Usianya tak lagi muda, tapi ia tetap berdiri tegap, tatapannya kadang terlihat layu, namun tetap tampak tajam. Dan soal semangat, ia tiada lawan tanding, dapat sejajar dan bahkan melampaui generasi muda yang berlapis-lapis jauh di bawahnya. Siapa dia?
Dialah Amien Rais (AR), seorang orator ulung. Kata-katanya tegas, sindirannya tajam, humornya mematikan, dan bahasa tubuhnya memikat. Zaman Orba, pidatonya didatangi intel-intel tentara. Reformis memang. Tidak berlebihan jika ada julukan buatnya sebagai “bapak reformasi”. Ya, Muhammad Amien Rais bukan sekedar tokoh publik dengan reputasi intelektual yang meyakinkan dan seorang aktivis organisasi yang susah dicari bandingnya, tapu juga sekali lagi “bapak reformasi.
Hari ini, 26 April, 75 tahun lalu Pak AR dilahirkan di Surakarta, tahun 1944. Dengan kata lain, beliaunya ulang tahun ke-75. Usia yang sangat sepuh, bagi pensiunan, tapi tidak buat aktivis gaek ini. Ia masih segar bugar, lincah, lantang, percaya diri, dan sanggup berada di lima kota dalam sehari.
Namun, dalam lima tahun terakhir, AR lebih menonjol sebagai aktor, “pemain”, yang cenderung memainkan politik elektoral daripada sebagai seorang ilmuwan politik bergelar profesor, dan pemuka agama. Dulu, idiomnya yang sangat terkenal adalah “high politic”, politik tinggi.
Apakah posisi AR sekarang ini salah? Tidak. Sama sekali tidak salah. Sebab, saya yakin itu pilihan sadar AR.
Hanya saja, dalam situasi politik mutakhir, banyak kalangan menyayangkan dan bertanya-tanya, mengapa AR yang dahulu dikenal sebagai “musuh orde baru”, kini justru bergandeng mesra dan jatuh dalam pelukan bersama orang-orang yang melanggengkan status quo rezim otoriter orde baru? Apakah AR yang dikenal sebagai seorang rasionalis-modernis dari rahim akademisi berlatarbelakang Muhammadiyah sedang menjalankan praktik inkonsistensi?
Sekilas mungkin iya. Tapi jika melacak alur geneologi tentang sikap dan langkah-langkah politik AR, sesungguhnya, menurut kacamata awam saya, ia memiliki sikap konsisten, dan bahkan sangat konsisten. Kalaupun terlanjur dikesankan inkonsisten oleh kalangan idealis yang merasa “kecewa” dengan sikap dan langkah politik AR, segeralah disadari, bahwa AR tetap konsisten dalam ketidakkonsistensinya itu. Mengapa Pak AR demikian?
Jawaban saya, adalah ATM. Apa itu? Asal Tidak (dengan/bersama) Megawati. Inilah sumber dan prinsip langkah Pak AR.
AR dan Mega sulit dipersatukan dalam lanskap politik nasional, visi politik hingga soal suksesi kepemimpinan. Tetapi dalam kerja-keja politik lokal, seperti pemilihan gubernur, wali kota, dan lain-lain, masih bisa dan memungkinkan bekerjasama dalam satu tim koalisi partai merah-biru.
Sikap politik AR yang terlihat emoh menjalin kerjasama ideologis dengan Megawati dapat ditafsirkan pula dari segi keagamaan, sebagai residu ketegangan antara apa yang oleh Clifford Geertz disebut kaum “abangan” dengan “santri” (kalangan modernis). Residu lain dari aspek politik, jelas tidak bisa dilepaskan dari AR yang menjadi aktor kunci sebagai Ketua MPR hasil pemilu 1999, lewat jurus poros tengah, menaikkan dan sekaligus menurunkan kembali Gus Dur sebagai presiden RI ke-4, lalu Megawati naik menjadi presiden ke-5, namun sampai akhir jabatannya, AR sepertinya “kapok” percaya kepada arus politik yang di dalamnya ada unsur Megawati.
Sejak itulah, dengan segala resiko dan dinamikanya, AR selalu mengambil posisi berseberangan dengan Megawati, meski ia harus menelan ludahnya sendiri tentang pandangan-pandangan kritisnya kepada sistem dan penyokong rezim orde baru.
AR, bahkan mempertaruhkan progresivitas pemikiran-pemikiran keagamaanya—yang oleh murid-murid ideologis dari kaum Muhammadiyah—ia dinobatkan sebagai tokoh pendobrak konservatisme di organisasi warisan KH. Ahmad Dahlan itu.
Alhasil, Muktamar ke-43 di Banda Aceh tahun 1995, AR terpilih menjadi Ketua Umum PP. Muhammadiyah dan menandakan kemenangan “kelompok progresif” melawan kelompok “islam murni” berhaluan konservatif (baca, Burhani: 2014).
Kini, situasi tersebut berbanding terbalik. AR tidak memedulikan idealisme perjuangannya yang dibangun sejak lama. Yang penting bagi AR, dalam konteks politik, ia mencitrakan diri tampak beda dan berlawanan dengan arus merah, meski resikonya “ar-ruju’ ila koservatisme”, baik di internal Muhammadiyah maupun kelompok salafi-wahabi, HTI, FPI, dan lain-lain.
AR juga terkesan merusak citra dirinya sendiri. Seringkali melontarkan pernyataan-pernyataan ganjil dan kontroversial, yang jauh dari akal sehat AR, jika menilik pegalaman batin keagamaan dan politiknya, seperti dikotomi partai setan vs partai Allah, mengancam “jewer” Haedar Nashir agar mendukung langkah politiknya, menuduh rezim Jokowi memberi angin segar kebangkitan PKI, tidak cermat dan akhirnya ikut terjebak dalam pembenaran berita hoaks oleh Ratna Sarumpet, dan seterusnya.
Satu lagi, demi melawan lupa. Tahun 2014 AR pernah berkelakar janji akan jalan kaki dari Jogja menuju Jakarta jika Jokowi-Jk menang. Lalu bagaimana? Publik seolah memaklumi janji AR dalam kapasitasnya sebagai politikus, bukan tokoh agama. Dan AR bukan orang pertama yang menebar janji tapi nihil bukti. Biarlah itu menjadi urusan individu dengan internalisasi kepercayaannya kepada Tuhan.
Selamat milad Pak AR, semoga panjang, sehat, berkah, kembali lagi menjadi “bapak repformasi”.