
Dalam arus globalisasi yang kian deras, di mana dunia seolah terhubung dalam satu jaringan digital yang tak terbatas, manusia modern justru sering kali merasa terasing dari dirinya sendiri dan dari sesamanya. Teknologi, meski memudahkan komunikasi, kerap mengikis kedalaman relasi manusia. Di tengah kondisi ini, tradisi slametan, sebuah ritual kebersamaan yang berasal dari budaya Jawa, menawarkan sebuah refleksi filosofis yang mendalam tentang arti kebersamaan, rasa syukur, dan harmoni dalam kehidupan. Slametan bukan sekadar ritual; ia adalah sebuah filosofi hidup yang mengajarkan kita untuk merenungkan kembali makna keberadaan kita dalam relasi dengan sesama, alam, dan Sang Pencipta.
Secara harfiah, slametan berasal dari kata slamet yang berarti selamat, sejahtera, atau damai. Ritual ini biasanya dilakukan dengan mengundang tetangga, kerabat, dan sahabat untuk berkumpul, berdoa, dan makan bersama. Meskipun berasal dari tradisi Jawa, nilai-nilai yang terkandung dalam slametan bersifat universal dan relevan dengan konteks kekinian. Dalam pandangan filsuf Barat seperti Martin Heidegger, manusia adalah Dasein (berada-di-dunia), yang berarti keberadaan manusia selalu terikat dengan dunia sekitarnya. Heidegger menekankan bahwa manusia tidak bisa dipahami sebagai entitas yang terisolasi, melainkan sebagai makhluk yang selalu berada dalam relasi dengan orang lain dan lingkungannya. Slametan, dalam hal ini, adalah manifestasi konkret dari Dasein—sebuah upaya untuk menciptakan ruang di mana manusia bisa merasakan keberadaannya secara utuh melalui kebersamaan dengan sesama.
Di sisi lain, filsuf Muslim seperti Al-Ghazali dalam karya monumentalnya, Ihya Ulumuddin, mengajarkan bahwa kebersamaan dan silaturahmi adalah bagian integral dari kehidupan spiritual. Al-Ghazali menekankan pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama manusia sebagai bentuk ibadah sosial. Slametan, dengan esensinya yang mengedepankan kebersamaan dan doa bersama, sejalan dengan ajaran Al-Ghazali ini. Ritual ini tidak hanya memperkuat ikatan sosial, tetapi juga mengingatkan kita bahwa kebahagiaan dan keselamatan tidak bisa diraih secara individualistik. Kita membutuhkan orang lain, dan dalam kebersamaan itulah kita menemukan makna hidup yang lebih dalam.
Dalam konteks dunia modern, di mana individualisme dan materialisme sering kali mendominasi, slametan menawarkan sebuah kontra-narasi yang segar. Filsuf Prancis, Jean-Paul Sartre, dalam bukunya Being and Nothingness, menyatakan bahwa “manusia dikutuk untuk bebas.” Kebebasan ini, menurut Sartre, sering kali membuat manusia merasa terasing dan cemas karena ia harus menciptakan makna hidupnya sendiri. Namun, slametan mengajarkan bahwa makna hidup tidak harus dicari sendirian. Dalam kebersamaan, kita menemukan kekuatan untuk menghadapi ketidakpastian hidup. Slametan adalah sebuah ruang di mana kita bisa berbagi kegelisahan, harapan, dan doa, sehingga beban hidup terasa lebih ringan.
Tradisi slametan juga mengajarkan kita tentang pentingnya rasa syukur. Dalam ritual ini, makanan yang disajikan bukan sekadar hidangan fisik, melainkan simbol rasa syukur atas berkah yang telah diterima. Filsuf Jerman, Immanuel Kant, dalam Critique of Practical Reason, menekankan bahwa rasa syukur adalah salah satu bentuk pengakuan atas kebaikan yang kita terima dari orang lain atau dari alam semesta. Slametan, dengan doa-doa yang dipanjatkan, mengingatkan kita untuk tidak melupakan sumber segala berkah, yaitu Tuhan. Dalam dunia modern yang sering kali mengukur segala sesuatu dengan materi, slametan mengajak kita untuk kembali kepada spiritualitas dan rasa syukur yang tulus.
Selain itu, slametan juga mengandung nilai-nilai ekologis yang relevan dengan isu-isu kontemporer.
Dalam tradisi ini, makanan yang disajikan biasanya berasal dari hasil bumi setempat, yang mencerminkan harmoni antara manusia dan alam. Filsuf Norwegia, Arne Naess, dalam konsep Deep Ecology-nya, menekankan bahwa manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasa atasnya. Slametan, dengan menghidangkan makanan lokal dan alami, mengajarkan kita untuk menghargai dan merawat alam sebagai sumber kehidupan. Dalam konteks krisis lingkungan yang kita hadapi saat ini, nilai-nilai ini menjadi semakin penting.
Namun, relevansi slametan tidak hanya terletak pada nilai-nilai filosofisnya, tetapi juga pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan perubahan zaman. Di era digital, misalnya, slametan tidak harus dilakukan secara fisik. Kita bisa memanfaatkan teknologi untuk mengadakan slametan virtual, di mana doa dan kebersamaan tetap bisa dirasakan meskipun secara jarak jauh. Adaptasi ini menunjukkan bahwa slametan bukanlah tradisi yang kaku, melainkan sebuah praktik hidup yang dinamis dan mampu merespons tantangan zaman.
Dalam konteks masyarakat yang semakin plural, slametan juga bisa menjadi sarana untuk membangun toleransi dan dialog antaragama. Meskipun berasal dari tradisi Jawa yang kental dengan nuansa Islam, slametan bisa dimaknai secara lebih luas sebagai sebuah ritual kebersamaan yang melampaui batas-batas agama dan budaya. Filsuf Jerman, Jürgen Habermas, dalam teori Komunikatif Action-nya, menekankan pentingnya dialog sebagai sarana untuk mencapai pemahaman bersama. Slametan, dengan sifatnya yang inklusif, bisa menjadi medium untuk memperkuat kohesi sosial dalam masyarakat yang majemuk.
Pada akhirnya, slametan adalah sebuah tradisi yang kaya akan makna filosofis dan spiritual. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya kebersamaan, rasa syukur, harmoni dengan alam, dan adaptasi terhadap perubahan. Dalam dunia modern yang sering kali membuat kita merasa terasing dan terfragmentasi, slametan menawarkan sebuah ruang di mana kita bisa menemukan kembali makna hidup yang utuh dan holistik. Sebagaimana dikatakan oleh filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, “Dalam setiap tradisi, ada kebijaksanaan yang abadi.” Slametan, dengan segala nilai yang terkandung di dalamnya, adalah salah satu bentuk kebijaksanaan itu—sebuah tradisi yang tetap relevan dan bermakna, bahkan di tengah gempuran modernitas.