Suatu hari Imri’ul Qays, seorang pujangga Arab di zaman Jahiliyyah, hendak bepergian. Dia menitipkan harta bendanya yang berupa senjata, pakaian perang, dan lain-lain kepada pria bernama Samuel bin Adiya’.
Beberapa waktu berlalu, Imri’ul Qays tak kunjung datang. Muncul desas-desus dia mati.
Benar saja. Tak lama kemudian salah satu panglima perang Kerajaan Hirah (sebuah kerajaan Arab sebelum Islam) datang ke rumah Samuel dan meminta agar ia menyerahkan harta benda Imri’ul Qays.
Tapi Samuel menolak menyerahkannya kecuali kepada orang yang berhak. Ia masuk ke dalam rumahnya dan berlindung di balik dindingnya. Terjadilah perang kecil-kecilan di perkampungan Arab Selatan yang damai itu.
Di tengah pengepungan itu, Panglima dari Hirah tiba-tiba melihat putra Samuel hendak masuk ke rumah. Kontan saja putra Samuel itu dipungut dan dijadikan sandera. “Hei, Samuel! Serahkan atau kubunuh anakmu.”
Samuel mengintip jendela. “Aku tidak akan mengingkari janjiku,” kata Samuel.
Tanpa pikir panjang, Jenderal Hirah itu membunuh putra Samuel. Namun, bak ular kekenyangan, Samuel sama sekali tak bergeming. Akhirnya Jenderal itu kalah oleh kegigihan Samuel. Jenderal itu pun pulang.
Tak lama setelah kejadian itu, ahli waris Imri’ul Qays datang mengambil harta itu. Mereka kaget sekali melihat loyalitas Samuel. Kisah ini pun melegenda. Hingga akhirnya muncul pepatah yang digunakan kepada orang loyal, “loyal seperti Samuel.” (Sumber: Majma’ul Amtsal karya Al-Midani)