Sedang Membaca
Ateisme: Dari Tren, Jadi Brand
Hikmat Darmawan
Penulis Kolom

Terpilih sebagai salah satu Asian Public Intellectual dalam program Nippon Foundation pada 2010, dan meneliti globalisasi subkultur manga di Jepang, Thailand, Indonesia. Salah satu kurator di Frankfurt Book Fair 2015, Europalia 2017, dan London Book Fair 2019. Ketua Komite Film DKJ 2016-2020. Bukunya yang terakhir adalah Sebulan Di Negeri Manga (Gramedia, 2019). Kini adalah direktur kreatif Pabrikultur dan anggota Sahabat Seni Nusantara.

Ateisme: Dari Tren, Jadi Brand

Img 20200701 Wa0011~2

Menganut New Atheist atau “Ateis Baru” adalah sebuah mode, tak hanya di kalangan tertentu (biasanya, dari kalangan kelas menengah kota besar) di Indonesia. Jika kita menilik diskursus mereka yang mendaku membaca, mengagumi, atau memuji (untuk tak bilang memuja) “gerakan” Ateis Baru, yang selalu muncul adalah nama-nama seperti Richard Dawkins, Christopher Hitchens, Sam Harris, dan Daniel Dennett, dan belakangan tersebut juga Neil deGrasse Tyson dan Yuval Noah Harari. Seiring dengan pemujaan atas nama-nama itu, belakangan ini muncul juga istilah-istilah kunci seperti “agama sudah mati” dan “filsafat sudah mati”.

Filsafat? Rupanya, sikap agresif para pemuja gerakan Ateis Baru itu sudah tak lagi hanya menyerang keabsahan agama dalam dunia modern kini. Filsafat pun dianggap tak berguna, tak mampu menjawab masalah-masalah penting masa kini, seperti bagaimana menghadapi Pandemi Covid-19. Kata mereka, hanya sains yang bisa menjawab segalanya.

Tentu saja diskursus semacam itu mendapatkan reaksi keras baik dari kelompok yang masih melihat agama tak bisa dinihilkan perannya dalam kemodernan Indonesia. Juga, dari mereka yang percaya bahwa filsafat tidak secupat yang dibayangkan oleh kelompok pemuja Ateis Baru itu (“pemuja”, karena belum tercatat ada yang terang-terangan menganut Ateisme di Indonesia hingga, misalnya, bersikeras mencantumkan status itu di kolom agama KTP). 

Saya enggan masuk ke dalam perdebatan yang terasa buat saya lebih banyak unsur klangenan itu –walau menghargai kesungguhan perdebatan itu telah membuat banyak orang sadar bahwa media sosial bisa jadi wahana pengetahuan yang serius. Yang menarik buat saya adalah bahwa dalam dua dekade, kegaduhan tentang kelompok Ateis Baru ini mengalami pasang surut dengan poros tematik yang praktis itu-itu saja, dan belum banyak yang mengulas aspek sosial-ekonomi dari perdebatan itu.

Dawkins, Hitchens, Harris, dan Dennett sangat agresif (dan laris) di periode kepresidenan (2001-2009) George Bush, Jr. Mereka disebut sebagai “Four Horsemen”, Empat Penunggang Kuda, sebuah alusi pada mitos kedatangan empat penunggang kuda yang membawa kehancuran dalam perang akhir zaman menjelang hari kiamat dalam mitologi Kristen di Barat.

Mereka aktif dalam dunia pasca-9/11, ketika politik luar negeri AS terfokus pada “musuh tatanan dunia global” yang terdefinisikan dengan jelas: “teroris Islam”. Suara keempat Atheis yang agresif dianggap relevan untuk menghadang suara kaum Jihadis yang saat itu tampak muncul di mana-mana. Jika era kepemimpinan Bush lekat dengan tema “war on terror”, krisis ekonomi dunia di era Obama tak lagi bisa dijelaskan oleh tema perang demikian. Tema multikulturalisme, misalnya, lebih mewarnai diskursus publik di AS. 

Tulisan dalam Thepointmag.com berjudul What Was The New Atheism? dari Jacob Hamburger adalah salah satu yang mengangkat konteks sosial-politik Ateisme Baru dengan corak kepemimpinan Bush. Tulisan itu bahkan dimulai dengan pernyataan, bahwa pada 2014, banyak orang Amerika sudah lupa apa itu Ateisme Baru. Salah satu aspek menarik dari keterkaitan Ateisme Baru dan langgam politik Bush adalah kecenderungan rasis keempat penunggang kuda Atheis Baru itu terhadap kelompok muslim di AS maupun di dunia. Hal ini diulas lebih jauh, antara lain, dalam tulisan Jeff Sparrow, We Can Save Atheism from The New Atheist Like Richard Dawkins and Sam Harris dalam TheGuardian.com. 

Sedemikian kontraproduktifnya gaya hiper-agresif diskursus ala Dawkins dan Harris, sehingga sesama ateis pun menganggap mereka perlu disanggah. Maka, menarik juga ketika nama-nama itu masih disebut dengan nada positif oleh beberapa cendekiawan Indonesia di Facebook baru-baru ini. Menarik juga, menelusuri kegandrungan terhadap Ateisme Baru itu sejak era ketika mereka masih suatu “kebaharuan”. 

Ketika Bacaan Atheisme Baru Masih Baru

Kamis malam, 20 September 2007, sebuah rumah dengan pengaruh arsitektur Indies yang resik tampak ramai. Acara buka puasa. Tapi mungkin ada yang ganjil bagi sebagian orang di sini. Acara buka puasa itu juga dimeriahkan sebuah diskusi membedah tiga buku yang sedang laris di Amerika: God Delusions (Richard Dawkins), God Is Not Great (Christopher Hitchens), dan Letters to Christian Nation (Sam Harris –yang masih hangat dibincang publik Amerika karena bukunya yang lebih laris lagi, The End of Faith). Benar, diskusi Ramadan di rumah itu menguar tema atheisme –tapi tak dengan nada menghujat. Rumah itu adalah markas Freedom Institute.

Pembicara malam itu: Rizal Mallarangeng, yang juga pimpinan Freedom Institute; Goenawan Mohamad, penyair dan salah satu esais paling berpengaruh di Indonesia selama dan sesudah Orde Baru; dan Luthfi Assyaukanie, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Dalam sessi tanya jawab, seorang lelaki tinggi, pucat, dan bertampang Arab, dengan bersemangat  urun komentar.

Ia, Hamid Basyaib, awak Freedom Institute dan aktivis JIL juga, membahas buku Sam Harris. Ia mengangkat satu contoh, isu steam cell research yang jadi kontroversi di Amerika. Setelah ia sedikit menerangkan uraian Sam Harris tentang riset itu, Hamid bilang, “Sam Harris cuma mau bilang, itu kaum agamawan ini, mereka jangan sok tahu …jangan asal bicara untuk hal-hal yang mereka tak tahu.” Hamid menekankan hal serupa untuk Indonesia.

Inilah  yang mungkin ganjil bagi banyak orang di sini: diskusi tiga buku yang secara agresif menyerang (semua) agama dan mempromosikan ateisme dalam nada positif terhadap kehadiran buku itu,  persis setelah buka puasa. 

Hanya Goenawan Mohamad yang sangat kritis terhadap ateisme secara umum, dengan pendekatan kultural-filosofisnya. Rizal, walau tak sepenuhnya sepakat dengan isi ketiga buku itu, memuji kehadiran buku-buku sejenis yang bisa memberi “penyegaran” dan membantu kita kritis dalam keberagamaan kita. Rizal dengan jitu menekankan fakta bahwa ketiga buku itu laris, berarti memang penting (untuk dibicarakan). Luthfi sama sekali tak menampakkan kesadaran kritis terhadap buku-buku ini, ia hanya memuji-muji (terutama) kritik-kritik Dawkins terhadap teologi. Ada antusiasme di situ, terhadap tawaran sains ala Dawkins untuk menggusur agama; sebagaimana ada antusiasme pula dalam pengungkapan masalah stem cell research itu oleh Hamid.

Namun, antusiasme itu perlu kita soroti dengan lebih tenang dan hati-hati. Bagaimana pun, selalu ada konteks dalam setiap pemahaman. Ketika sebuah pemahaman dipaksakan untuk mengabaikan konteks yang nyata ada –konflik yang terjadi mungkin malah kontraproduktif. Mengangkat kasus stem cell research untuk menyimpulkan kaum agamawan harus dibatasi di Indonesia, misalnya, sama saja memaksakan konteks Amerika untuk persoalan Indonesia. Mungkin bagi Hamid atau Luthfi, konteks Amerika itu sungguh nyata. 

Dalam uraiannya malam itu, Rizal dan juga Luthfi bercerita tentang betapa mudahnya menemukan buku-buku yang mereka bahas itu di gerai-gerai buku bandara berbagai kota dunia yang mereka temui. Tanpa sadar, mereka menampakkan sebuah konteks kelas sosial-ekonomi yang jauh berbeda dengan kebanyakan orang Indonesia yang barangkali berada di posisi berseberangan dalam hal peran kaum agamawan dalam masyarakat Indonesia. Hamid dan Luthfi bicara tentang stem cell research, sedang kebanyakan orang Indonesia masih dibingungkan soal lumpur Lapindo, bencana alam, merajalelanya narkoba, dan segala pelik soal dunia ketiga dalam keseharian mereka. 

Teori Evolusi sebagai Perang Kultural

Steam cell research adalah salah satu isu besar dalam sesuatu yang dinamakan sebagai “perang kultural” di Amerika dan Eropa. Majalah The Economist edisi 3-9 November 2007 yang menurunkan sebuah laporan khusus mengenai “The new wars of religion” menyebutkan juga isu aborsi, pernikahan kaum gay, dan euthanasia sebagai isu-isu perang kultural kontemporer. 

The Economist mencatat bahwa isu-isu ini perlahan menjadi isu global, karena mulai muncul di berbagai belahan bumi saat ini. Namun majalah ini juga mencatat bahwa isu-isu ini diekspor dari Amerika, sebagaimana isu lain yang lebih kita akrabi di sini: sekularisme atau sekularisasi lembaga-lembaga politik dan sosial.

Berdasarkan catatan The Economist, perang kultural ini memang sering problematis. Misalnya, para hakim dan politisi berpikiran liberal dari Colombia hingga Afrika Selatan mencoba melegalkan pernikahan gay. Walau langkah ini mengagumkan dalam pandangan The Economist, namun seringkali tak mencerminkan pandangan kaum kebanyakan di negara mereka sendiri. 

Isu stem cell research menguat di publik awam Amerika selama beberapa tahun ini. Pemerintahan Bush, atas dasar pertimbangan keagamaan, berupaya melarang riset ini. Pelarangan ini menimbulkan amarah komunitas sains maupun sebagian masyarakat Amerika karena riset ini memberi secercah harapan pada penyembuhan kanker. Ketika Michael J. Fox, yang menderita penyakit Alzheimer, dilecehkan secara publik oleh seorang pejabat pemerintah karena mendukung stem cell research, ia mendapat simpati luas –demikian juga isu pelarangan riset ini mencapai tingkat emosional tinggi di Amerika. 

Dalam kasus ini di Amerika, tampak bahwa segi kultural berjalin kuat dengan segi sains dan ekonomi. Memang, inilah tiga buah medan “perang” yang disebut The Economist dalam laporan khusus itu. Steam cell research menjadi perang kultural karena terjadi perebutan keras di wilayah publik mengenai nilai-nilai yang mendasari kedua belah pihak yang berlawanan itu: apakah agama bisa menjadi landasan keputusan politik, apalagi jika keputusan itu menyangkut isu sains-medis? Isu ini juga jadi perang ekonomi, karena riset ini menyangkut alokasi dana berjuta-juta dollar untuk penelitian dan pengembangannya. Bahkan, ada juga segi bisnisnya: industri kesehatan sudah membidik untung besar jika riset ini berhasil.

Perang kultural, sains, dan ekonomi yang juga keras di Amerika juga menyangkut berbagai segi teori evolusi. Sejak Edward O. Wilson mengumumkan kesimpulannya tentang sosio-biologi pada 1960-an, setelah penelitiannya terhadap semut selama belasan tahun, kontroversi teori evolusi menyeruak kembali ke dalam kesadaran publik Amerika. Tesis sosio-biologi menyatakan bahwa unsur biologi menentukan tata perilaku sosial segala makhluk, termasuk manusia. 

Sosio-biologi sebetulnya punya nama buruk semenjak Hitler dan anak buahnya mencoba bereksperimen dalam naungan keyakinan superioritas bangsa Aryan. Dalam pandangan Hitler, unsur biologi menentukan kelas sosial. Bangsa Aryan lebih superior dari bangsa mana pun, apalagi dari bangsa Yahudi, dan karenanya punya hak untuk memimpin bangsa lain, kalau perlu dengan kekerasan. Ini merupakan titik ekstrem perdebatan teori nature dan teori nurture. Di dalam perdebatan ini, pertanyaan utama yang harus dijawab adalah: apakah perilaku manusia akibat bentukan alam (nature), ataukah akibat bentukan pendidikan (nurture)?

Penelitian terkenal antropolog Margaret Mead atas pertumbuhan para pemuda Samoa menjadi teks klasik selama puluhan tahun mengenai “kebenaran” teori nurture. Teori ini kemudian dimanfaatkan, antara lain, oleh gerakan kaum Feminis maupun kaum antirasial. Kaum kulit hitam yang tertindas, juga kaum Yahudi yang selalu diburu dan dibunuh, seolah punya senjata besar untuk menampik mitos kerendahan ras mereka: sebab-sebab alamiah tak lagi dipercaya sebagai dasar bagi diskriminasi yang mereka alami.

Sementara gerakan feminisme mendapat senjata jitu dengan teori nurture untuk menepis anggapan tradisional tentang hakikat perbedaan lelaki dan perempuan, yang menyebabkan diskriminasi terhadap peran-peran sosial-ekonomi-kultural perempuan dalam masyarakat. Dalam bahasa populer, “kodrat” bahwa perempuan harus jadi istri penurut, jadi ibu, dan tak punya peran publik setara dengan lelaki, hanyalah mitos. Jika perempuan mengembangkan sifat-sifat yang sesuai dengan mitos tersebut, itu terjadi karena proses pendidikan/nurture

Baca juga:  Nasionalisme Santri Milenial

Dan datanglah Wilson, dengan kesimpulan-kesimpulan ilmiahnya yang “dingin”, menyatakan bahwa teori nature adalah lebih sesuai dengan kenyataan. Evolusi kehidupan manusia, termasuk segala aspek-aspek sosial-budaya mereka, adalah tak lain bagian dari evolusi biologis manusia. Teori sosio-biologi pun kembali mendapatkan momentum. Dalam pemahaman sosio-biologi gaya baru ini, genetika dan neuroscience menjadi dasar yang lebih kuat untuk memahami perilaku manusia. Teori evolusi pun mengalami penyegaran kembali.

Tak mudah, pada mulanya. Wilson sendiri diperlakukan dengan tak adil dalam perdebatan-perdebatan ilmiah di kampus-kampus Amerika pada awal 1970-an yang masih sangat dipengaruhi gerakan counter culture dan semangat flower generation. Kaum feminis dan aktivis gerakan sipil atau antirasialisme terutama merasa sendi-sendi perjuangan mereka terganggu. Wilson dituduh sebagai pembawa paham fasisme baru, pewaris Hitler, dan sebagainya. Sang ilmuwan yang puluhan tahun bekerja dalam kesunyian, tiba-tiba menghadapi hujatan publik yang deras dan keras. 

Namun, Wilson adalah juga seorang ilmuwan yang keukeuh, memegang teguh prinsip-prinsip ilmiah dengan segala konsekuensinya. Ia meneruskan penelitiannya, dan kesimpulan-kesimpulannya. Kekukuhannya, memancing kekaguman, di samping membantu perkembangan lebih jauh hasil-hasil temuannya. Wilson kemudian punya pengikut. Tumbuh sebuah generasi baru ahli biologi yang melanjutkan berbagai segi teori evolusi berdasarkan jalan yang telah dibentangkan oleh Wilson. Generasi baru ini terutama mengukuhkan diri pada 1980-an, seiring dimulainya bibit-bibit penelitian besar di bidang genetika (mengarah pada pemetaan genome dan kloning) dan neuroscience

Generasi baru ini punya kepercayaan diri lebih dalam menerapkan teori evolusi pada semua segi hidup manusia, termasuk keberagamaan dan iman kepada Tuhan. Bagi mereka, berbagai misteri manusia yang masih belum bisa ditembus oleh sains kini bisa dipahami dalam terang teori evolusi mutakhir. Tak semua ilmuwan itu punya ketekunan dan keketatan sikap ilmiah seperti Wilson. Generasi baru kaum evolusionis itu antara lain: Richard Dawkins dengan teori meme-nya (yang antara lain dikembangkan oleh Richard Brodie, dalam bukunya yang telah diterbitkan KPG, Virus Akal Budi), Steven Pinker dengan penjelasan biologis mengenai asal-usul manusia, dan, belakangan, Sam Harris yang berkutat di bidang neuro-sciences, dan Daniel C. Dennett, yang berspekulasi tentang asal-usul biologis keberagamaan manusia. (Buku Dennet, Breaking The Spell: Religion as a Natural Phenomena, juga diulas oleh Luthfi dalam makalahnya.)

Posisi Wilson soal Tuhan sebetulnya sederhana dan jelas, tapi rupanya sukar diterima kebanyakan orang. Baginya, keberadaan Tuhan tak memiliki dalil ilmiah yang cukup. Namun kaum evolusionis bersemangat sesudah Wilson, menyoal Tuhan lebih jauh. Pertama, berkembang paham bahwa kepercayaan pada Tuhan adalah juga hasil perkembangan biologis manusia. Kedua, “kesalahan” iman pada Tuhan ini harus dihentikan dan atheisme mesti dipromosikan –secara agresif. Dawkins telah sejak lama menjadi advokat atheisme yang sangat bersemangat di Amerika.

Sebelum menyoal lebih jauh advokasi atheisme ala Dawkins dan kawan-kawan ini, kita lihat sejenak perkembangan kontroversi teori evolusi gelombang baru ini di Amerika. Kaum evolusionis yang bersemangat itu mendapat lawan yang mencakup sebagian kalangan akademis juga, yakni kaum kreasionis –mereka yang percaya bahwa alam semesta diciptakan Tuhan. Kaum kreasionis ini sering sama agresifnya seperti kaum evolusionis. Mereka mengajukan upaya-upaya sosial dan hukum untuk melembagakan kepercayaan mereka di ruang publik Amerika, khususnya di sekolah-sekolah. Mereka menuntut agar buku pelajaran biologi diubah, agar mencakup juga teori kreasionis sebagai counter teori evolusi yang seolah telah dianggap taken for granted dalam menjelaskan tentang asal mula kejadian alam semesta.

Di universitas-universitas, kaum kreasionis yang terdiri dari para akademisi dan peneliti mempromosikan teori desain intelijen (intelligent design) sebagai penjelasan “alternatif” terhadap terciptanya alam semesta. Asumsi dasar teori ini adalah: kerumitan penciptaan alam sendiri menjadi bukti bahwa ada sebuah desain dalam alam, dan kemungkinan ada “Kecerdasan Agung” di balik desain alam itu. Para pendukung teori ini merancang berbagai program perkuliahan, penulisan buku-buku, dan penelitian-penelitian di banyak universitas Amerika. 

Ini membuat geram kaum evolusionis. Salah satu segi yang bikin geram: jatah dana proyek penelitian mereka harus terbagi dengan dana penelitian intelligent design tersebut. Lagi-lagi di sini kita melihat aspek ekonomi dari perang kultural dan pertarungan sains tersebut. Kaum evolusionis membalas dengan keras. Mereka melancarkan kampanye negatif terhadap kreasionisme, menekankan ketaklayakan mereka bercokol di ruang-ruang sekolah dan universitas. Buku-buku dituliskan, berbagai debat publik dan talkshow digelar. Pertarungan paham ini tumbuh menjadi industri tersendiri.

Paling minimal, begitu alur argumen yang berkembang di kalangan evolusionis militan, undang-undang telah menyatakan bahwa agama harus dipisahkan dari pengaturan masalah-masalah duniawi. Secara maksimal, masyarakat mesti menyadari kesesatan kreasionisme. Tak pelak, logis pula jika perang kultural, sains, dan ekonomi ini lantas mengampanyekan atheisme secara lebih tegas.

Dalam alur perdebatan ini, kaum evolusionis mengembangkan argumen bahwa bukan hanya iman dan agama memiliki sebab-sebab biologis dalam evolusi manusia; tapi agama dan iman telah menimbulkan mudharat besar bagi umat manusia. Atheisme, dalam alur argumen ini, bukan hanya jadi satu-satunya penjelasan paling masuk akal tentang alam dan manusia, tapi juga menjadi satu-satunya jalan penyelamatan.

Kehadiran (dan kelarisan) buku-buku macam God Delusion dari Dawkins, The End of Faith dari Sam Harris, dapat dipahami dalam konteks ini. Dawkins, misalnya, bukan hanya memaparkan argumen-argumen mengenai betapa Tuhan adalah tidak mungkin. Lebih jauh, Dawkins menyarankan bahwa pendidikan agama pada anak-anak adalah sejenis abuse (pelecehan) pada anak-anak. Dalam hampir 400 halaman bukunya itu, Dawkins tak mampu melihat sezarah pun manfaat atau maslahat agama bagi umat manusia. Seperti dicatat oleh Terry Eagleton, seorang ahli studi kebudayaan, dalam ulasannya atas God Delusion: “…ini adalah pandangan yang mustahil secara a priori, sekaligus keliru secara empiris.”

Eagleton mengingatkan, “ada jutaan orang yang mengabdikan hidup mereka tanpa kepentingan apa-apa untuk melayani orang lain atas nama Kristus atau Buddha atau Allah, yang dihapuskan dari sejarah” oleh prasangka Dawkins itu. Seperti catatan Rizal Mallarangeng juga, dalam bedah buku Freedom Institute tersebut, ia tak bisa mengabaikan neneknya yang taat beribadah dan nyatanya tulus serta baik hati. Eagleton melihat betapa bagi Dawkins, tak ada satu pun kepercayaan agama, kapan pun dan di mana pun, yang layak untuk mendapat penghormatan apa pun. Dawkins bersikeras menganggap bahkan pandangan agama yang moderat pun harus dibantah dengan keras karena hanya akan membawa pada fanatisme. Bagi Eagleton, ini adalah sebuah pendapat seorang yang sangat terbenam dalam dogmatisme.

Hal ini patut disayangkan. Seperti kata Eagleton, Dawkins benar untuk menghujat fanatisme dan fundamentalisme dalam segala bentuknya. Tapi Dawkins malah melawan fanatisme dengan dogmatisme atheisme. Di Amerika sendiri, berkembang sebuah gerakan yang menamakan diri Positive Atheism. Mereka mendefinisikan atheisme secara lunak, dan lebih ingin menjadikan atheisme sebagai sebuah gerakan positif bagi masyarakat. Dalam gerakan ini, garis keras yang ditegaskan Dawkins dan kawan-kawan sama sekali tak membantu, malah merepotkan. 

Teori Evolusi: Salah Paham dan Salah Guna

Suatu ketika, dalam sebuah forum ilmiah di sebuah kampus Amerika, Edward O. Wilson mendapat pelecehan saat berdebat dengan Stephen Jay Gould, ahli teori evolusi yang berseberangan pandangan dengan Wilson dalam mendefinisikan sifat kemanusiaan kita. Pelecehan itu dilakukan oleh para mahasiswa beraliran kiri, counter culture, dan kaum hippie. Wilson dilempari telur dan dicacimaki. Wilson kalem saja.

Yang tak kalem justru Tom Wolfe, jurnalis dan novelis flamboyan itu. Dalam sebuah tulisannya tentang perkembangan teori informasi dan teori evolusi, dalam Digibabble, Fairy Dust, and Human Anthill yang dimuat dalam edisi khusus Forbes ASAP, Big Issue 4, October 1999, Wolfe mencela Gould sebagai inisiator pelecehan itu. Ini tuduh serius, dan Wolfe memang sama sekali menganggap remeh Gould karena kejadian itu. Ini keberpihakan yang tak layak. 

Untuk adilnya, Wolfe juga meremehkan Dawkins yang ia anggap sebagai pengagum Wilson yang gegabah. Tapi Wolfe telah mereduksi Gould sebagai ilmuwan papan bawah, tanpa menyajikan bukti memadai kecuali insiden terhadap Wilson yang sebetulnya bukan salah Gould itu. Stephen Jay Gould adalah ilmuwan dengan ketekunan ilmiah yang sepadan dengan Wilson. Ia menjadi ahli teori evolusi berdasarkan sebuah obsesi yang sama pada Wilson dan Darwin: obsesi mencari kebenaran.

Seperti Darwin, juga Wilson, Gould telaten menelaah detail. Ketelatenan itu jelas tampak dalam esai-esainya yang terkumpul dalam 10 buku. Sejak Januari 1974 hingga Januari 2001, ia menulis esai bulanan untuk majalah Natural History nyaris tentang apa saja dan selalu dengan perspektif seorang evolusionis sejati. Bagi Gould, evolusionis sejati adalah seorang naturalis sebagaimana Darwin. Seorang naturalis adalah seorang penelaah alam, pencari sekaligus pencatat keindahan dan kebenaran dalam detail-detail yang disediakan alam. 

Perjalanan Darwin di kapal Beagles, juga penelaahannya di pulau Galapagos, menunjukkan kecermatan seorang naturalis tulen. Hasilnya, sebuah permenungan panjang tentang hakikat bekerjanya hayat alam berjudul The Origin of Species. Kata “evolusi” baru muncul dalam kalimat terakhir buku ini, dan menandai sebuah zaman baru dalam memahami kejadian kehidupan di alam semesta ini. Teori evolusi ini kemudian dipertegas Darwin dalam The Descent of Man. Seperti bisa diduga, teori ini mengguncang akhir abad ke-19 yang adalah juga waktu berjayanya moralitas Victorian yang sangat konservatif dan agamis.

Gould menulis 300 esai tentang berbagai aspek ilmu hayat yang sering melintas batas ke ilmu kemanusiaan dan budaya, tetap dengan gaya Darwin menelaah keunikan-keunikan kecil setiap spesies di pulau Galapagos. Esai-esai yang terkumpul dalam buku kumpulan terakhirnya, I Have Landed (2003), membahas tulisan tangan kakeknya di buku tata bahasa Inggrisnya pada 11 September 1901; juga, tulisan tangan Netty Huxley kepada cucunya, Julian Huxley, pada sebuah buku; atau menyelami cara pikir Nabokov, baik sebagai sastrawan maupun sebagai taksonomis spesialis kupu-kupu. 

Keluasan minat Gould, dan apresiasinya terhadap ilmu-ilmu budaya, menyebabkan ia lebih hati-hati dalam memahami agama. Tak seperti Dawkins atau Sam Harris (atau Hitchens, yang bukan ilmuwan tapi seorang jurnalis) yang gebyah uyah menganggap agama pasti membawa mudharat. Hakikatnya, Gould sama atheisnya dengan Dawkins dan Harris. Tapi ia bisa melihat maslahat agama bagi manusia. Ia mencoba merumuskan relasi ideal agama dan sains dalam istilah NOMA (Non-Overlapping Magisteria). Sains bekerja di magisteria kebenaran empiris; sedang agama bekerja di magisteria kebenaran metaforis dan moral. Dua-duanya bisa bekerja optimal jika tak saling turutcampur.

Rumusan ini tentu masih bisa diperdebatkan. Tapi setidaknya, ini menunjukkan kesadaran dialogis Gould dalam memahami kehidupan manusia. 

Gould juga telaten menelaah teori evolusi sendiri. Sejak pertama dilontarkan oleh Darwin, teori ini banyak disalahpahami dan dihujat. Seringkali, hujatan itu lahir dari kesalahpahaman itu. Misalnya, teori ini dihujat sebagai “Darwinisme” akibat pemahaman keliru ungkapan Darwin, “survival of the fittest”. Dalam pandangan umum, kalimat ini diartikan sebagai “yang kuat, yang menang”. Dari sini, ditarik kesimpulan bahwa “Darwinisme” mengajarkan hukum rimba, dan jadi dasar fasisme Hitler. Seperti diulas Jaya Suprana dalam seri buku Kelirumologi, arti sebenarnya kalimat ini adalah, “yang paling cocok, yang paling mampu bertahan hidup”. Artinya, kunci evolusi dan bertahan hidup adalah kemampuan makhluk untuk menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan lingkungan hidupnya.

Baca juga:  Salinan Tafsīr al-Wajīz Karya al-Wāḥidī di Madura

Gould menelaah salah paham terhadap teori evolusi, dan mengajukan usulan-usulannya sendiri. Selain dalam kumpulan esainya, Gould mencurahkan laporan penelitiannya terhadap evolusi dan teori evolusi dalam buku setebal 1500 halaman, The Structure of Evolutionary Theory. Dalam I Have Landed, ia mengidentifikasi salahpaham umum terhadap evolusi. Dua kesalahpahaman umum tentang teori evolusi Darwin adalah: (1) evolusi dianggap transformasional, padahal yang benar adalah variasional (halaman 247); (2) evolusi di anggap punya arah (makin lama makin baik) dan dapat diramal, padahal tidak (halaman 245). 

Anggapan bahwa evolusi makhluk hidup adalah transformasional membawa pada, misalnya, anggapan bahwa monyet melompat jadi manusia atau dinosaurus jadi burung. Tidak begitu, kata Gould. Evolusi adalah variasional: misalkan gajah-gajah di Siberia pada era hangat ada bermacam-macam, ketika era es tiba maka hanya gajah berbulu lebih banyaklah yang mampu bertahan dan berketurunan (halaman 247). 

Kesalahpahaman jenis kedua, menganggap bahwa evolusi memiliki arah (makin lama makin baik) dan dapat diramal, tampak menjangkiti kaum evolusionis militan macam Dawkins dan Harris. Evolusionisme, dan atheisme sebagai syarat mutlaknya, mereka anggap sebagai sebuah kemajuan dan arah yang harus dituju umat manusia. Ketika Dawkins mencoba membahas politik global, ia mengungkapkan keyakinannya akan sebuah zeitgeist (semangat zaman) berupa kemajuan yang tak dapat dibendung. Bagi Dawkins, kemajuan itu hanya terganggu oleh “langkah undur” yang kadang terjadi dan kecil saja. “Seluruh gelombang kemajuan ini terus bergerak,” kata Dawkins. “Trend kemajuan ini sungguh nyata, dan akan terus berlanjut.”

Dengan gaya evangelist begini, Dawkins membutakan diri pada berbagai masalah dunia yang telah, sedang, dan akan terjadi: berbagai bencana ekologis seperti kebakaran hutan dan lumpur Lapindo, kelaparan, perang etnis, ancaman perang nuklir dan perang kimia. Jika Anda jeli, berbagai bencana itu memiliki relasi erat dengan kemajuan sains dan teknologi manusia. Jumlah orang yang terbunuh oleh teknologi perang maupun teknologi yang membawa bencana ekologis (seperti DDT, atau nuklir seperti di Chernobyll) di abad ke-20 lebih banyak daripada jumlah orang terbunuh oleh perang agama sepanjang sejarah manusia.

Atheisme sendiri tak bisa “cuci tangan” mengaku tak punya relasi dengan rezim-rezim atheistik yang menyingkirkan agama dengan paksa, termasuk dengan pembunuhan, seperti Hitler, Stalin, Mao, Pol Pot. Sam Harris menampik kenyataan ini dalam sebuah artikelnya, 10 Myths –and Truths—About Atheism. “Masalah fasisme dan komunisme,” kata Harris, “bukanlah karena mereka terlalu kritis terhadap agama; masalahnya adalah, mereka terlalu mirip agama.” Benar. 

Tapi itu tak menutup fakta bahwa atheisme yang dilembagakan dalam sistem politik pernah memburu dan membunuh para penganut agama. Rezim agama dan rezim atheistik pernah punya dosa yang sama. Atheisme belum terbukti mampu mencegah kekerasan ketika dilembagakan menjadi sistem politik. Dengan kata lain, membunuh atas nama agama sama buruknya dengan membunuh atas nama atheisme. 

Perang karikatur

Yang terjadi kemudian, memang, adalah perang karikatur antara kaum atheis dan kaum agamis. Masing-masing pihak menciptakan karikatur lawan mereka, dan bersikap atas dasar karikatur-karikatur itu.

Karikatur adalah penyederhanaan, reduksi, dan pelebih-lebihan. Dalam seni karikatur yang baik, teknik penyerderhanaan tersebut bertujuan untuk mendapatkan saripati kebenaran objek yang digambarkan. Dalam seni karikatur yang buruk, teknik itu justru menjadi alat untuk merendahkan, menguasai, melecehkan, dan pada akhirnya, meniadakan kebenaran objek yang digambarkan. Gampangnya, kartun-kartun karya Sempé, Saul Steinberg, Michael Leunig, atau Sibarani tentu beda dengan kartun-kartun propagandis dari para pendukung revolusi kebudayaan Cina atau karya-karya Harmoko pada 1960-an. 

Sam Harris, dalam artikel tentang 10 mitos tentang atheis mendaftar mitos-mitos negatif tentang kaum atheis, dan membantahnya. Namun dalam bantahan-bantahan itu, Harris malah mencipta karikatur-karikatur negatif baru tentang kaum beragama. Poin pertama, tentang mitos “kaum atheis percaya bahwa hidup ini tak punya makna”, dijawab Harris begini: “Sebaliknya, kaum beragama sering cemas bahwa hidup ini tak punya makna dan mengkhayalkan bahwa ketakbermaknaan itu hanya bisa diselamatkan oleh janji kebahagiaan abadi yang melampaui kuburan.” Lho? Bukannya dengan sederhana bilang bahwa “oh, sebaliknya, kaum atheis memandang hidup ini bermakna”, Harris lebih suka ‘meninju’ kaum beragama dulu.

Ini menunjukkan bahwa basis definisi keberadaan kaum atheis bagi Harris adalah “lawan agama”. Dengan kata lain, cara Harris ini justru membuat atheis didefinisikan oleh lawannya. Dalam istilah Buddhis, “kiri sebetulnya terikat oleh kanan”. Gaya Harris ini mewarnai seluruh poin Harris dalam menepis mitos-mitos tentang kaum atheis. Misalnya, jawabannya atas mitos “kaum atheis bersikap dogmatis”: “Kaum Yahudi, Kristiani, dan Muslim mengklaim bahwa kitab suci mereka amat memenuhi kebutuhan manusia sehingga kitab itu hanya mungkin ditulis oleh Tuhan yang Maha Esa. Seorang atheis sekadar seorang yang menimbang klaim itu, membaca kitab suci, dan menyimpulkan bahwa klaim itu bodoh.” 

 

Langsung dua karikatur: gambaran Harris sama sekali meniadakan sosok macam Nurcholis Madjid, Muhammad Iqbal, Isaac Newton, atau CS Lewis. Karikatur yang lebih halus: anggapan bahwa kaum atheis pastilah telah memelajari ketiga kitab suci itu sebelum menyalahkan “klaim bodoh” itu. Memang, bagi Harris, atheisme identik dengan “akal sehat”. Ketika ada atheis yang dogmatik dan membantai orang, Harris menganggap itu bukan karena atheisme tapi karena pikiran mereka telah “terlalu mirip agama”. Bersamaan itu, Harris membuat karikatur bahwa orang beragama sama dengan “tak punya akal sehat”.

 

Menjawab mitos “kaum atheis adalah arogan”, Harris menjawab “berpura-pura tahu akan sesuatu yang tak diketahui adalah sebuah kelemahan besar di mata sains. Namun, inilah yang jadi urat nadi agama-agama berbasis iman.” Lagi-lagi sebuah karikatur yang, ironisnya, arogan. Dengan kaca mata kuda, Harris hanya melihat kecenderungan sebagian orang beragama yang tanpa bukti ilmiah mengaku lebih tahu hakikat alam daripada kaum ilmuwan (seperti Harun Yahya dan para pengikutnya dalam pseudo-sains laris tentang anti-Darwinisme), lalu menyimpulkan hakikat agama seluruhnya

 

Menarik juga dalam membandingkan hal ini dengan sikap Dawkins terhadap teologi dalam God Delusion. Eagleton dengan jitu menulis: “Bayangkan, ada seseorang yang bilang bahwa ia tahu segalanya tentang biologi, padahal satu-satunya yang ia tahu adalah berdasarkan Book of British Birds. Nah, Anda akan dapat membayangkan apa rasanya membaca Richard Dawkins mengomentari teologi.” (Terry Eagleton, London Review of Books, 2006) Menurut Eagleton, Dawkins terhitung paling miskin bekal pemahamannya tentang teologi yang ia cela, karena ia (dan kawan-kawan sesama “atheis profesional”) meyakini tak ada satu pun yang mesti dipahami dari teologi, atau minimal meyakini tak ada satu pun yang cukup berharga untuk dipahami dari teologi. Apakah ini, kalau bukan arogansi?

 

Ketika membahas mitos “kaum atheis mengabaikan fakta bahwa agama dapat sangat bermanfaat bagi masyarakat”, Harris menjawab: “Bagaimana pun, efek baik agama tentu dapat dibantah. Dalam kebanyakan kasus, tampaknya agama memberi alasan buruk untuk berperilaku baik, padahal alasan yang baik itu ada. Tanyalah pada dirimu sendiri, mana yang lebih bermoral, menolong orang miskin karena prihatin atas penderitaan mereka, atau melakukannya karena kau berpikir bahwa pencipta alam semesta ingin kau melakukannya, akan memberimu pahalah jika kau melakukannya dan akan mengazabmu bila kau tak melakukannya?” 

 

Di sini, Harris sang ilmuwan terjebak menjadi seorang moralis. Lebih menarik sikap Gould setelah memapar salahpaham kedua tentang evolusi. “Sains,” tulis Gould, “tak akan pernah memutuskan moralitas moral-moral.” (I Have Landed, halaman 221). Di titik ini, evolusi bukan hanya telah disalahpahami, tapi juga telah disalahgunakan.

Ateisme: dari Salon hingga Revolusi

Mungkin “moralisme ateis” dari Harris dan Dawkins didorong oleh semacam kecemasan dan rasa terdesak. Ateisme sendiri adalah paham yang rawan secara sosial: para penganutnya lebih sering mendapat stigma dan sangsi sosial yang kadang begitu kerasnya, sehingga ada kebutuhan untuk melawan balik sama kerasnya. Lihat saja pengalaman kita sendiri di Indonesia. Ateisme diidentikkan dengan komunisme, dan komunisme diidentikkan dengan pembantaian. Ini adalah salah satu hasil “didikan” Orde Baru yang sangat berhasil terhadap masyarakatnya.

Ateisme tak identik dengan komunisme, sebagaimana komunisme tak identik dengan pembantaian. Saya kenal secara pribadi para mantan PKI yang rajin shalat dan taat ke gereja bahkan saat jadi anggota PKI. Saya juga kenal atheis yang tulus dan baik terhadap sesama. Namun saya juga kenal banyak sekali kaum beragama yang tak masuk dalam karikatur Dawkins dan Harris.

Ateis berasal dari kata Yunani kuno, atheoi, pertama kali muncul dalam sebuah papirus dari awal abad ke-3. Kata atheos dalam Yunani kuno adalah kata sifat yang berarti “tiada bertuhan” atau “godless”. Filosof dan penyair Yunani, Diagoras asal Melos, pada abad ke-5 SM dianggap sebagai “atheis” pertama, karena jadi orang pertama yang tercatat sejarah sebagai pencela doktrin-doktrin agama secara terbuka. Ia tak menuliskan risalah atheisme, tapi banyak kisahnya yang terkenal. Salah satunya, ia dengan sengaja mengungkapkan ritus rahasia agama Elusinian, dan menjadikannya “sesuatu yang biasa belaka”. Artinya, ia sengaja melakukan itu untuk memancing orang sezamannya agar merenungi ulang agama mereka. Ia kemudian dituduh “meresahkan masyarakat”, dan diburu. Negara menjanjikan setalen perak jika ia dibunuh, dan dua talen perak jika ia ditangkap hidup-hidup. Agaknya Diagoras lolos, dan lenyap dari Yunani.

Pada masa Romawi, atheos atau atheis adalah celaan pada lawan debat yang ditujukan pada baik kaum pagan maupun kaum Kristen, dalam persengketaan mereka saat itu. Karen Armstron menulis bahwa pada abad ke-16 dan ke-17,  kata “atheis” hanya digunakan secara eksklusif dalam polemik tertutup. Kata ini, menurut Armstrong, dianggap sebagai hinaan –tak ada orang yang bermimpi mau melekatkan dengan sadar kata ini pada diri sendiri.

Baru pada abad ke-18, di Eropa, “atheisme” pertama kali digunakan untuk ajaran atau kepercayaan yang menyatakan diri sebagai penolakan terhadap agama –lazimnya, terhadap agama-agama Semit seperti Kristen dan Yahudi. Kebangkitan renaissance atau Pencerahan sejak abad ke-16 menyebabkan kebangkitan akal budi, rasionalitas, melawan kuasa berlebih agama. Ilmu dan seni menggeliat melawan kemapanan agama dan lembaga-lembaganya, yang mencengkeram masyarakat Eropa sejak abad pertengahan dan mengukuhkan struktur sosial yang feodal saat itu. Ilmuwan dan seniman pun tumbuh, seiring pertumbuhan kelas baru –kelas menengah borjuis, di Eropa. Dalam masyarakat, tumbuh sekelompok orang yang mengedepankan pemikiran bebas dan skeptisisme. Leonardo da Vinci melakukan banyak eksperimen ilmiah sebagai alat menjelaskan kebenaran tentang alam, dan menentang banyak klaim agama.

Baca juga:  Asal Muasal Istilah Pancasila dan Republik: Warisan Pendiri Bangsa

Di Prancis, pada abad ke-18 itu, terjadi revolusi yang bermula pada pergolakan pemikiran yang sangat panas. Sistem sosial yang ada, termasuk kemapanan lembaga agama (Katolik) yang menyangga sistem kerajaan Prancis dan Eropa pada umumnya, digugat. Para pemikir bebas menuliskan pikiran mereka dan mengumumkannya di salon-salon tempat mereka berkumpul. Walau celaan terhadap agama sudah nge-trend di Prancis dan Inggris pada abad ke-17, kebanyakan mulanya enggan menyatakan diri sebagai atheis. Bahkan, atheisme masih dicela juga oleh para pencela agama itu. Pada awal abad ke-18, Jean Meslier, seorang mantan pendeta, membuang kepercayaannya pada Tuhan dan menjadi atheis pertama yang secara terbuka menyatakan diri sebagai atheis.

Kita bisa bayangkan suasana penuh semangat saat itu. Tekanan inkuisisi terhadap Galileo Galillei telah jadi legenda, simbol pertentangan agama dan sains yang sukar didamaikan. Voltaire di Prancis menuliskan esai-esainya yang meledek ketakrasionalan agama dan agamawan. David Hume menuliskan pikiran-pikirannya yang sangat sistematis merumuskan pemikiran Pencerahan, menampik dasar metafisis dalam teologi alam dan mengembangkan sebuah epistemologi skeptis berbasis empirisme. Artinya, ia mendorong orang-orang untuk mempertanyakan segala sesuatu, dengan asumsi bahwa yang tak bisa dibuktikan secara empirisme adalah keliru. 

Apakah Paus punya hak mengampuni dosa? Apakah dosa? Apakah raja punya hak berkuasa mutlak? Dari mana hak itu? Bagaimana ia senyatanya menggunakan kekuasaan mutlak itu? Apakah kekuasaan mutlak itu membawa kebaikan pada masyarakat? Mengapa rakyat sangat menderita? Apakah itu takdir? Begitulah kira-kira topik hangat di salon-salon Prancis pra-Revolusi. Ketika ledakan revolusi menumbangkan monarki terjadi di Prancis, revolusi itu memicu gelombang yang sama di seluruh Eropa: gelombang kelahiran negara-bangsa, sekuler, demokratis. Kehidupan modern dalam naungan semangat Pencerahan secara perlahan dari akhir abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-19 (khususnya dengan gelombang revolusi di Eropa pada 1848), dan dengan sangat keras, dimapankan dalam kelembagaan politik Eropa.

Revolusi Prancis membawa pula ateisme dari salon-salon ke sphere publik. Ateisme menjadi tren, menjadi life style di kalangan kelas menengah cendekiawan, dan menjadi lebih sistematis. Bahkan sempat atheisme dilembagakan secara paksa sesudah revolusi Prancis. 

Untuk menggantikan pemujaan terhadap agama dan gereja, Jacques Hébert dan Pierre Gaspard Chaumette serta para pengikut mereka mencanangkan gerakan cult of reason. Gerakan ini mengambil modus perayaan yang menyertakan aksi-aksi perusakan gereja dan simbol-simbol ketuhanan mereka, dikembangkan pada masa penuh ketidakpastian 1792-94. Beberapa gereja di Paris diubah menjadi “kuil nalar” (temple of reason), dan seorang perempuan diangkat jadi lambang “dewi nalar”. Salah satu penentang gerakan ini adalah Maximilien Robespierre, yang sempat menebarkan teror hukuman mati sebagai penguasa Prancis pasca-Revolusi. Robespierre mendirikan gerakan cult of the supreme being. Namun setelah ia sendiri ditumbangkan, cult of reason menanjak dalam politik. Bahkan pada 24 November 1793, Misa Katolik dilarang di Prancis. Hal ini tak berjalan lama. Rezim Napoleon mengembalikan pengaruh Katolik ke dalam politik Prancis.

Eropa abad ke-19 menjadi lahan subur sistematisasi pemikiran atheisme dan atheistik. Filosof macam Ludwig Andreas von Feuerbach. Sejak buku pertamanya, yang ia terbitkan secara anonimus pada 1830, ia memasalahkan keabadian pribadi. Buku ini membuat dirinya terkucil dari lingkungan akademis. Ia terus menulis buku yang menggali ide atheistiknya, termasuk mengangkat kasus romantis terkenal –percintaan terlarang Abelard dan Heloise. Kita tahu, Abelard adalah seorang pastur cendikia yang menjalin cinta rahasia dengan Heloise. Begitu ketahuan, sebagian karena dibocorkan oleh para lawan polemik Abelard dari kalangan Kristen ortodoks, Abelard dipaksa (konon, dikebiri) untuk hidup selibat. Mudah kita lihat mengapa Feuerbach tertarik pada kisah Abelard dan Heloise ini. Dalam kisah ini tercakup sebuah kasus ketika Kristianitas menampilkan wajah terburuknya dalam melecehkan sesosok manusia penalar.

Tak lama, Feuerbach menerbitkan bukunya terpenting, diterjemah oleh sastrawan George Eliot, The Essence of Christianity. Buku ini menyerang sendi-sendi ajaran kontemporer Kristen di Eropa, dan menyodorkan gagasan atheisme yang cukup sistematis. Inti gagasan Feuerbach adalah manusia menjadi pusat pertanggungjawabannya. Sebetulnya, ia berangkat dari pemahaman bahwa agama (Kristen) memiliki hakikat antropologis. Karena dasar pemikiran ini, Feuerbach justru sering dikritik sebagai atheis yang kurang konsisten. Yang jelas, Feuerbach memengaruhi pemikiran Karl Marx dan Engels. 

Pada masa itu pula muncul pemikir-pemikir yang meletakkan sendi-sendi penalaran manusia modern hingga kini: Nietszche, Freud, dan Darwin. Semua mengguncang sendi-sendi agama di Barat. Yang sering luput ditangkap adalah –sebagaimana Feuerbach—berbagai gagasan atheistik mereka sebetulnya kaya nuansa dalam memandang agama. Karl Marx, misalnya, terkenal dengan ucapan “agama adalah opium masyarakat”. Tapi, setelah kalimat itu, Marx sesungguhnya menulis: “agama adalah hati dari sebuah dunia tak berhati, jiwa dari berbagai kondisi yang tak berjiwa.” Seperti kata Eagleton, ini menampakkan sebuah penilaian yang hati-hati dan dialektis, tak seperti penilaian gegabah Dawkins terhadap agama. 

Nietszche, yang terkenal dengan ungkapan “Tuhan telah mati” dalam Thus Spake Zarathustra, memodelkan manusia idealnya pada Zarathustra, yang dalam sejarah filsafat merupakan “nabi” monotheisme pertama. Nietszche memang dengan keras menetak “berhala-berhala agama”, tapi ia merindukan kualitas spiritual yang murni. Tak heran jika ia dianggap guru oleh seorang pemikir Islam yang sangat berpengaruh di abad ke-20, Mohamad Iqbal.

Darwin sendiri konon menunda risalahnya yang ia tahu akan mengguncang kepercayaan kaum Kristiani pada (kisah penciptaan) Injil, demi menghormati istrinya yang adalah seorang Kristiani taat dan saleh. Dalam risalah-risalahnya, Darwin tak mengajarkan ateisme sebagai sebuah gerakan moral –apalagi ajaran yang agresif dan cenderung intoleran. Menurut Gould, ajaran Darwin adalah: pandanglah alam apa adanya. Lalu, mengapa ada kebutuhan besar bagi Dawkins dan kawan-kawan untuk menjadi ateis yang agresif?

Ateisme sebagai Bisnis

Memang, Dawkins dan Harris getol menyodorkan alasan-alasan moral. Dawkins kini menggalang organisasi yang misinya melawan penindasan bagi kaum ateis di seluruh dunia. Harris, dalam artikel tentang mitos-mitos kaum ateis itu, mengawali argumennya tentang diskriminasi yang dialami oleh kaum ateis dalam politik, dan lebih sial dalam karir politik di Amerika daripada kaum kulit hitam, homoseksual, dan muslim. Dalam polling Newsweek pada 2007, hanya 37% warga Amerika yang mau memilih presiden seorang ateis. (Ini mengingatkan pada adegan pemilihan astronot dalam Contact, ketika tokoh yang diperani Jodie Foster kalah karena menganut ateisme)

Padahal, menurut Harris, kaum ateis adalah kaum yang layak. “Berhubung kita tahu,” kata Harris, “bahwa kaum ateis seringkali merupakan kaum yang paling cerdas dan paling berpendidikan di masyarakat mana pun, penting bagi kita untuk menepis mitos-mitos yang menghambat kaum ateis berperan lebih besar dalam diskursus bangsa kita.” Lagi-lagi, karikatur. Sekaligus peluang bertanya-tanya: apakah motif politik berjalin dengan motif moral yang didengung-dengungkan oleh Harris dan Dawkins?

Lebih dari itu, kita lihat betapa larisnya mereka diundang dalam seminar dan talkshow di Amerika, gara-gara posisi ateistik mereka yang agresif. Eagleton memang jitu ketika mengistilahkan Dawkins sebagai “ateis profesional” –dengan modelnya adalah Bertrand Russel di awal abad ke-20. Dawkins dan Harris menjadi “profesional”, karena keateisan mereka seakan jadi profesi –mereka dibayar dan menjadi kaya karena itu. Dawkins dan Harris lebih mengabdikan hidup mereka untuk tulisan-tulisan ilmiah populer ketimbang melakukan penelitian ilmiah yang tekun seperti guru mereka, Wilson (yang kini sedang menekuni gerakan penyelamatan keanekaragaman hayati dunia).

Menarik sekali, bahwa “bisnis ateisme” laris seiring larisnya juga “bisnis agama”; atau paling tidak, kedua “bisnis” saling merespon. Menurut laporan khusus The Economist, saat ini bisnis mega-gereja tumbuh pesat. Lima dari sepuluh mega-gereja terbesar ada di Korea Selatan. Yang terbesar, Gereja Yudio Full Gospel, mengklaim beranggotakan 830.000 orang dan bertambah 3000 per bulannya. 

Menurut The Economist, pesatnya “bisnis agama” di Korea Selatan itu memberi pelajaran tentang sifat-sifat agama yang sukses di era kini. Salah satunya, karakter “panas” agama-agama tersebut. “Dalam istilah global,” tulis The Economist, “kisah sukses paling menakjubkan di abad lalu adalah agama yang paling tidak intelektual (dan paling emotif).” Fanatisme dan fundamentalisme menjadi bensin yang membakar energi pertumbuhan (aliran) agama-agama paling efektif. Pemerintahan Bush, bisa dibilang, juga menampakkan kecenderungan pada isu-isu “panas” agama dan bisa sangat emosional dalam isu-isu itu. 

Di satu sisi, wajar jika lantas reaksi anti-agama seperti atheisme ala Dawkins dan Harris, juga mengambil karakter “panas” yang sama. Tinggal kita bertanya-tanya, apakah pilihan isu “panas” itu sebuah tanggapan reaksioner murni, atau sebuah oportunisme bisnis yang menjadikan isu “panas” sebagai bagian dari brand yang dianggap (dan memang nyatanya) laris. 

Ada banyak segi ekonomi-politik yang memang bisa jadi alasan naiknya minat terhadap atheisme. Kalangan peneliti di bidang genetika dan steam cell research, misalnya, jelas berkepentingan untuk menyerang keberagamaan pemerintahan Bush yang memang menghambat dana dan potensi bisnis penelitian-penelitian tersebut. Dan jangan remehkan bisnis buku di kedua kubu ini. Amerika yang sekuler menjadi lahan subur Tim LaHaye dengan seri Left Behind, tentang kiamat dan messiah, yang boleh dibilang hanya setingkat di bawah Harry Potter dalam suskesnya yang bernilai ratusan juta dollar. Belum lagi bisnis televangelist, khutbah di televisi. Tentu ini memancing rangkaian aksi-reaksi. Seperti kata The Economist, tanpa Falwell (seorang pengkhutbah sukses), royalti Hitchens dan Dawkins akan lebih kecil.

Di Indonesia, sedang naik “bisnis agama” dalam dua bentuk: “agama kemarahan”, dengan maraknya industri buku berisi hujatan terhadap Islam liberal, kaum jahiliyah modern, ajaran-ajaran sesat, sekulerisme-pluralisme, dan teori konspirasi Yahudi; yang kedua, “agama harapan”, yang terkait dengan maraknya “bisnis harapan” lain seperti industri buku-buku “how to” yang menjanjikan kekayaan melimpah. ESQ, misalnya, bukan hanya menjadi gagasan yang diterbitkan sebagai buku-buku terlaris, tapi kemudian menjadi gerakan pelatihan kepemimpinan yang bernilai tinggi. 

Sejauh ini, reaksi balik dari kaum ateis atau ateistik (jadi, tak terang-terangan ateis) masih sangat terbatas, seperti dalam diskusi Freedom Institute yang saya saya ceritakan itu. Buku The End of Faith telah diterjemah, dan agaknya ada yang tertarik menerjemah God Delusion. Cukup banyak dan marak, memang, reaksi dari golongan atheis dalam negeri terhadap semaraknya semangat agama yang mengeras paska-Reformasi 1998. Namun, semua masih terbatas di ruang-ruang publik kecil, seperti salon-salon Prancis semasa pra-Revolusi Prancis abad ke-18. Sebagai brand, ateisme di Indonesia masihlah berpangsa pasar kecil. Ateisme di Indonesia belum jadi brand seperti Coca Cola (yang sudah mencapai branding begini adalah aliran agama tertentu macam ESQ, tarekat Naqsabandiyah, atau MQ sebelum diguncang poligami AA Gym), tapi lebih mirip brand Benetton: kecil, tapi cenderung elitis.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top