TERHITUNG sejak era Kekhalifahan Umayyah di Damaskus pada 661 M, ada satu perubahan besar yang terjadi dalam tubuh umat Islam: khutbah Jumat adalah ajang perisakan bagi Imam ‘Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhahu.
Fenomena perang urat syaraf politik ini terjadi lantaran instruksi Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang menyerobot tampuk Khalifah dari Hasan bin ‘Ali ra. Praktis, wajah masjid pun berubah menegangkan. Diperlukan waktu nyaris sekian puluh tahun guna membalik keadaan ini, setelah Khalifah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz bertakhta di singgasana Dinasti Umayyah sedari 717 sampai 720 M.
Rentang waktu dari zaman itu hingga ke masa kini, sudah sekitar seribu tiga ratus tahun. Namun ternyata apa yang terjadi hari ini, masih belum juga berbeda.
Mimbar politik yang banal itu, seenak jidatnya pindah ke mimbar Jumat di banyak masjid–baik di Indonesia maupun di mancanegara sana. Tak hanya Jumatan, terkadang dalam majelis taklim pun soal-soal politik dijadikan bahan obrolan yang sering berujung jadi olok-olok.
Satu dasawarsa silam, saat kami masih asyik menjelajahi jalanan Jakarta Raya sebagai seniman bohemian, saya pernah menyarankan pada seorang kawan yang hendak menikah, agar ia segera mendatangi pengurus masjid di tempat tinggalnya untuk meminta bantuan dana. Terdesak keadaan, akhirnya ia manut.
Di luar dugaan, ide sederhana itu malah manjur. Pengurus dewan masjid berkenan mengeluarkan kas guna membiayai pernikahan kawan kami yang budiman itu–dengan terlebih dahulu mengumumkannya pada warga di sekitar, padahal apa yang kami lakukan jelas tidak populer sama sekali.
Riwayat dari masa lalu itu, seketika mencuat lagi dalam benak saya, manakala menyaksikan banyak masjid kita yang tampak megah menjulang, namun angkuh dipandang. Entah sudah berapa banyak masjid yang kami temui dan singgahi sepanjang perjalanan melintasi Indonesia. Semua sama belaka. Berhenti sebagai sarana ibadah semata. Tak lebih. Satu di antaranya saling beradu tinggi menara, bersicepat merehab bangunan, dan memperindah tampilan luarnya saja.
Tromol masjid yang diedarkan saban Jumat, memang dilaporkan kepada jamaah. Namun cermatilah wahai, saudaraku. Semua biaya yang dikeluarkan, tak pernah benar² dialamatkan guna maslahat umat yang lebih luas di kitaran masjid. Tapi sekadar dipakai tuk membayar ongkos pemakaian listrik, air, marbot, dan segala tetek bengek bernama televisi layar datar, pendingin udara, dan cctv. Lha, ini masjid apa kantor polisi?
Kami kira, siapa pun yang ketiban amanah menjadi pengurus masjid, kajilah lagi bagaimana dulu Masjid Nabawi difungsikan oleh Rasulullah saw pada Abad ke-7 M di Madinah.
Di zaman itu, Beliau sudah merevolusi masyarakatnya dengan bertolak dari masjid. Perlu diketahui juga, bukan hanya Nabawi yang dibangun Nabi, masih ada masjid-masjid lain yang Beliau dirikan bersama warga Madinah (Anshar) dan perantau dari Makkah (Muhajirin).
Pengelolaan Masjid ala Nabi
Berdasar data yang kami peroleh dari buku Madinah al Rasul karya Dr. Nizar Abzhah, hal pertama yang dilakukan Nabi setiba di Madinah adalah membangun masjid.
Setelah masjid pertama, Quba, dan selain Masjid Nabawi, menyusul kemudian sejumlah masjid lain, seperti sebuah masjid mungil di celah Bukit Jarar di Bukit Uhud, Masjid Bani Khudarah, Masjid Juhainah yang batasbatasnya digaris sendiri oleh Rasulullah dan sebatang kayu ditancapkan sebagai posisi kiblat, lalu beliau mengerjakan shalat di situ.
Kemudian Masjid Bani Sa‘idah di luar perumahan Madinah, Masjid Bani Bayadhah, Masjid Bani al-Hubla, Masjid
Bani Udhayah, dan Masjid Ubay ibn Ka‘b di Bani Judailah.
Tentang masjid yang terakhir ini Nabi bersabda, “Andai orang-orang tidak cenderung kepadanya, niscaya kuperbanyak salatku di sini.”
Kemudian ada Masjid Bani ‘Amr, Masjid Bani Dinar, Masjid Dar al-Nabighah, Masjid Bani Adi–di sini Nabi pernah mandi, Masjid al-Sunh, Masjid Bani Khuthamah, Masjid Bani Haritsah, Masjid Bani Abdil Asyhal, Masjid al-Khirbah, Masjid Qiblatain, Masjid Bani Haram di al-Qa‘, Masjid Bani Wa’il, Masjid Atikah di Bani Salim–tempat Nabi mendirikan shalat Jumat perdana saat dalam perjalanan dari Quba menuju Madinah.
Nabi juga pernah mengerjakan salat di Masjid Bani Mu‘awiyah, salah satu perkampungan kaum Anshar. Di situ Beliau mendoakan kaum Muslim agar dihindarkan dari bencana, tidak diserang musuh, tidak dihancurkan selama sekian tahun, dan dikabulkan Allah. Ini artinya, kekacauan akan terus berlangsung hingga hari kiamat.
Salah satu masjid yang sangat populer di Madinah adalah Masjid Fadhikh. Dinamai begitu karena di masjid ini sekelompok orang Anshâr suka minum arak jenis tersebut. Begitu mendengar arak diharamkan, mereka langsung meretaskan tali geriba dan menuangkannya. Masjid paling dekat dengan Nabawi adalah Masjid Bani Amr ibn al-Najjar, Masjid Bani Sa‘idah, Masjid Bani Salamah, Masjid Aslam, Masjid Juhainah, dan Bani Rabih atau Ratij Bani Najjar.
Pada masa itu, Masjid Nabawi adalah tempat kajian keilmuan dan keagamaan dalam bentuk lingkaran atau halakah, forum tadarus Alquran, tempat Nabi menyampaikan bimbingan, arahan, perintah, dan larangan kepada para Sahabat, juga sebagai “sekolah,” terutama dan yang terpenting sekolah bagu ahli Suffah.
Masjid juga difungsikan sebagai lembaga perundingan, lembaga pengambilan keputusan, lembaga tempat orang-orang meminta fatwa bila Rasulullah sedang tidak ada. Dari masjid ini pula Rasulullah memberangkatkan pleton pasukan sekaligus menunjuk satu orang yang dinilai memiliki kecakapan dan kemampuan dalam memimpin.
Di Masjid Nabawi, para sahabat didawuh berkumpul oleh Nabi bila ada hal mendesak yang harus segera disampaikan, ditanyakan, atau dibimbingkan kepada mereka. Beliau menyeru mereka untuk mengerjakan shalat berjamaah, kemudian berkhotbah menyampaikan atau mengingatkan apa yang sedang terjadi.
Di salah satu pilar yang kelak dikenal sebagai Pilar Delegasi, Nabi menyambut para delegasi, orang Arab asing, kepala klan, atau utusan yang sengaja dikirim suatu kaum untuk mencari informasi tentang Nabi–setelah kabar tentang Beliau tersiar ke berbagai penjuru negeri.
Maka dengan begitu, Masjid Nabawi menjadi tempat paling penting pada masa hidup Rasulullah dan Sahabat. Tempat semua hati bergantung. Sebuah “kebun surga” tempat mereka menggembala jiwa.
Sesekali acara hiburan juga digelar di Nabawi. Pernah orang-orang Habsyi unjuk kebolehan bermain pedang. Mereka bergulat dan menari. Nabi tampak senang dan terhibur. Bahkan, sampai merasa perlu mengajak Aisyah ikut menonton pertunjukkan itu dari balik tabir dalam kamarnya.
Nabawi bukan pusat seluruh aktivitas kenegaraan. Bukan pula markas militer. Bukan juga sekadar tempat pengaturan administrasi kekhalifahan. Namun di sinilah ruh perundang-undangan Tuhan diembuskan untuk umat manusia akhir zaman. Nabawi merupakan yang pertama lagi utama dari tiga masjid luhur yang disebut dalam Hadits. Nabi bersabda,
“Jangan melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid; masjidku ini, Masjid l-Haram, dan Masjid l-Aqsa.” (Bukhari, 1115, dan Muslim, 2475)
Masjid ini mulia karena sejumlah hal: tinggi kedudukannya di hati kaum Muslim, dan lebih dari itu, dimuliakan Allah, sebab dibangun Nabi dengan tangan sendiri bersama para Sahabat, dan juga menjadi liang pembaringan terakhir jasad agung Beliau. Ini saja sudah lebih dari cukup untuk mengakui kemegahan dan kemuliaan Nabawi.
Mengenai keutamaannya, Nabi bersabda, “Antara rumahku dan mimbarku, adalah sebuah taman dari taman-taman surga.” Inilah masjid jamik pertama yang dibangun dalam sejarah Islam.
Pada zaman kiwari begini, masjid seolah berhenti hanya sebagai sarana beribadah saja. Segala yang bukan bernama “ibadah,” dipisahkan secara tegas dari kemanusiaan. Tak perlu membahas isu kemiskinan berikut jalan keluarnya dalam majelis ilmu. Itu soal pemerintah. Masjid sekadar ladang bercocok tanam demi menuju akhirat. Surga tepatnya. Formalisme agama mengalahkan kompleksitas keberagamaan manusia.
Kesadaran manusia dalam laku agama, serupa dengan tumaruntum: pertumbuhan yang terus berlangsung dan subur berkembang. Agama tak boleh berhenti dalam ritus semata. Islam bukan untuk dimonopoli oleh segelintir makelar keselamatan. Jalan kehidupan itu pusparagam. Nyaris tiada batas. Dampak geometri Barat yang menyebar dan tertanam sekian abad dalam peradaban manusia–muslim khususnya, dengan secara gegabah membuat susunan bangun-ruang agama menjadi jumud, kaku, membeku. Kita kadung menyamakan gunung dengan segitiga. Dalam tulisan lain, akan kami uraikan perkara ini lebih teperinci lagi.
Akhir kalam, kami ketengahkan sebuah ayat pendek yang untuk memahaminya tidak bisa dengan sekadar menggunakan nalar analitik belaka. Setidaknya diperlukan (geometri) fraktal khas Nusantara, agar rahasia pesan Tuhan itu bisa kita dedah dan mafhumi.
“Hanya kepada Allah sahaja sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri atau pun terpaksa, (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari.” (QS. ar Ra’d [13]: 15). []
Selatan Jakarta, 3 Februari 1927 Çaka