Tanah wakaf atau mewakafkan tanah merupakan salah satu bentuk melakukan kontra-inklusi supaya aset tidak mudah pindah tangan dan lenyap. Kebiasaan ini sudah bertahun-tahun dipraktekkan, sejak sahabat Umar bin Khattab pada saat mewakafkan sebidang tanah di Khaibar.
Pada waktu ada pembagian harta rampasan perang di Khaibar, beliau berkonsultasi kepada Rasulullah sAW. Kemudian beliau diperintahkan dengan kalimat:
“Pertahankan pokok asetnya dan sedekahkan manfaatnya!” Jawaban Rasulullah saw menunjukkan bahwa Kontra-Inklusi kepemilikan tanah penting dilakukan.
Dengan pendekatan ini pula, para ulama membagi ikrar wakaf menjadi dua. Pertama, wakaf ahli yakni mewakafkan benda untuk kemanfaatan seluas-luasnya bagi keluarga dan kerabat. Kedua, wakaf Khairi atau wakaf ‘ammy ialah mewakafkan benda untuk kepentingan kemaslahatan orang banyak.
Di Nusantara kedua jenis ikrar wakaf itu telah menjadi tradisi. Seperti di kalangan masyarakat Minangkabau ada sebutan harta pusaka tinggi yang pengelolaannya diwarisi secara turun temurun dan tidak boleh dijual belikan.
Demikian pula di Jawa ada sebutan tanah perdikan atau tanah yang diberikan raja dan sultan kepada tokoh agama seperti begawan, resi, kiai untuk kepentingan pengembangan agama dan kesusastraan. Karena asal-usulnya berasal dari “wakaf” raja dan sultan, maka kemudian hari kiai mempertegas status wakaf untuk masjid dan pesantren yang dikelola secara turun temurun oleh keluarganya.
Termasuk tanah bengkok, tanah Ulayat, tanah adat pada dasarnya menjadi kearifan lokal sebagai upaya kontra-inklusi tanah yang hanya diambil manfaatnya saja tanpa berpindah tangan dan dijual belikan. Hanya saja karena peruntukannya lebih umum maka tidak dimasukkan dalam benda wakaf untuk kemaslahatan agama.
Namun demikian, di luar sudut pandang penggunaan wakaf, penting ditarik benang merah spirit kontra-Inklusi pertanahan berbasis komunitas. Wakaf adalah bentuk kontra-inklusi berbasis komunitas agama, sebagaimana halnya tanah bengkok, ulayat, dan adat sebagai bentuk kontra-inklusi berbasis komunitas lainnya.
Bahkan perlu juga menghidupkan kembali wakaf sebagai strategi kontra-inklusi tanah berbasis keluarga. Tujuannya agar aset tanah keluarga tidak mengalami penyusutan dan dapat dinikmati oleh anak keturunan selanjutnya. Toh, praktek semacam ini sudah pernah dipraktekkan dalam wakaf ahli.
Sebagai upaya kontra-inklusi tanah berbasis keluarga, wakaf ahli tak perlu dianggap sebagai rintangan sistem kewarisan dan wasiat. Banyak negara yang semula mempraktekkan wakaf ahli tapi akhirnya menghapusnya dalam peraturan perundang-undangan, mereka menganggap wakaf ahli sebagai aturan yang tumpang tindih antara wakaf di satu sisi serta waris dan wasiat di sisi yang lain.
Bahkan wakaf ahli dianggap dapat memicu ketidakadilan dalam klan satu keluarga. Hal itu karena tolok ukurnya negara-negara Islam yang menganut sistem patriarki ketat. Tak dipungkiri kontra-inklusi tanah berbasis keluarga dalam sistem patriarki lama kelamaan memicu ketidakadilan.
Namun sebagai perbandingan, kita bisa melihat sistem tanah pusaka tinggi yang masih berlangsung di Minangkabau. Tradisi Wakaf ahli berbalut harta pusaka itu tetap berjalan baik dan tak memicu ketidakadilan karena dikelola secara matriarki. Inilah yang membedakan kelangsungan wakaf ahli di tengah masyarakat penganut kekerabatan patriarki dengan masyarakat penganut kekerabatan matriarki.
Begitu pula wakaf ahli tak akan memicu masalah ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat yang secara umum menganut kekerabatan bilateral (campuran patriarki dan matriarki). Buktinya adalah wakaf ahli yang berlaku secara sosiologis di tengah keluarga kiai pondok pesantren. Dikatakan demikian, sekalipun secara legal formal di Indonesia tidak diatur wakaf ahli akan tetapi wakaf umum yang dipraktekkan di dalam pesantren sebetulnya adalah wakaf ahli.
Kiai mewakafkan pesantren untuk dikelola sendiri oleh keluarga pesantren: Bukankah itu merupakan konsep wakaf ahli? Dus, tak ada kesenjangan dan ketidakadilan antara anak laki-laki dan anak perempuan dari keturunan kiai sebab mereka sama-sama mewarisi pengelolaan pesantren yang diwakafkan.
Ini satu bukti bahwa wakaf ahli sebagai langkah kontra-inklusi pertanahan masih relavan di Indonesia.