Membincang Gus Dur, tak bisa dilepaskan dari karya dan lakon kehidupannya yang sarat makna dan hikmah. Gus Dur adalah seorang dengan banyak gelar dan julukan yang multidimensi. Gus Dur juga menyabet banyak penghargaan internasional karena ketekunannya menulis dan melontarkan gagasan yang mewarnai peradaban dunia modern. Salah satu tulisan Gus Dur yang patut dijadikan renungan kita bersama adalah bertajuk “Doktrin dan Tembang” yang termuat di dalam bukunya berjudul “Islamku, Islam Anda, Islam Kita” (Terbitan The Wahid Institute, 2006).
Artikel Gus Dur itu diawali dengan prolog yang epik dengan panorama peradaban Jawa pesisir. Di mana dalam budaya Jawa, terkenal tembang anak-anak “Lir-ilir”. Saking terkenalnya tembang itu, sering terdengar dibawakan bocah angon (anak gembala ternak) di atas punggung kerbau pada sebuah sawah yang sedang kering kerontang di musim kemarau. Pun hingga zaman modern, tembang itu diputar di radio-radio dan diaransement ulang hingga disiarkan di TVRI. Gus Dur hendak menjabarkan kaitannya tembang klasik Lir-Ilir yang ditulis Sunan Ampel dengan dakwah keimanan yang mengandung nilai ketauhidan dan spiritualitas yang membumi bagi masyarakat Jawa kala itu.
Menarik mengungkap latar belakang, kenapa Gus Dur tiba-tiba saja kembali mengelaborasikan tembang “Lir-Ilir” ke dalam sebuah wacana nasional. Ini tak lepas bahwa artikel itu hendak mengungkap praktik sosial, di mana setiap pilihan bahasa menyebabkan hubungan yang saling berkaitan antar peristiwa yang terjadi yang memiliki sifat melepaskan diri dari sebuah realitas dan struktur sosial. Penciptaan tembang Lir-Ilir merupakan strategi dakwah yang brilian, karena menyisir aspek kebudayaan masyarakat di tengah masa kejayaan Majapahit. Lewat tembang itu, Islam pelan-pelan dipelajari masyarakat dengan sendirinya secara sukarela tanpa paksaan.
Gus Dur menafsirkan tembang Lir-Ilir tak lain merespons situasi panas yang dihadirkan kelompok Islam garis keras semacam JI dan FPI yang kala itu melakukan beberapa tindak kekerasan atas nama Islam yang terjadi di berbagai penjuru negeri.
Seolah-olah kekerasan yang dilakukan itu merupakan strategi dakwah satu-satunya di abad ini, padahal bagi Gus Dur itu sama halnya tindakan kriminal. Mana ada dakwah macam preman seperti aksi kekerasan, bom bunuh diri, sweeping dan sejenisnya. Bagi Gus Dur, satu-satunya alasan penggunaan kekerasan yang bisa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka (idza ukhriju min diyarihim), itu pun masih diperdebatkan oleh sebagian ulama.
Gus Dur menjabarkan bahwa Walisongo kala itu, dengan sengaja mengusahakan hak bagi para penganut agama Islam untuk bisa hidup di hadapan raja-raja yang sedang berkuasa di Pulau Jawa. Cara mengusahakan agar hak hidup itu diperoleh, adalah dengan mengajarkan bahwa kaum muslimin dapat saja mempunyai raja/penguasa non-muslim. Seperti Sunan Ampel mengakui keabsahan Brawijaya yang beragama HinduBuddha (Bhairawa). Inilah yang akhirnya membuat Brawijaya V beragama Islam pada masa akhir hayatnya dengan gelar Sunan Lawu.
Bila ditarik garis hubungnya, Gus Dur menilai bahwa penekanan dakwah pada pendekatan budaya lebih unggul dan aplikatif ketimbang pendekatan ideologis formalistik yang berbau politik bila diterapkan kepada masyarakat Nusantara. Buktinya jelas, dakwah Walisongo mampu mengislamkan sebagian besar penduduk Jawa yang mayoritas sebelumnya beragama Hindu, Budha, penyembah berhala hingga Ateis.
Dalam kerangka “membudayakan” salah satu dakwah Islam ala Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebuah doktrin sentral dikemukakan melalui sebuah tembang anak-anak Lir-Ilir. Doktrin yang dimaksud pandangan kaum Sunni tradisional itu ialah adanya kewajiban tunduk kepada pemerintah oleh semua kaum muslimin tanpa pandang bulu. Di kalangan mereka ada ungkapan “para penguasa lalim untuk masa 60 tahun, masih lebih baik dari pada anarki sesaat (imâmun fâjirun sittîna âmman khairun min faudhâ sâ ‘atin).”
Gus Dur lalu menjelaskan bahwa doktrin tersebut oleh Sunan Ampel dimasukkan dalam tembang “Lir-ilir”, dalam ungkapan yang sesuai dengan budaya penguasa Jawa di Majapahit. Makna tembang tersebut yaitu blimbing untuk mencuci pakaian yang sobek pinggirnya, perlambang rakyat yang tidak mempunyai kekuasaan apapun. Baju sobek itu dipakai untuk menghadap raja (seba), karena lingkaran menghadap raja masih lebar, dan sinar rembulan menyinari lingkaran (pumpung jembar kalangane, pumpung padang rembulane). Tampak di situ bagaimana Sunan Ampel menggunakan simbol-simbol budaya Jawa dalam hubungan masyarakat dengan penguasa, yang sama sekali tidak ideologis.
Di satu sisi tembang Lir-Ilir menunjukkan aspek kebudayaan Jawa namun di sisi lainnya, tembang itu bermuatan dakwah filosofis yang berisi ajaran Islam. Yakni Lir-Ilir bermakna jihad fi sabilillah, Jihād adalah perjuangan di jalan Allāh atau, perbuatan baik untuk tujuan mulia dengan penuh kesungguhan. Ini menandakan makna jihad bukan melulu pada perang melawan non muslim seperti yang digemborkan kalangan Islam garis keras.
Sungguh keliru, jika ada orang yang meyakini Jihad sebagai cara untuk memaksa non Muslim masuk Islam. Keyakinan seperti ini bukan hanya bertolak belakang dengan akal sehat, tapi juga bertabrakan dengan nurani kemanusiaan [tarfaḍuh absat al-‘uqūl wa ṭabâ`i’ al-umūr], karena keyakinan agama tidak akan bisa kokoh dan tumbuh subur dengan paksaan.
Dalam bahasa rekan Gus Dur, yakni Cak Nun, ia memaknai ‘Cah Angon’ sebagai seorang santri yang bertugas mendakwahkan Islam secara sungguh-sungguh dengan keteladanan. Di mana santri itu harus siap melewati aral tintang sekalipun diibaratkan memanjat pohon belimbing—buahnya memiliki gerigi lima buah yang makna filosofisnya diamsalkan lima Rukun Islam. Meskipun licin dan susah namun santri harus tetap memanjatnya untuk menjalankan Rukun Islam serta berdakwah di tengah masyarakat lewat akhlakul karimah. Baju sobek digambarkan sebagai kewajiban santri serta umat Islam senantiasa merefresh keimanan dan amal saleh sehingga betul-betul siap tatkala kapan saja dipanggil kehadapan Ilahi dalam khusnul khatimah.
Gus Dur menekankan dalam pendekatan yang menggunakan strategi budaya tadi, kaum muslimin tidak diseyogyakan menggunakan ideologi untuk mengubah kultur masyarakat atas nama agama. Biarlah struktur itu, berubah dengan sendirinya melalui pranata-pranata lain, sejarah jualah yang akan menunjukkan kepada kita perubahan-perubahan yang akan terjadi.
Karenanya, strategi semacam ini selalu berjangka sangat panjang, dan meliputi masa yang sangat panjang pula, yaitu berubah dari generasi ke generasi. Tak ayal, dakwah kultural seperti apa yang dijalankan Walisongo lewat pelbagai tembang dan kesenian terbukti efektif meresap ke dalam sanubari masyarakat Jawa sehingga hal demikian patut dilestarikan dengan inovasi dan strategi kultural lainnya di kalangan mubaligh Islam untuk berdakwah di jagat digital di era globalisasi sekarang.
*) Artikel ini adalah hasil kerja sama alif.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama