Sedang Membaca
Tradisi Megengan dan Filosofinya
Achmad Dhani
Penulis Kolom

Mahasantri Mahad Aly Sa'iidusshiddiqiyah Jakarta; alumnus pesantren Al-Isti'anah Plangitan Pati.

Tradisi Megengan dan Filosofinya

Tradisi Megengan Di Pekalongan

Dalam tradisi masyarakat Jawa, “megengan berasal dari kata Megeng yang artinya adalah mencegah atau menahan. Sebuah rangkaian acara yang digelar untuk membersihkan diri manusia dari jeratan nafsu yang kian menestapakan. Dengan artian, diharapkan setelah acara megengan ini terlaksana dapat menjadikan diri manusia lebih siap lagi untuk beribadah dalam bulan Suci tersebut.

Megengan dilaksanakan pada bulan Sya’ban atau Ruwah. Dan beriringan setelah terlaksananya acara ruwahan saat momentum nisfu sya’ban. Walaupun ruwahan dan megengan sama-sama digelar pada bulan Sya’ban, namun masing-masing memiliki tujuannya sendiri.

Dan sekalipun tradisi Megengan ini bercokol dari masyarakat Jawa, namun setiap rangkaiannya terkadang berbeda-beda tata pelaksanaannya. Tergantung kondisi sosial dan budaya yang sudah ada. Namun, kesemuanya memiliki tujuan yang sama, yakni sebagai upaya menyambut bulan Mulia Ramadan.

Penulis ambil contoh dari daerahnya sendiri, yakni Grobogan. Pada daerah tersebut ada tiga rangkaian dalam pelaksanaan acara Megengan. Diantara rangkaiannya adalah: dimulai dengan membuat apem, lalu hajatan atau selametan, dan diakhiri dengan ziarah kubur sekaligus nyekar.

Dimulai dengan membuat Apem  di setiap masing-masing keluarga. Apem merupakan hidangan utama yang wajib ada di dalam berkat. Sekalipun apem tidak terlalu familiar dikalangan anak muda, namun menjadi salah satu komponen utama untuk melengkapi ritual Megengan.

Baca juga:  Ihwal Sarung: dari Mulai untuk Berdoa, Bergaya, hingga Bercinta

Membuat apem sangatlah filosofis. Apem berbahan dasar tepung beras. Sedangkan penamaannya, berasal dari kosa kata Arab, yakni Afwan yang berarti ampun atau maaf. Karena itu, apem adalah media untuk mengeskpresikan permohonan ampun  kita kepada Allah Swt. atas dosa-dosa yang telah diperbuat. Dan permintaan maaf atas kesalahan-kesalahan kita, baik disengaja ataupun tidak disengaja terhadap sesama.

Setelah itu, kemudian melaksanakan hajatan atau selametan di setiap rumah. Masing-masing keluarga mengundang tetangga sekitar untuk berkumpul di dalam rumahnya. Beramai-ramai membacakan tahlil, istighosah, dan doa-doa kepada keluarga yang telah meninggal. Hal ini akan dilaksanakan secara bergilir dari satu keluarga ke keluarga lainnya, dari satu rumah ke rumah lainnya.

Saat selesai mengundang tamu di rumahnya, maka tuan rumah akan menyediakan hidangan berupa berkat yang berisi makanan pokok. Berkat-berkat itu dihidangkan di depan para tamu undangan untuk dirapalkan bacaan-bacaan doa tersebut. Tujuan utama dari kegiatan ini, selain untuk bersedekah atas keluarga yang telah meninggal juga bentuk silaturrahmi kita untuk saling memberi dan meminta maaf kepada sesama. Agar saat memasuki bulan Raadhan nanti, kita lebih lapang dada dan khusu’ menjalankan ibadah.

Kemudian, puncak dari acara Megengan ini adalah ziarah ke makam leluhur dan sekaligus Nyekar. Biasanya dilakukan pada jum’at terakhir saat sore hari sebelum memasuki bulan Ramadan. Orang-orang akan berbondong-bodong menuju pemakaman untuk mengunjungi makam keluarga yang telah meninggal. Mereka akan membersihkan makam yang telah mengusang. Mencabuti rerumputan liar yang menjalar dan menggantikannya dengan menebarkan bunga-bunga setaman.

Baca juga:  "Igama" Napas Peradaban

Kegiatan mengunjungi makam keluarga yang telah meninggal ini, selain tujuannya untuk mendoakan mereka yang telah tiada juga sebagai pengingat bahwa kita suatu saat nanti pula akan menyusul mereka. Karena sesukses apapun kita hari ini, tiada bukan adalah jerih payah dan doa dari leluhur kita. Bila sewaktu mereka masih hidup kita tidak dapat maksimal berbakti kepada mereka, maka momen inilah yang tepat untuk melakukan hal tersebut. Kita berdoa dan mengaji untuk pahalanya kepada mereka, berarti hal itu adalah bukti bahwa kita berikhtiar untuk berbakti kepadanya.

Sedangkan kegiatan menabur bunga-bunga setaman dinamakan dengan istilah nyekar. Berasal dari kata sekar, artinya adalah kembang atau bunga. Walaupun menebar bunga di atas makam orang yang meninggal tiada memberi manfaat baginya. Namun hal ini tetap perlu dilaksanakan demi merawat tradisi yang telah berlangsung lama.

Karena dalam tradisi masyarakat Jawa, Nyekar umum dilakukan oleh mereka yang ingin doa restu atas tugas yang akan diembannya atau bahkan karena akan menghadapi suatu tugas yang berat. Dan hal ini tepat dalam momentum menyambut Ramadan. Selain mendapat restu, kondisi kita akan jauh lebih bersih dan penuh kekuatan.

Segala rangkaian acara dalam Megengan sudah selayaknya kita lestarikan bersama. Megengan adalah wujud konkret dari akulturasi antara budaya Jawa dengan ajaran Islam. Jawa yang penuh akan nilai filosofinya tak dapat kita singkirkan begitu saja. Justru karena itu, Islam datang untuk menyempurnakannya. Bukan untuk menghapus praktik-praktik yang sudah terbentuk lama dari para leluhur.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
2
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top