Jahilyah yang berarti bodoh, bukanlah julukan yang disematkan kepada bangsa arab karena kebodohan mereka akan ilmu-ilmu pengetahuan. Julukan tersebut didasarkan atas kelemahan etika mereka pada saat itu sebab belum mengenal Islam. Bahkan jauh sebelum Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad, Masyarakat Arab telah lama bergelut dengan sastra berupa puisi. Kepiawaian penyair-penyair padang pasir itu menjadikan sastra arab kuno (baca: jahiliyah) tetap menarik diteliti dan dikembangkan hingga saat ini. Salah satu syair monumental yang masih lestari sampai sekarang adalah Al-Mu’allaqāt.
Al-Mu’allaqāt (yang digantung) merupakan kumpulan puisi para penyair terbaik jahiliyah yang ditulis dengan tinta emas dan digantung di ka’bah sebagai bentuk penghormatan kepada penyairnya. Maka pantaslah andai kita mengatakan bahwa Ka’bah merupakan saksi bisu betapa diagungkannya syair-syair Al-Mu’allaqāt itu. Tercatat ada 7 penyair yang namanya diabadikan sebab syairnya “lolos kurasi” yakni Umru al-Qais, Tarafah bin Abid, Harits bin Khilizah, Amru bin Kultsum, Zuhair bin Abi Sulma, Antarah bin syaddad dan Labid bin Rabi’ah. Nama terakhir, Labid bin Rabi’ah adalah satu-satunya penyair yang menjadi bukti betapa hidupnya sastra arab masa jahiliyah sebab ia hidup dalam dua masa yaitu masa jahili dan Islam sampai-sampai ia memiliki julukan “Al-Mukhadramun”. Setelah Islam hadir, ia pun memeluknya dan tak melupakan sejarah hidupnya dahulu sebagai penyair jahiliyah.
Bukan sebuah kebetulan Allah menjadikan bangsa Arab sebagai salah satu bangsa yang cinta bahkan gila sastra. Al-Qur’an Allah turunkan di tengah-tengah bangsa arab (Makkah-Madinah). Al-Qur’an pun diturunkan dengan berbahasa arab dan bersastra kualitas super. Maka mungkin saja, sastra arab, Al-Mu’allaqāt salah satunya, adalah bentuk persiapan yang telah Allah rencanakan untuk menyambut kedatangan Al-Qur’an.
Terlebih dahulu Allah mendidik jiwa kepenyairan masyarakat arab agar mereka dapat membandingkan karyanya dengan Al-Qur’an. Jika Allah tak menjadikan mereka sebagai bangsa yang paham mendalam soal sastra, niscaya sulit bagi mereka memahami sifat ke-sastraan Al-Qur’an. Bukankah Al-Qur’an diturunkan salah satunya untuk meng-i’jaz (melemahkan) kaum pagan arab itu? Seperti kisah Labid bin Rabi’ah, nama terakhir dari tujuh penyair Al-Mu’allaqāt, konon ia berhenti menulis puisi setelah memeluk agama Islam dengan alasan bahwa Tuhannya (Allah) telah menurunkan Al-Qur’an yang begitu putik dan agung sampai mebuatnya terkesima. Kesadarannya menuntun akalnya bahwa syair-syair terbaik pada masanya dulu kalah telak dengan wahyu suci itu.
Mari baca dengan seksama Al-Baqarah ayat 23 berikut: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” Sangat jelas, Allah menantang kaum pagan arab dengan sastra. Menantang artinya adu kemampuan dalam satu hal yang sama-sama dikuasai. Maka sangat tidak mungkin Allah menantang seseorang dengan sesuatu yang tidak dikuasai oleh orang tersebut. Ibarat penyair menantang tunaaksara untuk membuat puisi. Atau ibarat petani menantang nelayan untuk menanam padi.
Sebagaimana yang telah jamak diketahui, bahwa Allah adalah produsen skenario terbaik sepanjang masa. Maka tak bijak andai kita semaunya saja membuang dan tak memperhitungkan sastra-sastra peninggalan zaman jahiliyah semata-mata karena ia peninggalan masyarakat arab jahiliyah. Lebih jauh dari itu, sastra jahiliyah memiliki peran penting dalam penyambutan turunnya Al-Qur’an al-Karim. Dengan terbiasanya masyarakat arab dengan peristiwa sastra, tentu akan semakin mudah Al-Qur’an meresap pada relung-relung jiwa mereka.
seperti pemilik kemukjizatannya yang telah menyinari dunia bahkan sebelum kelahirannya, Alquran sudah mukjizat sebelum diturunkan.