pagi tiba tak terdengar,”Di mana kita?”/masing-masing mulai kembali berkelana/cinta yang menyusur jejak Cinta/yang pada kita tak habis-habisnya menerka (SDD, “Pagi”, 2000: 13)
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, Sapardi pergi (sesungguhnya, ia tak pernah mati) meninggalkan puisi-puisi. Gading atau belang merupakan penanda berharga yang senantiasa diingat orang dari hewan raksasa dan satwa pencakar mangsa; sementara Sapardi hanyalah manusia biasa yang tak punya penanda lain kecuali nama dan karya—dua hal yang secara signifikan melekat abadi pada puisi-puisi yang ia tinggalkan.
Lewat puisi-puisinya kita mengingat dan kemudian mengenang, ketika terkabar penyair menjelang 81 tahun itu pergi meninggalkan kita semua. Pada Minggu pagi yang tenang, saat pandemi covid-19 belum reda, 19 Juli 2020. Bersisian dengan Juni yang identik sebagai bulan “milik”-nya, lewat sebutan yang dikenal luas: Hujan Bulan Juni. Sebagai mana banyak ungkapannya yang khas: “yang fana adalah waktu, kita abadi”, “aku ingin mencintaimu dengan sederhana”, “betapa sengit cinta kita”, “dukaMu abadi”, “mata pisau” dan “Tuan Tuhan, bukan?”
Kabar duka pagi itu saya dapatkan dari penyair IDK Raka Kusuma (Amlapura) lewat whatsapp. Segera saya lihat linimasa media sosial yang ternyata telah ramai oleh kabar serupa. Sejenak saya teringat seorang sastrawan lain, Ahmad Tohari. Sehari setelah Sapardi Djoko Damono masuk rumah sakit, Pak Tohari menelepon saya menanyakan kondisi terakhir sang penyair. Saya bukan orang yang dekat dengan penyair dimaksud, maka saya hanya dapat mengumpulkan informasi umum di berita-berita online, dan itu saya kabarkan ulang kepada Pak Tohari.
Pak Tohari mengajak saya mendoakan kesehatan Pak Sapardi. Ketika akhirnya pagi itu—kurang dari sepekan ia menelepon—saya kabarkan Sapardi sudah pergi meninggalkan kita semua, Pak Tohari menyatakan duka cita, doa dan apresiasinya. Hal ini sengaja saya ceritakan untuk memperlihatkan bentuk solidaritas dan kepedulian generasi tua, dan perlu diteladani bersama.
Jurnal Sastra
Saya sempat berjumpa beberapa kali dengan penyair Sapardi Djoko Damono, meski hanya perjumpaan biasa yang lazim ia lakukan dengan begitu banyak orang. Tapi bagi saya itu perjumpaan kecil yang cukup istimewa. Setidaknya ada tiga perjumpaan yang membuat saya berkesan.
Pertama, perjumpaan di Teater Utan Kayu, Jakarta, ketika saya diundang menerima Sih Award Jurnal Puisi, 2004. Ini adalah anugerah tahunan yang diberikan kepada puisi terbaik yang dimuat di Jurnal Puisi yang dikelola Sapardi. Apresiasi itu secara jujur diumumkan di box redaksinya bahwa “pada akhir tahun penerbitan, Jurnal Puisi akan meminta bantuan sebuah dewan penilai, di luar dewan redaksi, yang menentukan sajak-sajak terbaik untuk diberi penghargaan. Jurnal Puisi memohon maaf untuk sementara ini belum dapat memberikan honorarium untuk puisi dan tulisan yang dimuat.”
Entah pada penerbitan keberapa, saya ketiban sampur menerima anugrah tersebut. Selain acara penghargaan itu sendiri yang berkesan, kesan mendalam adalah pertemuan saya dengan Sapardi dalam kapasitas sebagai sama-sama pengelola jurnal sastra. Jurnal Puisi dikelola Sapardi dkk. (antara lain bersama Joko Pinurbo sebagai Redaktur Pelaksana, Ibnu Wahyudi, Sunu Wasono, Iwan Fridolin, dan lain-lain), sedangkan Jurnal Cerpen saya kelola antara lain bersama Joni Ariadinata, Amien Wangsitalaja, Satmoko Budi Santoso, Ahmad Tohari dan Musthofa W. Hasyim.
Dalam kesempatan tersebut, Joni Ariadinata juga hadir sehingga perjumpaan itu kami gunakan bertukar pikiran tentang tak mudahnya mengelola jurnal sastra di negeri yang berpenduduk ratusan juta ini. Di samping tak mudah menjaring pembaca, juga alangkah sukar mendapatkan sponsor. Kami di Jurnal Cerpen sedikit beruntung bisa bekerjasama dengan sejumlah penerbit di Yogyakarta, yakni penerbit Bentang Budaya milik Buldanul Khuri, dan kemudian penerbit Logung milik Arief Fauzi Marzuki. Pihak penerbit bertanggung jawab menerbitkan (baca: mencetaknya), sementara bahan-bahan cerpen berasal dari kami, termasuk bantingan untuk membayar honorarioum penulis.
Ada pun Jurnal Puisi diuntungkan oleh persahabatan dekat Sapardi dengan pelukis Jeihan. Konon sang pelukislah yang menanggung sebagian biaya penerbitan dan memberi hadiah penghargaan. Jurnal Puisi juga sempat bekerja sama dengan Bentang Budaya. Di tengah kesulitan ada kemudahan, itu sesuatu yang pantas disyukuri. Meski dalam konteks kerjasama kami dengan dua penerbit tersebut, hanya bertahan berapa edisi. Bentang pailit dan diambilalih Mizan, Logung oleng. Maka kami pun menerbitkan dan mencetak sendiri Jurnal Cerpen, yang otomatis menambah beban, namun sekaligus menambah pengalaman.
Meski sulit, kami berharap jurnal yang dicetak paling banyak 1000 eksmplar itu mudah-mudahan jatuh di pihak yang tepat. Tentu saya banyak belajar dari Sapardi, yang saya tahu sudah malang-melintang dalam jagad keredaksian sejumlah terbitan. Selain Ketua Redaksi Jurnal Puisi, ia juga terlibat dalam keredaksian majalah Basis, Tenggara (Kualalumpur), Indonesia Circle (London), Horison dan Kalam.
Ia juga pernah menyempal dari Horison pimpinan Taufiq Ismail, dan membuat Horison versi baru bersama Goenawan Mohammad. Meski hanya terbit satu edisi, tapi menurut saya itu sangat menyegarkan di tengah masifnya Horison gaya lama. Ia menerjemahkan puisi penyair pemenang Nobel dari Karibia, Derek Walcott yang sangat mempesona (kita tahu, terjemahan adalah ladang-amal-bakti Sapardi yang lain; di samping esei, penjurian, penyuntingan dan pemrasaran yang luar biasa banyaknya).
Hari Sastra
Kami bertemu lagi di Balai Sudjatmoko Solo, 28 April 2009, dalam acara memperingati wafatnya penyair Chairil Anwar. Saya diminta memprolog “Ngobrol Bareng Sapardi Djoko Damono” tentang penting tidaknya Hari Sastra Nasional (HSN). Dalam kesempatan tersebut, Sapardi juga meluncurkan buku puisinya “Kolam”.
Dalam prolog tersebut, selain membuat pernyataan “formal” tentang pentingnya Hari Sastra, sebenarnya saya juga menyatakan secara “cair” bahwa pertama-tama, bagi kreator, ada tidak ada hari sastra, proses kreatif jalan terus. Bahkan hari sastra bisa diciptakan sendiri oleh personal atau komunitas dalam membangun basis dan iklim kreativitasnya. Namun, di luar itu, secara nasional hari sastra dibutuhkan untuk mendorong keterlibatan dan perhatian pemerintah dalam memperlakukan hasil karya sastrawan, antara lain menyebarluaskan buku-buku sastra di sekolah-sekolah, subsidi penerbitan buku sastra, menghapus pajak buku dan pajak kertas, dan lain-lain.
Sapardi mengatakan lebih kurang sama bahwa hari sastra itu bisa penting dan tidak penting. Di satu sisi mungkin HSN diperlukan, tetapi jangan menjadi kegiatan rutin, apalagi sekadar serimonial. Di sisi lain, Sapardi menekankan bahwa pendidikan sastra paling efektif adalah dengan menyodorkan sebanyak mungkin karya sastra kepada anak didik, bukan dengan terori sastra.
“Berikan mereka buku-buku sastra untuk dibaca, apa saja,” kata Sapardi yang mengaku tidak khawatir akan kecenderungan remaja sekarang yang lebih suka membaca komik—dan lebih mutakhir lagi, mungkin bermain gadget. Menurut Sapardi, kesalahan dalam pendidikan sastra, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi, adalah terlalu banyak memberikan teori (Kompas, Rabu, 29 April 2009: 12).
Sekarang, secara “de facto” ada dua hari sastra di negeri ini: yakni Hari Sastra yang “diproklamirkan” Taufiq Ismail dkk., dengan mengambil hari lahir Abdul Muis, dan Hari Puisi Nasional yang “diproklamirkan” Rida K. Liamsi dkk., dengan mengambil hari lahir Chairil Anwar. Hari Sastra, lama tak terdengar kabarnya, dan Hari Puisi mendapat perayaan cukup luas. Saya sendiri mengapresiasi Hari Puisi, meski saya berpendapat akan lebih tepat merujuk hari wafatnya Chairil sebab itu puncak pergulatan sang “Binatang Jalang” tersebut. Selain itu, 28 April, setiap tahun, tanpa komando telah lama dirayakan sebagai hari sastra di kampus-kampus dan komunitas sastra.
Entah apa pula pendapat Sapardi Djoko Damono jika belakangan ia ditanya tentang Hari Sastra. Tapi saya bayangkan, ia juga akan bersikap “ringan”. Dari pertemuan saya di Solo dulu, sikap ringan dan terbuka Sapardi sangat terasa, hal yang membuatnya bisa masuk dan diterima di mana-mana, terutama kalangan muda. Ia tak pernah memperumit masalah, sekalipun ia memiliki kapasitas untuk “ngilmiah” sehubungan dengan kepakarannya secara akademik sebagai guru besar sastra Indonesia di UI.
Heboh Puisi tanpa Kriteria
Sikap bersahabat, sederhana dan tidak “jaim”, makin saya buktikan dalam pertemuan saya yang ketiga dengannya. Ketika Penerbit Akar Indonesia yang saya kelola mendiskusikan buku puisi Abdul Kadir Ibrahim, Nadi Hang Tuah, di Taman Budaya Yogyakarta, 2010, kami mengundang Sapardi Djoko Damono dan Al Azhar sebagai pembicara. Sapardi juga memberi pengantar dalam buku tersebut.
Sebagai undangan pembicara, Sapardi sangat tidak merepotkan; kami tempatkan ia di hotel kecil di bilangan Prawirotaman, dan benar-benar semuanya ia buat nyaman, mudah dan lancar. Selesai acara, kami ingin mengajaknya sedikit begadang dan makan-makan, namun ia dengan halus menolak. Ia langsung pulang ke hotel, setelah minta dibungkuskan nasi Padang.
Kadang saya berpikir, jangan-jangan sikap “ringan” untuk bekerjasama dengan siapa saja membuatnya tak semata masuk ke pihak yang benar-benar tulus. Setidaknya membuatnya tak mudah menolak sebuah tawaran sepanjang itu berhubungan dengan kesusasteraan. Hal ini, disadari atau tidak, ada yang menyeretnya sedemikian jauh sebagai simbol populis dalam sastra, alih-alih populer. Atas nama memasyarakatkan sastralah, sosok yang dekat dengan kaum miliniallah, dan seterusnya.
Sejalan dengan itu, ia pun membangun “demokratisasi” sastra dengan cara yang bagi sebagian pihak kadang menganggap tak sepenuhnya kaffah. Misalnya, pernyataannya tentang puisi tanpa kaidah yang sempat heboh beberapa waktu lalu. Keheboan itu tentu saja bukti perhatian orang pada sastra, lebih khusus perhatian orang pada Sapardi, dan bisa jadi secara apologi itu taktik sang penyair membangunkan kritik sastra yang sedang mati suri. Tapi itu tak pas didiskusikan sekarang, karena kita sedang berduka, sebab;
telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak sepi
di tengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun menanti
barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana
dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama.
(SDD, “Aku Tengah Menantimu”, 2000: 9)