Sedang Membaca
Amar Makruf Nahi Munkar, Dakwah dan Rambu-rambunya dalam Agama

Nahdliyin, menamatkan pendidikan fikih-usul fikih di Ma'had Aly Situbondo. Sekarang mengajar di Ma'had Aly Nurul Jadid, Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton, Probolinggo. Menulis Sekadarnya, semampunya.

Amar Makruf Nahi Munkar, Dakwah dan Rambu-rambunya dalam Agama

Banyak orang yang tak paham bahwa amar makruf nahi munkar dan dakwah ada dalam satu tarikan nafas yang sama. Kedua-keduanya memiliki hubungan keterkaitan yang sangat erat. Untuk menguatkan tesis ini, apa yang pernah disampaikan Fakruddin al-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib penting dikemukakan di sini. Ulama besar tersebut menulis:

الدَّعْوَةُ إِلَى الْخَيْرِ جِنْسٌ تَحْتَهُ نَوْعَانِ أَحَدُهُمَا: التَّرْغِيبُ فِي فِعْلِ مَا يَنْبَغِي وَهُوَ بِالْمَعْرُوفِ وَالثَّانِي: التَّرْغِيبُ فِي تَرْكِ مَا لَا يَنْبَغِي وَهُوَ النَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ فَذَكَرَ الْجِنْسَ أَوَّلًا ثُمَّ أَتْبَعَهُ بِنَوْعَيْهِ مُبَالَغَةً فِي الْبَيَانِ،

“Dakwah menyeru kepada kebaikan adalah sebuah jinis yang menaungi dua hal. Pertama, adalah memotifasi untuk melakukan kebaikan, kedua adalah memotivasi untuk mencegah dari seuah kemungkaran. Kami menyebutkan jinis yang pertama kemudian mengikutkan yang kedua macam itu secara sangat serius sebagai penjelasan”.

Secara lebih tegas, Ibnu Taimiyah juga memberi penjelasan bahwa amar makruf nahi munkar adalah esensi dari sebuah dakwah. Alasannya: orang yang berdakwah pasti meminta, menyeru dan menuntut pada sesuatu yang ia ajak. Itu semua, secara substasi adalah inti dari amar makruf sekaligus mencegah dari kemungkaran.

Dengan demikian, maka ada pedoman yang perlu diperhatikan dalam menjalankan amar makruf nahi munkar konsep dan metode dakwah dalam al-Quran dan al-Sunnah. Secara sarih, dalam al-Quran disebut bagaimana metode dakwah. Allah Swt. berfirman:

ادْعُ إِلى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Qs. Al-Nahl [16]: 125)

Dalam ayat di atas, disebut bahwa metode mengajak kepada “jalan” Allah Swt ada tiga. Pertama, adalah dengan hikmah. Menurut al-Baydawi sebagaimana dikutip al-Zuhaili, metode hikmah ini adalah metode untuk orang-orang tertentu (khawas) yang hendak mencari hakikat kebenaran. Kedua, adalah dengan mauizah hasanah, memberi penjelasan dengan tutur kata yang baik. Metode ini dipakai untuk masyarakat umum. Ketiga, berdebat dan berdialektika (mujadalah), yakni diperuntukkan bagi mereka yang secara tegas menolak ajaran agama dengan kesangsian-kesangsian. Namun demikian, sekeras apapun penentangan terhadap Islam, agama tetap mengajarkan agar berdebat dengan cara lemah lembut, logika agama yang terukur dan cara terbaik.

Baca juga:  Asmaul Husna (02): Ar-Rahim dan Kelebihannya

Metode lemah lembut dan welas asih, tujuannya tidak lain adalah untuk menenangkan hati dan merebut perhatian manusia. Jangankan itu, ketika mengisahkan Nabi Musa dan Harun yang hendak berdakwah kepada Firaun, seorang raja lalim di masa lalu saja al-Qur’an mengajarkan untuk berkata dengan penuh kelemah-lembutan. Allah Swt. berfirman:

فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (Qs. Thoha [20]: 44)

Dalam konteks ini al-Quran sedang menegaskan kembali posisi manusia yang amat lemah. Dalam masalah dakwah tugas manusia hanya menyampaikan urusan sadar adalah tugas Allah yang Maha Kuasa. Allah Swt. berfirman:

وَإِنْ تُكَذِّبُوا فَقَدْ كَذَّبَ أُمَمٌ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

Dan jika kamu (orang kafir) mendustakan, maka umat yang sebelum kamu juga telah mendustakan. Dan kewajiban rasul itu, tidak lain hanyalah menyampaikan (agama Allah) dengan seterang-terangnya.” (Qs. Al-Ankabut [29]: 18)

Dalam al-Sunnah, pedoman berdakwah dari nabi adalah dakwah yang memudahkan. Memberi solusi dan jalan kebahagiaan. Dalam sebuah kesempatan nabi bersabda:

سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ: إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا، وَسَكِّنُوا وَلَا تُنَفِّرُوا

Aku pernah mendengar Anas ibn Malik berkata bahwa Nabi pernah bersabda: Mudahkanlah jangan dipersulit, beri ketenangan jangan beri kegusaran”.

Dalam kesempatan lain, tepatnya ketika nabi hendak mengutus Muadz ibn Jabal juga bersabda:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وسلم قال لِمُعَاذٍ وَأَبِي مُوسَى حِينَ بَعَثَهُمَا إِلَى الْيَمَنِ: “بَشِّرَا وَلَا تُنَفِّرَا، وَيَسِّرَا وَلَا تُعَسِّرَا، وَتَطَاوَعَا وَلَا تَخْتَلِفَا”.

“Sesungguhnya Nabi Pernah berkata pada Muadz dan Abu Musa al-Asy’ari ketika keduanya diutus ke Yaman: Beri kabar bahagia jangan kabar duka, mudahkan jangan sukarkan, kompaklah jangan bercerai berai”.

Dari keterangan di atas, tampak jelas bahwa sejatinya Islam adalah agama yang memudahkan. Konsep kemudahan ini, juga berulang-ulang disebut dasar normatifnya dalam al-Qur’an. Misal:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.(Qs. Al-Baqarah [2]: 185)

Dan dalam firman Allah Swt. yang lain:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Qs. Al-Haj [22]: 78)

Setelah membahas terkait metode dakwah yang sebenarnya adalah bagian dari amar makruf nahi munkar, penulis juga akan membahas seperti apa kemungkaran yang perlu ditolak dan diingkari? pertanyaan ini penting agar tindakan menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran bisa terukur. Dalam beberapa keterangan, kemungkaran yang harus dingkari haruslah memenuhi sebagai berikut:

Baca juga:  Jenazah Ditolak, Tokoh Agama Tidak Bertindak

Kemungkaran tersebut adalah kemungkaran yang sudah disepakati bersama (Mujma’ alaih). Sesuatu yang masih ada indikasi perbedaan ulama di dalamnya maka tak bisa diklaim sebagai kemungkaran. Dalam sebuah kaidah fikih disebut:

لا ينكرالمختلف فبه ولكن ينكر المجمع عليه

“Tidak diperkankan mengikari sesuatu yang masih diperselisihkan akan tetapi dingkari sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan.”

Jika diperhatikan serius, syarat pertama Ini berkelindan erat dengan pembahasan sebelumnya, bahwa syarat utama dalam preseden amar makruf nahi munkar adalah bekal ilmu. Tanpa ilmu, seseorang tak mungkin tahu apakah sebuah perkara sudah disepakati keharamannya atau masih dalam perbedaan ulama (mukhtalaf fiha). Dengan ilmu pula, manusia bisa sadar bahwa luasnya horison agama, ada beragam pendapat ulama yang mungkin bisa dijadikan argumen atas tindakan mereka. Pendek kata, bekal ilmu dan pemahaman agama menjadi syarat utama dalam proses amar makruf nahi munkar.

Kedua, kemungkaran tersebut sedang terjadi—bahasa al-Ghazali Maujudan fi al-Hal. Dengan demikian, kemunkaran yang sudah dan akan terjadi tidak boleh diterapkan amar makruf nahi munkar. Hanya saja untuk kasus kemungkaran yang akan dilakukan oleh seseorang harus dicegah dengan batas minimal. Misalnya, seseorang hendak meminum khamer, maka orang lain perlu melarang tapi sewajarnya saja. Sebab ia bisa melakukan aksi mungkarnya atau bahkan menggagalkan rencananya.

Ketiga, kemungkaran diperoleh tidak melalui proses mencari-mencari kesalahan (tajassus). Artinya, jika orang melakukan kemaksiatan secara tersembunyi, tidak terang-terangan bahkan secara rapi maka tidak boleh bagi siapapun membuntutinya. Adapaun meneliti, mencari-mencari dan menguliti kesalahan orang lain Islam menganggapnya sebuah perbuatan tercela. Ini sebenarnya perwujudan ajaran Islam yang begitu menjaga privasi setiap manusia. Allah Swt. berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا

“Hai orang beriman! Hindarilah banyak berprasanka (kecurigaan), karena sebagian prasangka adalah itu dosa. Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain!”. (Qs. Al-Hujarat [49]: 12)

Dalam Ihya’ Ulumiddin, al-Ghazali menceritakan sebuah kisah ispiratif terkait mekanisme Amar makruf nahi munkar, suatu ketika Khalifah Umar ibn Khattab memanjat rumah seseorang, lalu ia melihat tuan rumah sedang melakukan perbuatan yang kurang baik (makruhah). Tahu ia dimata-matai Umar, tuan rumah itu berang bukan main seraya berkata:

Baca juga:  Dakwah Berwatak Gus Dur

“Wahai Amirul Mukminin, jika aku telah engkau anggap melakukan satu kemaksiatan, maka ketahuilah bahwa engkau melakukan tiga kemaksiatan sekaligus. Pertama, engkau-engkau mencari-cari kesalahanku (tajassus) padahal Allah dengan jelas melarang itu. Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا

“Hai orang beriman! Hindarilah banyak berprasanka (kecurigaan), karena sebagian prasangka adalah itu dosa. Dan janganlah mencari-cari kesalahan orang lain!”. (Qs. Al-Hujarat [49]: 12)

Kedua, jika hendak bertamu maka aturannya datang lewat pintu, sementara engkau naik ke atas loteng dan atap rumahku. Padahal Allah Swt. berfirman:

وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (Qs. Al-Baqoroh [2]: 189)

Ketiga, ketika mengunjungi rumah seseorang, ucapkan salam sementara engkau tidak. Padahal Allah Swt. berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. (Qs. Al-Nur [24]: 27)

Imam Fakhruddin al-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib memberi catatan menarik ihwal bagaimana amar makruf nahi munkar ini harus dijalankan. Menurutnya, Amar makruf, menyeru kebaikan akan menjadi buruk jika menyebabkan lahirnya kemungkaran begitupula nahi munkar, mencegah kemungkaran juga bisa menjadi buruk jika menambah kemungkaran.

Hari-hari ini kita dihadapkan dalam banyak kompleksitas dalam kehidupan termasuk kehidupan beragama, islamophobia, terorisme dan lain sebagainya mengepung umat Islam terutama mereka yang menjadi minortitas di berbagai negara barat. Maka, dalam setiap langkah dakwah dan perjuangannya haruslah bersikap hati-hati. Betapapun ajaran amar makruf nahi munkar adalah salah satu ajaran esensial dalam agama, ia tak boleh dijalankan secara serampangan tanpa aturan. Karena jika itu yang terjadi, yang tercoreng adalah ajaran agama. Padahal—seperti berulang kali disampaikan Abdullah ibn Bayyah—termasuk tujuan luhur agama (Maqasid al-Syariah) adalah memperbagus wajah dan tampilan Islam.[]

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top