Sedang Membaca
Konsep Islam Nusantara yang Disalahpahami

Muhammad Abdun Nasir. Alumnus Ponpes Baitur Rahim Bungah Gresik dan Magister di Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Pegiat Halaqoh Literasi Malang Jawa Timur. Pernah menjadi Asisten dosen, dosen luar biasa, dan dosen tamu di FE Universitas Brawijaya, dan sudah lebih dari 18 tahun bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di Sales Marketing dan sekarang menggeluti usaha properti.

Konsep Islam Nusantara yang Disalahpahami

Islam Nusantara dihadirkan secara konsepsi pertama kali pada saat Muktamar NU ke 33 di Jombang Jawa Timur pada bulan Agustus 2015. Meskipun secara konsepsi ini baru diperkenalkan, namun secara praktik sudah ada sejak Islam ini diperkenalkan oleh para Wali Songo pada saat mendakwahkan Agama Islam di bumi Nusantara ini, khususnya di pulau Jawa.

Pertanyaannya adalah, kalau sudah diperkenalkan secara praktik jauh pada abad 15, kenapa baru sekarang Islam Nusantara ini diperkenalkan kepada umat Islam secara konsepsi? Apakah ini merupakan Agama baru? Apakah ini merupakan mazhab baru? Secara tegas dijawab bahwa Islam Nusantara ini bukanlah mazhab apalagi agama baru. Ia hadir sebagai tipologi (corak) yang menyertai praktik (metode) atas budaya yang tidak bertentangan dengan syariat Islam sebagai induk ajarannya. Kehadiran konsepsi ini dimaksudkan untuk mempertahankan, memperkuat, dan sekaligus menggaungkan praktik yang sudah lama ada.

Islam Nusantara ini lahir merupakan ikhtiar NU untuk melakukan upaya yang distrukturkan dalam bentuk konsepsi deradikalisasi atas konsepsi dan praktik Islam yang radikal. Kesan yang diberikan oleh kelompok radikalis ini adalah bahwa Islam itu disebarkan dengan meniadakan golongan/agama lain yang berbeda dari mereka. Mereka akan dilawan bahkan akan diperangi. Praktik dan konsepsi ini marak di tengah-tengah bergeloranya pertikaian perang saudara yang terjadi di Timur Tengah. Pertikaian ini semakin meruncing dengan berdirinya ISIS, yang semua orang paham, bahwa ISIS mencitrakan diri sebagai Islam murni, keras, dan bar-bar. Sehingga, dikhawatirkan paham yang  dipraktikkan oleh ISIS ini berpenetrasi masuk ke negara kita, Indonesia.

Baca juga:  Terobosan Kebudayaan Kemenag

Atas kekhawatiran inilah Islam Nusantara hadir sebagai manhaj (kaidah/metode) dalam beragama, dengan mengakomodir budaya lokal. Artinya, bagaimana budaya lokal-dimanapun berada-bisa berinteraksi positif dengan ajaran agama Islam. Karena pada hakikatnya, kehidupan ini merupakan proses akulturasi bermacam macam budaya, sehingga agama dengan nilai-nilai sosialnya akan bersama-sama membentuk peradaban manusia.

Islam yang dikembangkan di Nusantara mengakomodir bagaimana budaya orang Indonesia yang dikenal sebagai bangsa yang ramah dan penuh toleransi, sehingga muncullah kaidah tasamuh dalam fikrah maupaun harakah NU. Dimana, dalam menyikapi setiap perbedaan yang sama sama memiliki landasan, akan selalu diberikan penghormatan dan saling memahami.

Mari kita menengok sejenak bagaimana metode yang digunakan oleh Wali Songo. Dimana mereka datang tidak serta merta meng-Islam-kan penduduk Nusantara dengan menghalau adat istiadat atau tradisi yang sudah mendarah daging di masyarakat dan menggantikannya dengan budaya Arab pada saat itu. Pernyataan ini tidak bisa diartikan sebagai benci budaya Arab atau meminorkan budaya Arab dibanding dengan budaya Nusantara. Akan tetapi lebih pada pendekatan metode yang menyerap budaya lokal nusantara, sehingga Islam akan mudah diterima.

Budaya nusantara yang diserap (terutama di pulau Jawa) dan dikawinkan dengan nilai-nilai dan makna keislaman seperti: Penggunaan istilah Jawa yang dikiaskan maknanya maupun diperhalus dengan istilah Arab, seperti kalimasada yang berarti kalimat syahadat, sekaten yang berarti syahadatain, gapuro yang berarti pintu masuk pengampunan. Penggunaan bangunan menara Masjid Demak sebagai simbol penghormatan, seperti adanya menara 3 tingkatan yang menyerupai bangunan kerajaan khas Hindu yang memberikan simbol makna Islam, Iman, dan Ihsan. Ada juga bersyiar dengan pendekatan seni yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan membuat syair lir-ilir. Syair ini didalamnya disebutkan penekno blimbing kuwe –panjatkan pohon blimbing itu. Pemilihan simbol buah blimbing yang berbentuk bintang lima, yang melambangkan Rukun Islam yang berjumlah lima.

Baca juga:  Pemetik Puisi (3): Zawawi Imron dalam Sajak atau Doa

Terdapat juga contoh pasca Wali Songo, yakni pada tahun 1948 ketika kondisi politik saat itu sedang tidak kondusif, dimana para elit politik enggan duduk bersama, karena satu sama lain terlibat saling menyalahkan. Presiden pertama RI Sukarno bermaksud mengumpulkan mereka untuk bersilaturahim bertepatan dengan Idul Fitri, namun Sukarno tidak mau menggunakan istilah silaturrahim karena sudah terlalu umum. Bung Karno bertanya kepada KH. Wahab Hasbullah istilah apa yang tepat untuk mengumpulkan para elit ini. Akhirnya KH. Wahab Hasbullah menyarankan untuk menggunakan istilah Halal Bi-Halal, dengan latar belakang karena antar elit tersebut dalam kondisi saling menyalahkan, dan tindakan tersebut itu haram dan menimbulkan dosa, maka harus dihalalkan. Jadilah istilah tersebut menjadi bagian tradisi penting dalam perhelatan kehidupan sosial bermasyarakat hingga saat sekarang. Tradisi ini digunakan oleh semua kalangan bukan hanya berhenti pada institusi pemerintah saja tapi juga menjalar ke hampir semua segmen masyarakat.

Contoh di atas adalah merupakan corak nyata bagaimana berislam di Nusantara ini, dimana corak tersebut melekat dan berimplikasi kuat terhadap kehidupan sosial masyarakat. Dan perlu digarisbawahi bahwa konsepsi dan praktiknya tidak bertentangan dengan syariat. Tidak lantas Islam Nusantara tersebut akan mengganti salam dalam sholat-yang mutlak dalam ibadah mahdhoh-diganti dengan selamat pagi, atau mengganti kain kafan dengan kain batik, seperti yang pernah ramai dituduhkan beberapa pihak.

Baca juga:  PMII dan Kaum Wahabi; Refleksi 59 Tahun Ber-Ahlussunnah Wal Jama’ah

Pengembangan konsepsi Islam Nusantara sebenarnya ini sama halnya dengan Islam Berkemajuan yang dikembangkan oleh Muhammadiyah, atau di Malaysia juga punya Islam Hadhari, Brunei Darussalam punya Melayu Islam Berjaya yang sama sama mengembangkan konsep yang disatukan dengan kata Islam. Namun, khusus untuk Islam Nusantara, konsepsi yang dikembangkan mendekatkan pada aspek budaya. Perlu dipertegas kembali, bahwa Islam Nusantara bukanlah konsepsi yang merendahkan budaya Arab, namun konsepsi yang menjadikan budaya nusantara ini menjadi ciri khas dan jati diri umat Islam di Indonesia. Sehingga beragama Islam di Nusantara yang adaptif dengan budaya yang sangat khas nusantara ini akan justru memperkaya keberagaman hasanah Islam itu sendiri.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top