Sedang Membaca
Wayang, Medium Komunikasi dan Dakwah Lintas Kelas
Suraji
Penulis Kolom

Founder Ensiklojava dan Pegiat Jaringan GUSDURian

Wayang, Medium Komunikasi dan Dakwah Lintas Kelas

Gairah masyarakat menghadirkan pertunjukan wayang dalam acara-acara yang dianggap penting kembali meningkat. Wayang kerap hadir di acara keluarga seperti khitanan, nikahan, atau acara kampung seperti sedekah bumi, merti laut, atau rasulan. Demikian juga di acara peringatan 17-an, ulang tahun kabupaten, dies-natalis kampus, atau sekedar reuni angkatan sekolah.

Tidak hanya dalang senior yang tampil dalam pentas-pentas itu, para dalang yunior tak kalah laris belakangan ini. Di beberapa daerah di Jawa, misalnya, hampir setiap lokus komunitas memiliki dalang muda yang mulai eksis dan dibanggakan masyarakatnya. Surakarta, Yogyakarta, karesidenan Banyumas, karesidenan Pati, region Mataraman, atau Cirebonan, wayang seakan kembali mendapatkan momentum kebangkitan.

Gejala yang terjadi dalam rentang dasawarsa terakhir tersebut bisa dimaknai dari berbagai perspektif. Pertama, wayang tetap menjadi pertunjukan hiburan yang dinikmati banyak orang. Tingginya permintaan membuktikan bahwa meskipun biaya nanggap wayang dianggap mahal, namun kesenian ini tetap mendapatkan tempat di hati masyarakat.

Kesimpulan tersebut akan segera diikuti pertanyaan: jika hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan hiburan, mengapa masyarakat tetap menyalurkan hasratnya pada wayang?

Pertanyaan ini hendak meneliti faktor apa saja yang membuat masyarakat ingin mendapatkan nilai lebih daripada sekedar hura-hura.

Kedua, munculnya aktor-aktor seniman baru dalam pewayangan, baik dalang, sinden, atau wiyaga (musisi pengiring), menunjukkan proses regenerasi mengalami keberhasilan. Ini kabar gembira, terutama bagi orang-orang yang sempat khawatir akan redupnya seni tradisional ini seiring perjalanan waktu. Keberhasilan tersebut sekaligus menjadi bukti bahwa institusi pendidikan seni pewayangan dan karawitan, baik itu sekolah formal kejuruan, kampus seni, atau sanggar-sanggar seni yang ada, sukses menjalankan tugasnya.

Baca juga:  Hakikat Kemanusiaan dalam Karya Rupa Nasirun

Ketiga, ada nilai lebih yang tidak ditemukan masyarakat pada seni hiburan lain tapi diperoleh melalui wayang. Kelebihan itu berupa nilai edukatif dari pertunjukan; misalnya karena menyaksikan pentas wayang maka orang menjadi merasa tercerahkan atau memperoleh makna hidup dari mengikuti jalan ceritanya.

Belakangan memang terjadi inovasi dari segi penambahan unsur entertainment dalam pertunjukan wayang. Misalnya menghadirkan artis atau komedian untuk menenuhi kebutuhan hiburan. Tapi itu hanya komplementer saja. Setidaknya sisi entertain ini tidak menjadi dominan dalam seluruh rangkaian pertunjukan, sehingga secara keseluruhan wayang tetap menampilkan citra edukatifnya.

Nilai lebih lain yang barangkali didapatkan orang adalah pengakuan sosial. Dengan menanggap wayang atau sekedar menonotonnya saja, seseorang bisa saja sudah merasa puas karena dianggap telah peduli terhadap kebudayaan leluhurnya.

Terlepas dari sudut pandang semuanya itu, ada yang tidak berubah dari pertunjukan wayang hingga sekarang, yaitu fungsinya sebagai medium komunikasi massa. Maraknya pertunjukan wayang dengan gairah sambutan dari masyarakat luas menunjukkan bahwa proses kerja komunikasi tengah berjalan dengan baik. Antara penyampaian dan penerimaan pesan-pesan melalui wayang dapat diterima oleh berbagai pihak dan berbagai kalangan. Rakyat kecil, pejabat pemerintah, kelas bawah, kelas menengah maupun atas, semua sama di hadapan wayang.

Baca juga:  Cinta Rasulullah dan Penista Azan

Proses modernisasi yang kita alami semula diprediksikan akan melahirkan diskontinuitas sosial dan budaya. Yakni lahirnya masyarakat dengan formasi sosial baru yang sama sekali berbeda, atau mengalami keterputusan dengan formasi sebelumnya. Termasuk perubahan bentuk dan corak komunikasi antar manusia. Misalnya, karena kerja manusia sudah digantikan oleh mesin, atau karena adanya pembagian kerja berdasarkan pembedaan fungsinya di perusahaan atau prabrik, maka hubungan manusia lebih bercorak relasi profesional dan personal.

Namun, dari fakta pentas wayang yang digelar di kota-kota besar dan selalu megundang keramaian, hal ini menunjukkan masih bertahannya corak kolektivitas dalam budaya masyarakat kita.

Kita lihat akhir-akhir ini marak perusahaan-perusahaan di perkotaan besar, baik itu BUMN atau non-BUMN, yang menanggap wayang untuk acara tertentu. Lembaga-lembaga birokrasi di ibu kota negara kerap mengundang dalang untuk tampil mengiringi ajang sosialisasi antar pejabat atau pegawainya, yang tidak pernah sepi pengunjung dari luar. Fenomena ini jelas menandakan bahwa diskontinuitas budaya akibat modernisasi tidak sepenuhnya terjadi secara total, dan fungsi komunikasi dari pertunjukan wayang masih bertahan hingga sekarang.

Dalam konteks efektivitas, pertunjukan wayang merupakan medium komunikasi yang digdaya. Sekedar contoh di tingkat mikro, seorang lurah cukup dengan meminta dalang untuk memainkan lakon Pandhawa Syukur demi mengajak warga kampungnya untuk mewujudkan rasa terimakasihnya kepada sang Pencipta. Sementara warganya sendiri merasa senang dan terwakili ungkapan syukurnya dengan pertunjukan tersebut.

Baca juga:  Pranakan: Simbol Persaudaraan Abdi Ndalem Keraton

Efektivitas komunikasi terjadi manakala sebuah penyampaian pesan dapat diterima oleh audiens. Pesan tersebut meresap dalam tubuh (embodied) target komunikan, bukan sekedar dalam lintasan pikiran tapi terinternalisasi dalam kesadaran.

Terakhir, aspek lain yang menyebabkan wayang tetap memiliki daya magnetis secara kultural adalah balutan estetikanya. Sentuhan seni lah yang membuat transmisi nilai-nilai melalui pertunjukan wayang tidak berwatak indoktrinatif.

Pendek kata, wayang tidak sekedar menjadi tontonan tapi juga tuntunan. Inilah hakikat sebenarnya dari wayang sebagai sarana dakwah. Orang mau menerima nilai-nilai kebajikan tanpa merasa digurui.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top