Sedang Membaca
Ngaji Hikam: Manusia Kamar atau Manusia Sosial?
Ulil Abshar Abdalla
Penulis Kolom

Founder Ngaji Ihya Online, aktif menulis dan ceramah tentang pemikiran keagaman. Menulis beberapa buku, antara lain Menjadi Manusia Rohani (Alif.ID). Dosen Unusia, Jakarta.

Ngaji Hikam: Manusia Kamar atau Manusia Sosial?

Iradatuka al-tajrid ma’a iqamatillahi iyyaka fil asbab min al-syahwah al-khafiyyah/Wa iradatuka al-asbab ma’a iqamatillahi iyyaka fi al-tajrid inhitat ‘an al-himmah al-‘aliyyah.

Kehendakmu untuk tajrid (mengisolir diri, tidak melakukan usaha), sementara
Tuhan menempatkanmu pada maqam seorang yang harus berusaha, itu adalah
sebentuk syahwat atau kesenangan nafsu yang tersembunyi. Sebaliknya, kehendakmu
untuk ikut-ikutan berusaha, padahal Tuhan memberimu maqam
sebagai orang yang seharusnya tajrid, itu adalah sebentuk kemerosotan kelas.

Pengertian Umum
Manusia pada dasarnya ada dua jenis; ada manusia kamar, ada manusia sosial. Manusia kamar ialah manusia yang maqam atau posisi ontologisnya adalah sebagai pemikir, sebagai pengolah dan produsen ide-ide, sebagai pertapa yang menjaga kesucian diri. Manusia seperti ini bertugas seperti, istilah Arif Budiman dulu, “cendekiawan yang berumah di angin”.

Orang yang maqamnya seperti ini, tak akan memiliki passion atau kesenangan untuk terlibat dalam kehidupan sosial. Orang seperti ini oleh kalangan sufi disebut sebagai orang bermaqam tajrid.

Sebaliknya, ada orang yang maqamnya adalah “manusia sosial”. Tugas manusia seperti ini adalah hidup di tengah gebalau kehidupan sosial yang ramai, penuh dengan gelora perjuangan. Dia tak cocok untuk kehidupan kontemplatif seperti yang dijalani oleh manusia jenis pertama.

Ibnu Ataillah mempunyai istilah khusus untuk manusia jenis kedua ini. Yaitu, manusia-sebab, men/women of causes. Yakni: manusia yang tugasnya adalah berurusan dengan usaha yang melibatkan hukum sebab-akibat. Orang-orang ini harus bekerja, ikhtiar untuk mamayu hayuning bawana, jika mau memakai istilah dalam filsafat Jawa. Yaitu: memperindah dunia.

Baca juga:  Sabilus Salikin (179): Pembaiatan

Hannah Arendt, filsuf Yahudi itu, punya istilah yang agak-agak mirip. Ada dua jenis kehidupan, menurut dia — vita activa dan vita contemplativa. Yang pertama adalah kehidupan aktif: bekerja. Yang kedua adalah kehidupan kontemplatif: merenung, berpikir, meditasi, menyepi.

Masing-masing orang harus hidup sesuai dengan maqamnya. Orang yang mestinya bekerja tetapi menjalani kehidupan kontemplatif, dia sebetulnya tidak menjalani kehidupan yang mulia. Dia hanya mengikuti hawa nafsunya sendiri. Cuma, ini hawa nafsu yang lembut, tersembunyi. Bukan hawa nafsu yang terang-terangan seperti menghendaki kemewahan material.

Sebaliknya dia yang mestinya ada di maqam “manusia kamar”, tetapi ikut-ikutan terjun ke dalam vita activa, dia mengalami kemerosotan kelas.

Pengertian Khusus
Ini adalah pembahasan dalam ilmu tasawuf atau mistik yang sangat pelik. Seseorang yang masuk dalam kehidupan sufi, menikmati ketenangan batin di sana, biasanya menghadapi dilema ini: Apakah saya boleh tinggal dalam ketengangan batin ini, menjadi “manusia kamar” yang asyik? Ataukah saya tetap harus bergaul dengan masyarakat, bekerja bersama mereka?

Jawaban kaum sufi: Masing-masing orang punya maqamnya sendiri-sendiri. Ada orang yang maqamnya adalah tajrid, menjadi manusia kontemptalif-spiritualis; ada manusia-sebab yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Suatu hari, ada seseorang yang hendak menjalani kehidupan meditatif, menjadi sufi, lalu mendatangi sufi besar Mesir asal Murcia, Spanyol, Abu al-Abbas al-Mursi (w. 1287 M). Sebelum sempat dia mengatakan maksud kedatangannya, Syekh Mursi sudah mendahuluinya dengan sebuah pembicaraan yang isinya berikut ini.

Baca juga:  Menghayati Kidung Kematian Rumi

Beberapa hari sebelumnya, kata Syekh Mursi, ada seorang ahli ilmu-ilmu lahir (ilmu syariat) datang kepadaku. Dia sudah sedikit mencicipi ilmu batin, lalu memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai guru ilmu-ilmu lahir. Lalu aku berkata kepadanya: Bukan begitu caranya. Tetaplah kamu dalam posisi yang telah diberikan Tuhan kepadamu. Pengalaman mistik yang kami miliki akan bisa kamu capai dengan jalan yang kamu tempuh sekarang ini.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibnu Ataillah ini? Ialah bahwa masing-masing orang memiliki kelasnya masing-masing. Orang Hindu punya istilah “dharma”. Masing-masing orang punya dharma sendiri-sendiri. Orang harus hidup sesuai dengan dharma, maqam, dan kelas-kelasnya. Jangan menyalahi kodrat, kata orang-orang.

Setiap orang tahu, dalam hatinya yang terdalam, ada di maqam mana dia. Orang tak boleh iri pada maqam orang lain. Masing-masing orang, seperti dikatakan wali besar Syekh Abu al-Abbas al-Mursi itu, akan mencapai pengalaman kebahagiaan dan ketenangan batin melalui jalan dan maqam yang diberikan oleh Tuhan kepadanya.

Dengan kata lain, kebahagiaan bisa kita peroleh jika kita hidup sesuai dengan “the real self”, hakikat diri kita masing-masing. You are going to be happy when you become who you are.

Setidaknya, kita dapat memetik 3 buah pelajaran:
1. Setiap orang memiliki tempat atau maqam dalam hidupnya. Ada dua jenis maqam atau tempat bagi manusia dalam hidup ini. Ada maqam “tajrid”, artinya maqam menyendiri di kamar, melakukan ibadah, kontemplasi, melakukqan riset di kamar yang sunyi, melakukan pekerjaan yang sifatnya sunyi dan di kamar. Ada maqam sosial, yaitu maqam hidup di tengah masyarakat, membangun masyarakat dan kehidupan ramai.

Baca juga:  Adu Konsep Pemikiran Tentang Ego: Antara Sigmund Freud dan Al-Ghazali 

2. Orang akan bahagia jika hidup sesuai dengan maqamnya. Orang yang hidup tak sesuai maqamnya biasanya akan resah.

3. Orang yang maqamnya ada di maqam kontemplasi dan ibadah, tiba-tiba kemrungsung mau ikut dalam maqam sosial, maka itu adalah tindakan menurunkan kelas. Sebaliknya, orang yang maqamnya di kehidupan sosial, tetapi ikut-ikut di maqam kontemplasi, maka itu adalah tindakan orang malas!

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • Assalamu’alaikum Pak Kyai,

    langsung saja saya tidak pernah tenang bekerja dimanapun saya bekerja di perusahaan selalu berhenti dan tidak merasa nyaman, tapi ketika berzikir ada rasa nyaman. ada beberapa orang yang membaca bahwa posisi saya bukan di asbab tapi tajrid, akan tetapi rasional saya berpikir kalau saya tidak bekerja trus gmn nanti ekonomi keluarga saya sedangkan istri dan anak-anak masih kecil dan butuh biaya banyak, tinggal pun masih ngontrak.

    Saya paham saya masih sangat lemah imannya, mohon pencerahannya.

    terima kasih.

    hormat saya,
    isnaeni

Komentari

Scroll To Top