentuk baru. Fikih yang lebih melihat kepada keadaan mukalaf serta keimanannya. Dari sini terasa jelas perpaduan antara fikih dan tasawuf yang diusung oleh asy-Sya’roni. Maka menjadi tidak berlebihan apa yang dikatakan bahwa Al-Mîzan al-Kubrâ merupakan penerus Ihyâ’ Ulumuddîn.