Ponpes Tebuireng di Jombang yang didirikan KH Hasyim Asy’ari pada tahun 1899 berperan penting dalam pembentukan bangsa dan gerakan kemerdekaan. Dengan peran historis itu Ponpes Tebuireng menduduki posisi strategis dalam merawat dan memperkuat semangat kebangsaan kita.
Kesimpulan itu muncul dalam diskusi antara Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dengan Pengasuh Ponpes Tebuireng KH Abdul Hakim Mahfudz, pada 25 Mei 2021.
Hadir dalam pertemuan tersebut antara lain Bupati Jombang Hj Mundjidah Wahab; Hj Lili Chodidjah Wahid sebagai dzuriyah KH Hasyim Asy’ari; Pengasuh Ponpes Ngemplak KH Halim Mahfudz; Sesditjen Kebudayaan Fitra Arda; Direktur Pengembangan dan Pemanfaatan Restu Gunawan; dan Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Judi Wahjudin.
Pendidikan sejarah dan semangat kebangsaan menjadi fokus utama dalam diskusi tersebut. Koreksi terhadap Kamus Sejarah Indonesia yang sempat mencuat dalam pemberitaan memang penting tapi yang lebih penting lagi adalah langkah-langkah konkret untuk menanamkan kesadaran sejarah di kalangan muda.
Penerbitan buku dan bahan pelajaran harus diiringi dengan berbagai kegiatan yang mendorong keterlibatan kalangan muda.
“Kesadaran sejarah sangat esensial untuk memperkuat semangat kebangsaan. Sejarah memberikan arah perjalanan kita sebagai bangsa karena mengingatkan kita ini datang dari mana, sekarang berada di mana, dan menuju ke mana,” ujar Hilmar.
“Dan dalam setiap periode ada tokoh dan peristiwa yang berperan penting dan menentukan jalannya sejarah, seperti KH Hasyim Asy’ari ketika membuat Resolusi Jihad di tahun 1945.”
Pertemuan tersebut juga menyepakati pengembangan Museum Islam Indonesia Hasyim Asy’ari (MINHA).
Ditjen Kebudayaan bekerjasama dengan Pemkab Jombang akan membantu pengelolaan museum ke depan. Programnya: memperkuat alur kisah dan tata pamer, melatih tenaga permuseuman dari lingkungan Ponpes Tebuireng dan masyarakat setempat, serta memperkuat kelembagaannya.
Pertemuan ditutup dengan kunjungan ke museum yang terletak di kompleks Ponpes Tebuireng.
KH Halim Mahfudz menyampaikan harapannya agar para ustdaz dan santri juga dilibatkan dalam pengelolaan museum.
“Perlu ada pelatihan bagi mereka agar bisa menyampaikan narasi sejarah Islam di Indonesia dengan benar,” kata Halim.
“Setiap hari ada ribuan orang yang berziarah ke sini. Karena itu posisi museum sebagai media pembelajaran sangatlah strategis.” (*)