Penafsiran Al-Qur’an di Nusantara telah berlangsung sangat lama. Bahkan, sejak abad ke-17 sudah hadir tafsir terlengkap pertama di Nusantara, berjudul Tarjuman al-Mustafid. Tafsir ini ditulis oleh seorang Qadi Malik al-Adil yang terkenal dari kerajaan Aceh Darussalam, Syekh Abdurrauf al-Fansuri al-Jawi atau yang lebih populer disebut Abdurraul al-Sinkili.
Tarjuman al-Mustafid yang ditulis sekitar tahun 1675 ini menerjemahkan sekaligus menafsirkan Al-Qur’an tiga puluh juz mulai dari surah al-Fatihah hingga surah al-Nas. Tafsir ini ditulis menggunakan bahasa Melayu dengan aksara Arab-Jawi, sesuai dengan tren literasi dan bahasa yang dipakai untuk berkomunikasi ketika itu.
Namun, dibalik ketersohoran tafsir Tarjuman al-Mustafid yang melambungkan nama Abdurrauf al-Sinkili, tetap tidak bisa melupakan jasa sosok juru tulis sekaligus murid setia al-Singkili, Dawud al-Rumi yang telah berkontribusi besar terhadap lahirnya karya ini. Dawud al-Rumi atau juga populer disebut Baba Dawud merupakan keturunan Turki yang menetap dan wafat di Aceh pada paruh kedua abad ke-17 hingga abad ke-18.
Dawud Rumi memiliki nama dan silsilah lengkap, Dawud al-Jawi bin Ismail al-Jawi bin Agha Musthafa bin Agha Ali al-Rumi. Ia diperkirakan lahir sekitar tahun 1650. Ayahnya, Ismail al-Jawi merupakan ulama yang dikirim oleh Turki Utsmani sebagai ulama dan pengajar Islam di Aceh. Konon Ismail al-Jawi menikah dengan masyarakat Aceh, sehingga melahirkan Dawud dengan menggunakan gelar geografis “al-Jawi”.
Sedangkan kata “al-Rumi” yang melekat pada namanya merujuk kepada kata “Rum” yang dipakai oleh dinasti Turki Utsmani sebagai identitas, setelah berhasil menaklukkan Romawi. Orang-orang Turki sangat disegani dan memperoleh layanan khusus di Aceh, sebab kerena adanya hubungan bileteral di bidang politik, sosial, dan ekonomi antara Turki dan Aceh.
Karena menududuki posisi terhormat di Leapue-Aceh, Dawud Rumi dijuluki oleh masyarakat setempat dengan sebutan “Tunku Chik di Leapue”. Leapue merupakan wilayah geografis sekaligus dipakai untuk nama Dayah (pesantren khas Aceh), sehingga disebut “Dayah Leapue” sebuah intitusi pendidikan bentukan Abdurrauf al-Sinkili. Ia ditugaskan sebagai pimpinan di Dayah tersebut.
Selain menjadi pemimpin di Dayah Leapue, Dawud Rumi juga memeroleh “ijazah” (lisensi) salinan tafsir Al-Qur’an dari gurunya. Ijazah tersebut dituliskan oleh Abdurrauf al-Sinkili dalam bentuk kaligrafi dan ditransmisikan kepada pemimpin Dayah Leapue secara turun-temurun hingga akhirnya sampai kepada Ahmad al-Fathani, Dawud al-Fathani, dan Ismail al-Kelantani. Tiga ulama ini menjadi pentashih Tarjuman al-Mustafid yang diterbitkan di Istanbul, Mekah, dan Mesir pada abad 19.
Kridebelitas dan kontribusi Dawud Rumi tidak perlu diragukan. Ia dan temannya terpilih menjadi juru tulis Abdurrauf al-Sinkili yang konon sulit berbicara dan menulis dengan menggunakan bahasa Melayu karena telah lebih dari 20 tahun menetap dan menuntut ilmu di Timur Tengah yang notabene-nya berbahasa Arab.
Dawud Rumi yang merupakan keturunan Turki memiliki kecakapan berbahasa Persia, Arab, dan Melayu kerena telah menetap di Aceh. Untuk memuluskan komunikasi dan memudahkan proses penulisan tafsir Tarjuman al-Mustafid dan karya-karya Abdurrauf al-Sinkili yang lain direkrutlah Dawud Rumi sebagai sekretaris.
Peran dan sumbangsih Dawud Rumi terhadap Tarjuman al-Mustafid yang paling besar adalah menambahkan riwayat tentang kisah-kisah yang ia kutip dari tafsir al-Khazin dan menambahkan perbedaan para imam qiraat dalam membaca Al-Qur’an. Hal ini dituliskannya dibagian penutup tafsir Tarjuman al-Mustafid.
“Dan menambahi atasnya oleh sekecil-kecil muridnya dan sahin-sahin khadimnya itu yaitu Dawud Jawi anak Ismail anak Agha Musthafa anak Agha Ali Rumi diampuni Allah ta’ala jua kiranya sekalian mereka itu akan kisahnya yang diambil kebanyakannya daripada Khazin dan setengah riwayatnya pada khilaf qiraat dengan surahnya”.
Di samping membantu gurunya dalam menulis tafsir, Dawud Rumi juga berhasil menulis karya Risālat masā’il al-muhtadī li ikhwān al-muhtadī. Karya ini dijadikan sebagai buku pelajaran hampir di seluruh institusi pendidikan Islam di Aceh, Malaysia dan Thailand Selatan, terutama di daerah yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa harian. Dawud Rumi juga meninggalkan murid-murid intelektual di Aceh misalnya Nayan bin Fairuz al-Baghdadi dan Faqih Jalaluddin al-Asyi.
Keikutsertaan Dawud Rumi, seorang Ulama keturunan Turki dalam dunia penafsiran Al-Qur’an menunjukkan bahwa Aceh merupakan bandar yang ramai sekaligus pusat intelektual di Nusantara abad ke-17 dan turut membenarkan adanya hubungan persahabatan antara Aceh dan Turki. Tidak ada yang aneh memang, sebab banyak tokoh luar yang berkontribusi di Aceh, sebut saja nama Nuruddin al-Raniri (India) dan Fairuz al-Baghdadi (Iraq), dua orang mufti sebelum priode Abdurrauf al-Sinkili.