Sedang Membaca
Kiai Anwar Batang dan Kisah Ketika Nabi Sulaiman Ingin Menjamu Semua Hewan
Zaim Ahya
Penulis Kolom

Tinggal di Batang. Penulis lepas, owner kedai tak selesai, dan pengajar di PonPes TPI al-Hidayah.

Kiai Anwar Batang dan Kisah Ketika Nabi Sulaiman Ingin Menjamu Semua Hewan

Ada satu kisah menarik dalam kitab Aisyul Bahri yang dikutip Kiai Anwar Batang dari Imam al-Qusyairi.

Suatu ketika, Nabi Sulaiman meminta ijin kepada Allah Swt untuk menjamu seluruh hewan pada suatu hari. Nabi Sulaiman pun mengumpulkan makanan dalam rentang waktu yang lama.

Lalu Allah mengirim seekor ikan kepada Nabi Sulaiman. Tak disangka dan tak terduga, makanan yang telah dikumpulkan tersebut habis dilahap oleh ikan itu. Bahkan ikan tersebut meminta tambahan makanan. Begini kira-kira percakapan yang terjadi antara Nabi Sulaiman dan ikan itu:

“Persediaan makanan saya telah habis. Apakah tiap hari kamu menghabiskan makanan sebanyak ini? Jawab Nabi Sulaiman sekaligus bertanya.

“Tidak. Malah tiga kali lipat dari ini. Namun untuk hari ini Allah hanya memberi makan apa yang engkau kumpulkan. Mungkin engkau belum bisa dikatakan menjamu diriku dengan baik, karena aku masih merasa lapar, padahal aku adalah tamumu” jawab ikan tersebut.

Dalam kisah di atas, tulis Kiai Anwar, ada isyarat perihal sempurnanya kekuasaan Allah dan kuatnya kerajaan serta luasnya perbendaharaan-Nya. Bahkan selevel Nabi Sulaiman dengan besar dan kuatnya kerajaan yang diberikan Allah kepadanya, tak mampu mengenyangkan satu makhluk dari makhluk-makhluknya Allah. “Maha suci Dzat yang menanggung rezeki ciptaan-Nya” kiai Anwar memuji dan mengagungkan Allah.

Baca juga:  Mengapa Presiden Soekarno Dikagumi di Mesir?

Kiai Anwar lalu menulis, dalam kisah di atas juga ada makna simbolik (faidah lathifah) yang harus diperhatikan, bahwa yang menjadikan kenyang dan segar bukanlah makan dan minum, melainkan Allah menciptakan kenyang beriringan dengan memakan makanan dan begitu pula menciptakan segar beriringan dengan meminum air. Kenyang dan segar itu adalah ciptaan Allah.

Kata Kiai Anwar, “ini adalah mazhab ahli kebenaran (ahli al-haq). Jangan berpaling kepada yang lain.”

Makna simbolik yang diungkap oleh Kiai Anwar dari kisah Nabi Sulaiman di atas adalah khas teologi dalam tradisi kitab kuning atau Ahlussunah wal Jamaah. Dalam kitab-kitab tauhid yang diajarkan di pesantren, khususnya pembahasan sifat wahdaniyat. Kalau dicontohkan, kira-kira seperti ini: bukan api yang membakar tapi Allah. Namun walau begitu kita tidak serta merta lalu memasukkan tangan kita ke lingkaran api, karena Allah juga menyingkapkan biasanya Dia menciptakan api berbarengan dengan panas. Ini yang kemudian disebut sebab kebiasaan (sebab adhi).

Kalau ditarik dan dikaitkan dengan mutiara hikmah kitab al-Hikam yang pertama – yang dalam terjemahan penulis buku Manusia Rohani Ulil Absor Abdallah, “tanda seseorang bergantung pada amal dan karyanya adalah bahwa ia akan cenderung pesimis, kurang harapan mana kala mengalami kegagalan atau terpeleset” – dari kisah Nabi Sulaiman di atas kita bisa menimba hikmah, bahwa bukan berarti kita meninggalkan usaha untuk berbuat baik, namun kita sadar betul bahwa perbuatan baik kita dan kesuksesan kita semata-mata adalah anugerah Allah. Sehingga kalau-kalau kita mengalami kegagalan, alih-alih berputus asa, kita akan tetap berusaha (kasb).

Baca juga:  Gus Dur Guru Papua

Dalam buku Manusia Rohani dijelaskan, sebagai orang beriman sudah seharusnya rendah hati dan tak boleh sombong dengan amal atau berbuatan baiknya. Dengan kerendahhatian ini pula kita akan sehat secara mental.

Selain kisah Nabi Sulaiman di atas, kitab Aisyul Bahri masih memiliki beberapa kisah menarik. Sayangnya, data perihal Kiai Anwar Batang — seperti kapan beliau lahir, wafat dan letak makam beliau — belum ada titik terang. Cerita yang penulis dengar dari Kiai Dimyati Rois Kaliwungu, Kiai Anwar bersahabat dengan Kiai Nawawi Banten dan Kiai Kholil Bangkalan. Bahkan mereka pernah bertemu di Alas Roban tepatnya di rumah Kiai Anwar, melakukan istighasah. Kira-kira lima puluh tahun sebelum kemerdekaan.

Di sampul depan kitab Aisyul Bahri juga tertulis, bahwa Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Fakih Maskumambang memberi ijin atas dicetaknya kitab ini. Di halaman terakhir kitab yang terkenal dengan pembahasan hukum mengkonsumsi kepiting ini tertulis pula tanggal kitab ini selesai ditulis: 1339 H bertepatan dengan 1920 M.

Naskah terbaru kitab ini dicetak oleh Pondok Pesantren Darul Ulum Tragung Kandeman Batang asuhan Kiai Zainal Iroqi. Sedang naskah tertua banyak beredar di internet yang berupa scan dari kitab milik Kiai Basyir Jekulo Kudus.

Baca juga:  Gus Dur di Buku Kiai Saifuddin Zuhri

Baru-baru ini penulis menemukan di media sosial (akun Facebook Su Kakov) foto kitab Aisyul Bahri yang disinyalir masih tersimpan rapi di rumah Kiai Hasan salah satu keturunan Kiai Muntaha menantu Kiai Kholil Bangkalan. Di sampul kitab tersebut tertulis kalimat كتاب عجيب والله dan tulisan mirip tanda tangan محمد خليل yang menurut keterangan pemilik akun tersebut adalah tulisan Kiai Kholil Bangkalan.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
4
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
0
Terkejut
1
Scroll To Top