Sedang Membaca
Porsi Ambisi dan Kepasrahan Diri

Alumni International University of Africa, Republik Sudan, kini menjadi pendidik dan pengajar di Pondok Pesantren Al-Bayan, Banten Selatan.

Porsi Ambisi dan Kepasrahan Diri

Berapa persenkah dari kehendak dan cita-cita hidup kita dapat dicapai dan diraih secara optimal? Faktanya, tidak selamanya setiap usaha dan laku hidup manusia berjalan mulus sesuai dengan yang dikehendaki. Adakalanya kita merasa kesulitan untuk bangkit lagi setelah mengalami kegagalan dan kejatuhan. Namun, adakalanya kita mudah bangkit untuk dapat meraihnya kembali dan hidup dalam kemakmuran.

Terlalu sibuk dan ikut campur urusan Tuhan, seringkali membuat manusia makin stres, galau dan nelangsa. Padahal, dengan membiarkan Allah bekerja (ikhlas) dan menerima apa-apa yang diputuskan-Nya, justru membuat hati merasa lapang dan nyaman, serta terhindar dari perasaan takut dan cemas akan nasib hidupnya di masa yang akan datang.

Di samping menerima ketentuan Allah, tentu kita pun patut menuruti perintah-Nya untuk berusaha agar meraih sesuatu secara optimal. Jadi, perintah di satu sisi, dan kepasrahan dan penerimaan menerima takdir di sisi lain. Melaksanakan perintah-Nya untuk berjuang mati-matian, akan merasa capek dan lelah, jika kita terlepas dari kehendak, tujuan, serta kasih sayang Allah di balik perintah dan ketentuan-Nya.

Dengan melaksanakan perintah-Nya, manusia harus senantiasa bergantung dan bersandar kepada-Nya, hingga mencapai ending tujuan yang dicapai atas ketentuan-Nya. Manusia akan mampu bertahan dengan sabar menghadapi rintangan hidup, manakala ia berpasrah diri pada ketentuan yang digariskan bagi hidupnya. Untuk itu, manusia harus senantiasa menghadirkan Allah melalui proses intuisi dalam setiap usaha yang dilakukan. Jiwa yang rileks dan lapang, harus menjadi acuan setiap manusia dalam meraih harapan dan cita-citanya. Jadi, manusia harus berusaha secara optimal, namun juga harus sabar dan luwes dalam menjalankannya.

Baca juga:  Sunah dan Bid’ah dalam Perspektif KH Hasyim Asy’ari

Usaha secara optimal yang dihiasi dengan jiwa yang pasrah pada ketentuan Tuhan, tak ubahnya antara keselarasan ikhtiar dan tawakkal, syariat dan hakikat, untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Di sisi lain, ada pihak yang menggugat, bukankah rezeki itu sudah ditentukan di Lauhul Mahfudz, jadi percuma saja kita usaha mati-matian, namun pada akhirnya hasil yang diraih segitu-gitu juga? Justru Allah merahasiakan ketentuan rizki-Nya, yang membuat setiap manusia harus berlomba-lomba untuk mencapai keberhasilan.

Pada prinsipnya, kita harus menjaga keseimbangan antara usaha dan jerih-payah yang kita lakukan dengan kualitas kepasrahan yang harus dijaga dengan baik. Usaha untuk mengejar duniawi yang melelahkan, akan dirasa nikmat ketika aturan dan rencana Allah diposisikan lebih utama ketimbang rencana yang disusun oleh manusia. Dengan kata lain, bukanlah upaya mencari kebahagiaan yang kita utamakan, melainkan kita harus selalu bahagia dalam proses untuk mencapai suatu tujuan dengan baik.

Bukanlah mencari dan menggapai-gapai ilham mati-matian (sampai kepala botak) agar tulisan kita ditampilkan di media, melainkan kita harus bahagia dalam menikmati proses menulis, hingga karya kita bisa tampil di media yang keren ini.

Untuk itu, mari kita istirahatkan diri kita dari segala kerumitan dan kesibukan duniawi. Mari kita simpelkan dan sederhanakan hidup kita dari segala obsesi dan ambisi yang menurut orang Sunda “loba kahayang” (banyak kehendak dan keinginan) menuju pada kesederhanaan hidup yang lebih menentramkan batin. Sebab, dunia bisnis dan entertainment (al-lahwu wattijarah) jika ia dilakukan secara obsesif sampai melupakan Tuhan, keduanya akan menjadi aktivitas yang diharamkan Allah (al-Jumuah: 11).

Baca juga:  Hidup Indah dengan Ukhuwah Islamiah

Orang yang terlalu ambisius mengejar target-target duniawi, mengindikasikan ketidakpahaman perihal makna rizki seakan-akan ia hanyalah urusan banyak uang dan kekayaan. Padahal, perkara kesehatan, ketenangan dan ketentraman batin tak lepas dari soal rizki juga. Pernahkah kita berpikir, berapa harga paru-paru atau jantung yang ada dalam rongga dada anak-anak dan keluarga kita?

Terkait dengan itu, Albert Einsetin pernah menulis kalimat dalam secarik kertas, lalu memberikannya kepada seorang pelayan hotel karena ia tak mampu memberi uang tips kepadanya. Kalimat itu berbunyi: “Hidup sederhana dan apa adanya, jauh lebih membahagiakan daripada sibuk mengejar target kesuksesan duniawi, dengan segala keruwetan yang akan terus-menerus menyertainya.”

Secarik kertas itu dihargai miliaran rupiah dalam konteks saat ini. Tetapi, tentu saja si pemilik surat – maupun Einstein penulisnya – tak mungkin menikmati uang miliaran itu dalam kehidupan dunia, jika keduanya sudah berada di negeri akhirat.

Di usia senjanya, fisikawan dan pemikir brillian itu menyadari, betapa dalam kesederhanaan terkandung makna kedalaman spiritual, serta kekayaan batin yang dapat mengungkap hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama beserta lingkungan dunia di sekelilingnya. Sebagai khalifah, manusia berhak memiliki rencana dan agenda baik yang diciptakannya, meskipun pada akhirnya ia harus berpasrah pada rencana dan agenda Tuhan yang Maha Menentukan dan Mengatur segala urusan, atas dasar kasih sayang-Nya. Kita hanyalah segenggam lempung yang diremas-remas, dibanting, dibolak-balik, untuk sampai pada kesempurnaan bentuk, sesuai yang dikehendaki Penciptanya.

Baca juga:  Umat Islam dan Vaksin

Dalam kepasrahan itu, manusia harus tunduk dan menyerahkan kendalinya kepada Tuhan dari apa yang diperbuat-Nya, sehingga ia akan terhindar dari pengingkaran terhadap takdir yang pada akhirnya hanya menjadi hak dan milik Allah semata. Konsep pemikiran ini berbeda dengan fatalisme ala Jabariyah, yang berujung pada kenaifan dan kesemuan.

Dalam kepasrahan ini, mental dan jiwa manusia tak diselimuti oleh kekhawatiran dan kecemasan pada saat ia berproses secara optimal dalam menggapai maksud dan tujuannya. Jadi, dalam kesulitan dan kerumitan menjalankan ikhtiar, manusia akan senantiasa terhibur oleh sikap tawakkal yang sudah menyatu dalam tabiat dan kepribadiannya dengan baik.

Kehidupan yang seimbang antara ikhtiar dan tawakkal inilah yang membuat iman akan bermuara pada kesejatiannya. Di dalam iman yang sejati, manusia akan ikhlas dan ridho menjadikan Allah dan rasul-Nya sebagai hakim atas dirinya, baik dalam perkataan maupun perbuatan, dalam menjalankan perintah maupun larangan, bahkan memasrahkan diri pada apa yang dicintai maupun dibenci oleh-Nya. (*)

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top