Sedang Membaca
Kisah Sufi Unik (38): Abi Israil dan Nazar yang Terlarang
Moh. Ali Rizqon MD
Penulis Kolom

Alumni Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Jurusan Tasawuf & Psikoterapi, dan Alumni Pondok Pesantren Annuqayah Latee.

Kisah Sufi Unik (38): Abi Israil dan Nazar yang Terlarang

Ilustrasi

Dalam kitab Shiyam wa Ramadh­­án, karangan Abdurrahman Hasan Hamkah al-Midani, ada cerita lucu dan menarik tentang seorang sahabat yang bernama Abi Israil. Cerita ini bermula dari nazar Abi Israil yang pada saat itu sedang berpuasa.

Nazarnya begini, “Ketika aku berpuasa, aku tidak mau duduk sedikit pun. Aku juga akan berdiam diri di bawah terik matahari, tidak berteduh, dan tidak pula mau berbicara dengan siapapun.”

Sepintas, nazar ini mungkin bisa dikatakan aneh dan lucu. Kenapa tidak? Abi Israil yang pada saat itu telah beragama Islam dan hidup di tengah-tengah Nabi, ia tetap menampakkan kelucuannya dalam melakukan nazarnya. Mungkin, spekulasi sementara penulis, Abi Israil adalah termasuk sahabat yang kurang begitu bergaul dengan orang-orang terdekat Nabi. Sehingga, pemahaman agamanya soal nazar pun sempat dilarang Nabi.

Sampailah pada waktu di mana Abi Israil melakukan nazar. Diceritakan, pada pagi-pagi betul, ia sudah keluar dari tempat kediamannya. Berdiri tegak di depan sathah­ (bahas Arab; halaman) rumahnya. Nazar mungkin dalam benak Abi Isroil adalah sesuatu yang wajib dipenuhi. Bahkan jika tidak, dosa lah yang menjadi sanksi bagi orang yang tidak memenuhi nazar tersebut.

Setelah setengah hari suntuk ia berjemur, Nabi melihat Abi Isroil tetap bediri tegak di depan rumahnya. Panas dan sengatan matahari begitu terasa dari kulit-kulit beliau. Mabuk keheranan tentu melintasi benak kelembutannya. Nabi bertanya, “Wahai Abi Israil, dengan apa kamu berdiri di depan rumahmu?”

Baca juga:  Ekspresi Sufistik dalam Puisi Tradisional Jawa (2): Ushul Suluk-Ngaji Ihya Ulumuddin di Era Walisongo

Abi Israil menjawab, “Wahai Nabi, Aku telah bernazar bahwa pada hari ini aku akan berpuasa dengan keadaan berdiri dan tidak mau duduk, berteduh, dan berbicara?”

Sontak Nabi melarang dan menegur prilaku nazar Abi Israil tersebut. Dengan rasa penyesalan, Abi Israil pun memenuhi teguran Junjungan Manusia tersebut.

Dalam keterangan yang diriwayatkan Abu Kharairah dan Ibnu Majah, bahwa tatkala Nabi berkhotbah, ia melihat seorang lelaki yang berdiri tegak dan tidak bergerak sedikit pun, Nabi pun menanyakan seorang lelaki tersebut. Sahabat pada saat itu manjawab: “Dia Abi Israil wahai Rasulullah, yang bernazar dengan berdiri di bawah terik matahari, tidak mau duduk, tidak ingin berteduh, dan tidak ingin berbicara!”

Jawaban para sahabat ini membuat kaget Rasul. Sampai-sampai dengan tegasnya ia menyuruh para sahabat untuk menyuruh Abi Israil duduk, berteduh, dan berbicara sebagaimana mestinya.

Dalam cerita ini dapat diambil kesimpulan bahwa nazar tidak sepenuhnya harus dilakukan oleh penazarnya. Tetapi dalam kasus-kasus tertentu, nazar boleh tidak dipenuhi manakala nazar tersebut dimungkinkan melahirkan kesesatan yang jelas-jelas menyimpang dari ajaran Tuhan, atau sebagaimana kasus Abi Isroil tersebut. Sebab kata Nabi:

مَنْ نَذَرَ أَنْ يُعْطٍيَ الله فَلْيُطِعْهُ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يُعْصِيْهِ فَلَا يُعْصِهِ

Barangsiapa yang bernazar untuk taat kepada Allah, maka penuhilah nazar tersebut, dan barang siapa yang bernazar untuk maksiat kepada-Nya, maka tinggalkanlah nazar tersebut.”

Dalam sebagian kitab klasik, Jumhur Ulama juga sepakat bahwa nazar adalah sesuatu kewajiban yang harus dipenuhi. Tetapi, apabila nazar  yang jika dipenuhinya akan membawa pada penyimpangan (kemaksiatan kepada norma-norma Agama) maka boleh hukumnya untuk tidak memenuhi nazar tersebut. Maka tentu cerita nazar Abu Isroil  ini adalah nazar yang boleh tidak dilakukan. Sebab hal tersebut mengandung penyiksaan fisik, atau kemaksiatan kepada Tuhan. Begitulah kira-kira keterangan dalam kitab as-Shiyam wa ar-Ramadhan.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top