Penulis Lepas/Pegiat Lingkar Diskusi Ekonomi Sembagi Arutala Surakarta dan Telapaksimak.com

Argentina 1985: Penegakan Hukum Tanpa Pandang Bulu

Argentina 1985

Pria berkacamata Rodenstock berkelir coklat duduk sendiri di ruang kerjanya. Dengan menggenakan jas double breasted buatan Eropa, pria itu menggapit sebatang rokok dan mengernyitkan dahi kemudian menghembuskan napas.  Radio masih menyala berujar berkali-kali asesinato en masa!, Radio dimatikan, pria itu beranjak dan melempit kertas kemudian mengatur rencana ajakan Bruzzo untuk bergerak.

Adalah Julio Caesar Strasers, seorang Jaksa yang berani memasang badan untuk para korban pembunuhan, dan kesewenang-wenengan Jorege Videla yang membumbui belatinya untuk membunuh dengan atas nama nasionalisma. Strasera bisa dibilang sebagai pemeran utama dalam film Argentina 1985 garapan Santiago Mitre yang sudah tayang dua tahun lalu.

Film dengan durasi dua jam dua puluh menit itu cukup menarik bagi pecinta film bergenre sejarah. Rentetan cerita pada film tersebut menjelentrehkan fakta-fakta menarik mengenai bangsa Argentina yang pernah dipimpin rezim militer alhasil melahirkan bunyi-bunyian semangat liberte untuk memeluk demokrasi. Hanya satu yang dapat membebaskan mereka. Adalah keberanian yang menyala walaupun timah panas bisa sewaktu-waktu menghampiri mereka.

Kekalahan Argentina dalam pertempuran Falkland (1982), berakibat rakyat marah besar. Harga diri berupa nasionalisme seperti sedang diinjak-injak alhasil mereka meletup dan pecah. Tak hanya itu, paska kekalahan, negeri itu dihantam oleh penyakit Inflasi yang amat tinggi, sehingga perut yang lapar merubah rakyat Argentina menjadi benar-benar berang, ditengah manifesto ‘pembabatan’, penghilangan paksa terjadi secara terstruktur dan sistemik.

Syahdan gerakan seperti Kelompok pro demokrasi menyeruak melakukan kritik kepada rezim militer. Kelompok militer membalasnya dengan penangkapan, penyiksaan bahkan pembunuhan. Situasi semakin pelik, kebenaran alhasil yang berbicara.

Baca juga:  Cengkraman Feodalisme: Demokrasi Indonesia, Demokrasi Cacat

Tahun 1982 adalah tahun kelam bagi kekuasaan militer Argentina. Plaza De Mayo yang berlokasi di ibu kota Buenos Aires dirubung banyak demonstran. Berbagai macam spanduk berbahasa spanyol, menuntut agar presiden Bignone dan kroni-kroninya mundur. Beberapa korban kebengisan berani untuk berbicara. Mereka mulai melayangkan semangat demokrasi untuk mengadili Roberto Viola, Jorge Videla dan kroni-kroninya.

Walaupun tak menggambarkan dengan begitu detil dinamika sejarah mulai dari Peron, Jorge Videla, Roberto Viola, Galitieri, Raul Alfonsin, hingga penyebab kelompok pro demokrasi dibasmi, namun film itu begitu memikat dan memahamkan bagaimana proses perjuangan demokrasi perlu dilakukan begitu gigih.

Julio Strasera ditemani oleh beberapa rekan kerjanya yang baru, pemudi-pemuda pemberani yang direkrutnya, mengumpulkan data guna memperkuat pembelaan kepada korban di pengadilan. Luis Morena Ocampos, salah satu rekan Strassera untuk menemani dia menyukseskan proses peradilan para jenderal-jenderal itu.

Luis Morena Ocampos dkk turun ke lapangan untuk menghimpun data. Strasera begitu kaget lantara pemuda-pemudi yang idealis itu, mampu bekerja dengan baik dan gigih. Kumpulan data yang dihimpun sampai satu keranjang troli itu didapatkan dari para korban yang bersedia membuka nasib kelamnya ditekuk otoritarian.

Hasil laporan yang dikumpulkan oleh Ocampos dkk diterima di persidangan. Para korban bersaksi agar lebih jelas membeberkan di muka peradilan. Seantero Argentina bergetar, menyaksikan pengakuan bahwa rezim Jorge Videla adalah rezim terkejam dengan membunuh dan menghilangkan sebanyak sembilan ribu orang lebih.

Pada April-Agustus 1984, setelah Alfonsin mengetuk palu untuk mengembalikan hukum dan kewarasan sebagai petunjuk menyelenggarakan negara yang demokratis, kurang lebih 1.000 saksi membeberkan bukti-bukti menyeramkan. Mereka berbicara tentang pemerkosaan, penyiksaan, terhadap para remaja dan wanita hamil, tak terkecuali orang-orang cacat. Sebagian besar mereka disekap di sebuah sekolah teknik milik Angkatan Laut yang terletak di pusat kota Buenos Aires.

Baca juga:  Ingar Bingar Pilpres 2024: Jangan Berlebih-lebihan

Sebelum sidang pamungkas yang dihelat pada Desember 1985, pengakuan paling mengiris dipertontonkan. Perempuan bondol mengenakan jaket berwarna coklat berambut pirang menyampaikan pengalaman buruknya disiksa oleh rezim otoriter lantaran dituduh berafiliasi dengan kelompok kiri. Ia hanya seorang perempuan yang berjuang menghidupi keluarganya yang dihantam oleh harga bahan pokok yang tak terjangkau. Padahal waktu itu, ia sedang hamil anak pertama, harus berurusan dengan sepakan, pukulan, yang membuat dirinya muntah-muntah.

Sebuah Tantangan

Alfonsin dalam medio 1983 sampai selanjutnya jadi peletup semangat demokrasi di Amerika Latin seperti di Chile dan Brazil. Tak hanya itu, goyangnya rezim otoriter di Argentina membuat rezim militer di Peru dan Bolivia menyeruak melakukan kudeta mempertahankan tajinya. (Huntington, 1995).

Dalam film tersebut sedikit sekali memunculkan nama Alfonsin. Padahal, Alfonsin bisa dibilang sebagai presiden dari kalangan sipil lewat Partai Persatuan Sipil yang menggantikan Reynaldo Bignone dari kelompok militer. Alfonsin mahir dalam berpolitik. Disamping sisi memperjuangkan demokrasi total di tangan rakyat, sisi lainnya ia harus juga mengatur gejolak militer yang bisa-bisa melakukan kudeta dan menjungkirbalikkannya.

Melalui Raul Alfonsin demokrasi dan peradilan para jenderal dapat terealisasi. Alfonsin bukan hanya mengakui kebengisan yang telah terjadi, akan tetapi juga menegakkan hukum membawanya ke peradilan. Pada Desember 1985, riuh hiruk pikuk rakyat Argentina beberapa berbahagia, dan sebagian merasa kecewa dengan hasil tuntutan. Hukuman yang bervariatif dan terbilang tak setimpal dengan apa yang telah dilakukannya membuat para korban ingin mengajukan banding.

Baca juga:  Tahun Politik: Menguji Netralitas PBNU

Syahdan, Javier Strassera anak bungsu dari Julio Strassera tak sengaja menyaksikan pemimpin sidang itu sedang asik menikmati roti dan melakukan lobi licik. Julio yang terbilang masih bocah menyampaikannya kepada rekan kerja ayahnya. Anak suruh dari beberapa jenderal yang diadili berbincang dan diakhiri dengan penulisan tanda tangan. Keesokan harinya muncul putusan vonis yang kurang memuaskan.

Jorge Videla dan Emilio Massera dihukum seumur hidup, Roberto Viola divonis 17 tahun penjara, Armando Lambruschini dijatuhi hukuman delapan tahun, dan Orlando Agosti hanya empat setengah tahun. Satu sisi film itu bisa diraba berakhir dengan bahagia bila konteksnya waktunya adalah 1985.

Buku anggitan Samuel P. Huntington berjudul Gelombang Demokratisasi Ketiga (Penerbit Grafiti, 1995), membeberkan lebih dalam perjuangan Rakyat Argentina menegakkan hukum dan demokrasi. Alfonsin diserbu kelompok militer satu tahun setelah vonis para jenderal, lantaran para korban bertambah, ingin mereka para jenderal bermasalah kudu diadili. Sedangkan para jenderal itu juga tak ingin luluh atau kalah, mereka juga membalasnya dengan memberontak Alfonsin.

Kendati demikian, setelah menonton Argentina 1985, seyogianya bisa mencari tahu lebih dalam melalui diktat sampai kliping agar sadar bahwa penegakan hukum itu tidak mudah. Perlu penyuluh lintas generasi kepada anak cucu esok, bahwa penjahat bisa berubah menjadi kucing yang lucu, persis seperti Carlos Menem (1989) dari kelompok Peronis yang akhirnya mengobrak-abrik usaha Alfonsin. Sekian.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top