Sedang Membaca
Jawa sebagai Tanah Suci Metaforis
Ren Muhammad
Penulis Kolom

Ren Muhammad adalah pendiri Khatulistiwamuda dan penulis buku. Tinggal di Jakarta, menjabat Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institut.

Jawa sebagai Tanah Suci Metaforis

Jawa sebagai Tanah Suci Metaforis

JAWADWIPA sejak dulu kala, kerap kali dikenal sebagai tanah yang gemah ripah akan spiritualitas dan mistisisme. Berbagai ajaran, baik dari agama-agama yang datang dari luar maupun tradisi lokal, menemukan tempat dan menyatu dalam kebudayaan Jawa, menjadikan pulau ini sebagai sebuah “Purwa Bhumi.” Konsep ini melampaui sekadar kepercayaan atau praktik keagamaan; ia meresap ke dalam cara hidup, nilai-nilai moral, dan filsafat yang dipegang oleh masyarakatnya. Jawa menjadi simbol dari tempat di mana manusia berusaha memahami hubungan dengan Hyang Ilahi dan menemukan keseimbangan antara dunia materi dan spiritual.

Bagi masyarakat Jawa, pengalaman hidup tidak hanya terbatas pada hal-hal fisik, tetapi juga menyangkut dunia spiritual yang saling berkaitan. Salah satu ajaran lokal, Sastra jen Rahayu ning rat Pangruwat ing Diyu, menekankan pentingnya memahami “keindahan semesta untuk meruwat keangkaramurkaan.” Dalam filsafat ini, Jawa bukan hanya sekadar lokasi geografis, tetapi juga tempat untuk menemukan kedamaian batin dan keterhubungan dengan Hyang Maha Kuasa. Dengan demikian, Jawa dianggap sebagai tanah yang sakral dan metaforis, tempat di mana spiritualitas sejati dapat ditemukan.

Para pemikir Jawa sering menggambarkan pulau ini sebagai cerminan dari hubungan antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta). Dalam kosmologi Jawa, manusia diharapkan untuk hidup dalam harmoni dengan alam dan menghormati kekuatan yang lebih besar dari dirinya. Kepercayaan akan adanya kekuatan-kekuatan spiritual ini bukan hanya sekadar aspek dari budaya Jawa, melainkan juga merupakan bentuk pencarian makna hidup. Oleh karena itu, Jawa sebagai “palemahan agung” menjadi simbol dari tempat di mana keseimbangan tersebut bisa dicapai, baik oleh penduduk atmanagari maupun mereka yang datang mencari makna.

Pandangan tentang Jawa ini diperkuat oleh ajaran-ajaran mistik Islam yang menyatu dengan tradisi Jawa, seperti yang diajarkan oleh Ibn ‘Arabi dan konsep Wahdatul Wujud atau “kesatuan wujud.” Dalam konteks ini, Tuhan dipandang sebagai sumber dari segala sesuatu, dan seluruh alam semesta adalah pengejawantahan dari Yang Satu. Ajaran ini diadaptasi oleh ulama Jawi seperti Syeikh Siti Jenar dan Syeikh Burhanpuri, kemudian mengembangkan ajaran Martabat Tujuh yang dikenal luas di seantero Jawa. Dengan demikian, Jawa menjadi sebuah pusat spiritual di mana ajaran-ajaran dari luar dapat beradaptasi dan menemukan bentuk baru yang lebih sesuai dengan jiwa lokal.

Perkawinan antara ajaran lokal dan Islam ini menciptakan bentuk baru dari agama yang unik di Jawa, yang sering disebut sebagai Kejawen. Dalam ajaran ini, unsur-unsur Hindu, Buddha, dan Kapitayan bercampur dengan nilai-nilai Islam untuk menciptakan sebuah sistem kepercayaan yang kompleks dan kaya akan simbolisme. Kejawen menempatkan pentingnya keseimbangan antara ibadah kepada Tuhan dengan praktik kehidupan sehari-hari, sehingga nilai-nilai lokal tidak terpinggirkan. Di sinilah letak keunikan Jawa sebagai tanah suci, di mana nilai-nilai asli masyarakatnya tetap hidup berdampingan dengan nilai agama yang datang kemudian—Islam dalam hal ini.

Selain Islam, pengaruh Hindu-Buddha juga sangat kuat di Jawa dan turut membentuk pandangan masyarakat akan tanah mereka sebagai tempat yang sakral. Candi-candi besar seperti Borobudur dan Prambanan menjadi bukti sejarah akan masa-masa ketika Hindu-Buddha menjadi agama dominan di pulau ini. Bagi masyarakat Jawa, candi-candi itu bukan sekadar bangunan, namun tempat untuk berhubungan dengan dunia spiritual. Mereka menjadi simbol dari pencarian akan kesucian dan tempat bagi jiwa untuk mencapai pencerahan, menjadikan Jawa sebagai tanah yang merekam jejak ajaran ini tetap hidup hingga kini.

Baca juga:  Yang Menyangga, yang Tak Terbaca: Mengulik Sejarah Minor Nusantara

Mitologi dan legenda lokal turut memperkuat anggapan Jawa sebagai tanah suci. Cerita-cerita tentang tokoh-tokoh seperti Semar, Kresna, dan Kangjeng Ratu Kidul melambangkan nilai-nilai kebijaksanaan, keberanian, dan keterhubungan dengan alam gaib. Semar, misalnya, dikenal sebagai tokoh yang bijaksana dan suci, yang seringkali muncul untuk memberi petunjuk kepada para raja dan ksatria. Tokoh-tokoh ini menjadi lambang dari nilai-nilai spiritual yang diajarkan secara turun-temurun di Jawa dan menjadi bagian dari identitas spiritual penduduk di pulau ini.

Jalinan Pusaka Hidup (DNA, Deoxyribonucleic Acid) spiritual orang Jawa, sejatinya berakar pada pandangan hidup yang mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan ketenangan batin. Dalam tradisi Kejawen, misalnya, orang Jawa percaya bahwa manusia harus hidup harmonis dengan alam, sesama manusia, dan kekuatan gaib yang mengelilingi mereka. Keyakinan ini mencerminkan konsep “Manunggaling Kawula Gusti,” yakni penyatuan antara manusia dengan Tuhan, di mana keduanya tidak hanya terhubung secara ritual tetapi juga secara batiniah. Prinsip ini menekankan pentingnya telaah diri, tirakat (puasa atau laku spiritual), dan meditasi sebagai jalan untuk mencapai kesucian jiwa.

Masih di pulau yang sama, kita punya corak spiritualitas dalam budaya Sunda yang juga sangat erat kaitannya dengan konsep harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Ajaran spiritual yang dikenal dalam budaya Sunda, terutama pada masyarakat Baduy atau Kanekes, kabuyutan dan kasepuhan, disebut Sunda Wiwitan. Sunda Wiwitan mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan alam, menghormati leluhur, dan hidup sederhana tanpa mengejar hal-hal duniawi yang berlebihan. Filosofi ini tercermin dalam istilah “Cageur, Bageur, Bener, Pinter, dan Singer”–yang berarti sehat, baik, benar, cerdas, dan penuh rasa syukur–sebagai pedoman hidup.

Spiritualitas Sunda menekankan konsep Sang Hyang Kersa atau “Hyang Maha Kuasa,” kekuatan tertinggi yang dianggap sebagai sumber dari segala sesuatu. Masyarakat Sunda percaya bahwa Sang Hyang Kersa memberikan energi kehidupan yang mengalir di alam semesta. Karena itu, mereka menjaga hutan, sungai, dan gunung sebagai tempat suci, penuh dengan nilai spiritual, yang tidak boleh dirusak.

Upacara-upacara adat, seperti Ngaseuk Pare (menanam padi), Seren Taun (perayaan panen), dan Seba (ziarah tahunan), adalah contoh bagaimana spiritualitas Sunda menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Melalui ritual-ritual ini, mereka menghormati roh leluhur dan memohon berkah serta keselarasan dengan alam. Kepercayaan ini menggambarkan penghormatan tinggi terhadap segala makhluk dan alam, yang dianggap sebagai manifestasi dari Sang Hyang Kersa, dan menegaskan pandangan bahwa menjaga kesucian alam adalah tanggung jawab spiritual mereka.

Akar kebudayaan Sunda berasal dari perpaduan antara warisan leluhur lokal yang telah hidup di Tatar Sunda selama ribuan tahun, dengan pengaruh agama dan budaya yang datang dari luar, seperti Hindu, Buddha, dan Islam. Kebudayaan Sunda tumbuh dari nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di antara suku-suku yang mendiami kawasan ini sejak masa prasejarah. Bukti keberadaan budayanya terlihat pada peninggalan arkeologis, seperti situs-situs megalitik di Gunung Padang (5000 SM) dan Lebak Cibedug, yang mengindikasikan bahwa masyarakat Sunda awal telah memiliki hubungan spiritual mendalam dengan alam.

Pada era keratuan, budaya Sunda semakin berkembang melalui pengaruh Kerajaan Tarumanegara (abad ke-4 M) dan kemudian Keratuan Sunda, yang menjadi pusat budaya, politik, dan spiritualitas Sunda. Di bawah pemerintahan keratuan ini, nilai-nilai luhur seperti keberanian, keadilan, kesederhanaan, dan harmoni dengan alam dan sesama makin mengakar dan tercermin dalam berbagai seni, bahasa, dan tradisi Sunda.

Baca juga:  Kota Islam (20): Hamedan dan Jejak-jejak Persia Kuno Hingga Islam

Setelah kehadiran Islam ke tanah Sunda pada abad ke-15 M, kebudayaan Sunda lantas mengadopsi nilai-nilai baru tanpa kehilangan identitas aslinya. Hingga kini, kepercayaan-kepercayaan tradisional Sunda, seperti Sunda Wiwitan di Baduy, serta tradisi adat seperti seren taun dan nilai silih asih, silih asah, silih asuh masih tetap lestari, menjadikan akar kebudayaan Sunda sebagai perpaduan unik dari kearifan lokal dan pengaruh luar yang menyatu secara harmonis.

Spiritualitas di Tanah Jawa sebenarnya banyak dipengaruhi perpaduan berbagai ajaran seperti Hindu, Buddha, dan Islam yang datang ke sini. Membentuk sikap spiritual orang Jawa yang lentur, tenggang rasa, dan sarat kearifan lokal. Jalinan Pusaka Hidup spiritual ini juga tecermin dalam sikap “nrimo ing pandum” atau menerima apa yang diberikan oleh kehidupan dengan lapang dada (tawakal dalam Islam), yang menjadi landasan untuk mengelola emosi dan menerima kenyataan dengan sabar. Kombinasi dari nilai-nilai ini menciptakan karakter spiritual yang kuat dan terhubung dengan alam dan tradisi leluhur kita.

Sebagai tanah yang semarak akan berbagai ajaran spiritual, Jawa menjadi tempat di mana banyak orang dari berbagai latar belakang budaya dan agama datang untuk mencari pencerahan. Para wali, seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang, menyebarkan ajaran Islam di Jawa dengan cara yang sesuai dengan tradisi lokal. Melalui dakwah yang sarat kearifan dan pendekatan budaya, mereka berhasil menyebarkan ajaran Islam tanpa harus meminggirkan budaya Jawa. Hal ini memperlihatkan bagaimana Jawa sebagai tanah suci mampu menyerap pengaruh dari luar tanpa kehilangan identitasnya sendiri.

Jalan menuju Kedamaian Batin dan Kearifan

Di era modern ini, pemahaman akan Jawa sebagai tanah suci metaforis masih tetap menemu ruangnya, terutama dalam menghadapi tantangan zaman. Globalisasi membawa perubahan besar dalam cara hidup masyarakat Jawa, namun banyak yang masih memegang erat nilai-nilai tradisional yang diwariskan oleh leluhur mereka—seperti kebersamaan, gotong-royong, dan rasa hormat terhadap alam, masih menjadi bagian penting dari kehidupan keseharian di Jawa. Dengan cara ini, Jawa tetap menjadi tanah suci di mana nilai-nilai spiritual lokal tetap hidup dan berkembang.

Banyaknya ritual dan upacara adat yang dilakukan oleh masyarakat Jawa, juga menunjukkan bahwa mereka masih mempertahankan hubungan dengan dunia spiritual. Ritual-ritual seperti Sekaten, Grebeg Maulud, dan Labuhan Alit diadakan untuk menghormati leluhur dan memohon berkah dari Hyang Maha Kuasa. Upacara-upacara ini memperlihatkan bahwa Jawa sebagai tanah suci metaforis bukan sekadar mitos, tetapi realitas yang hidup di dalam masyarakat.

Dalam dunia yang semakin materialistis ini, konsep Jawa sebagai tanah suci metaforis menjadi penting untuk dipertahankan sebagai simbol dari nilai-nilai yang tidak lekang oleh waktu. Tanah Jawa mengajarkan bahwa kehidupan ini bukan hanya tentang materi, tetapi juga tentang pencarian akan makna dan hubungan dengan Hyang Ilahi. Dengan cara ini, masyarakat Jawa dapat menjaga identitas mereka dan tetap menjadi pelopor dalam menjaga keseimbangan antara dunia material dan spiritual.

Jawa sebagai tanah suci metaforis juga memiliki akar spiritual yang jauh lebih tua, seperti ajaran Kapitayan. Dipercaya eksis di Jawa sebelum kedatangan Hindu-Buddha dan Islam, adalah sistem kepercayaan asli yang melihat “Tuhan” sebagai Sang Hyang Taya—kekosongan suci atau hakikat yang tak berwujud. Dalam ajaran Kapitayan, konsep Tuhan bersifat abstrak dan tidak terikat pada bentuk tertentu. Sang Hyang Taya ini dipercaya sebagai sumber segala sesuatu, yang tidak tampak namun melingkupi segalanya. Masyarakat yang menganut Kapitayan menyembah Tuhan dalam bentuk “roh suci” yang terdapat dalam kekuatan alam. Tradisi ini memberi penghormatan pada alam sebagai manifestasi keilahian, yang sejalan dengan filosofi memayu hayuning bawana, yaitu menjaga kelestarian dan harmoni alam semesta.

Baca juga:  Kala Majalah "Berita NU" Memicu Perlawanan

Pengaruh Kapitayan ini juga masih tampak dalam Kejawen yang berusaha merangkul konsep ketuhanan yang bersifat universal. Prinsip “kesatuan wujud” atau Wahdatul Wujud dalam tasawuf Islam, memiliki kesamaan dengan pandangan Kapitayan, di mana Tuhan dipandang meliputi segala sesuatu dan ada dalam semua yang diciptakan. Ini selaras dengan firman Allah dalam (QS. Al-Baqarah [2]: 115), “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah…” Ayat ini menggarisbawahi gagasan bahwa Tuhan tidak terbatas pada satu tempat atau bentuk semata, tetapi hadir dalam seluruh ciptaan. Dengan demikian, Jawa sebagai tanah suci metaforis bukan hanya merujuk pada tradisi Islam, Hindu, atau Buddha, tetapi juga akar spiritual asli yang telah hidup dan beradaptasi dengan berbagai pengaruh eksternal sepanjang sejarah, memperkuat kekayaan spiritualitas Jawa yang terbuka dan harmonis.

Jawa sebagai tanah suci metaforis juga memberi pelajaran kepada warga dunia tentang pentingnya tenggang rasa dan keterbukaan terhadap perbedaan. Di Jawa, berbagai agama dan aliran kepercayaan dapat hidup berdampingan dengan damai, memberikan contoh tentang bagaimana masyarakat dapat menerima perbedaan tanpa harus kehilangan identitas mereka. Jawa mengajarkan bahwa tenggang rasa bukan sekadar menerima, tetapi juga menghargai dan belajar dari perbedaan.

Dengan segala keragaman ajaran dan nilai-nilai yang hidup di dalamnya, Jawa memang layak dianggap sebagai “Padang Nirwana.” Pulau ini telah menjadi tempat di mana berbagai kepercayaan, filsafat, dan nilai-nilai luhur menemukan tempat dan berkembang menjadi satu kesatuan yang harmonis. Jawa mengajarkan bahwa spiritualitas sejati adalah tentang kebijaksanaan, kedamaian, dan keseimbangan antara manusia dan alam semesta.

Sebagai penutup, Jawa sebagai tanah suci metaforis menawarkan contoh bagaimana keseimbangan spiritual dan harmoni sosial dapat tercapai melalui penghayatan nilai-nilai lokal dan universal. Masyarakat Jawa percaya bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab untuk menjaga keharmonisan alam dan menjaga keseimbangan dalam hubungan antar sesama. Hal ini tercermin dalam konsep “Memayu Hayuning Bawana,” yang berarti menjaga keselamatan dunia dan isinya. Keyakinan ini senada dengan firman Allah dalam Al-Qur’an: “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesudah Allah memperbaikinya; berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan harap. Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Al-A’raf [7]: 56). Ayat ini menggarisbawahi kewajiban manusia untuk menjaga bumi, yang selaras dengan nilai-nilai spiritual yang telah lama hidup dalam budaya Jawa.

Selain itu, Hadits Qudsi pun menyatakan; “Aku adalah perbendaharaan tersembunyi, Aku ingin dikenal, maka Aku ciptakan makhluk agar mereka mengenal-Ku.” Hal ini menggambarkan bahwa pencarian akan makna hidup dan kemampuan merasa kedekatan dengan Allah, adalah esensi dari keberadaan manusia. Jawa sebagai Bumi Langgeng, merupakan tempat di mana pencarian ini diwujudkan melalui keselarasan antara budaya lokal dan ajaran keagamaan yang datang dari luar. Dengan landasan spiritualitas yang kuat, Jawa bukan hanya menjadi tempat yang dirahmati dan diberkahi, tetapi telah menjadi inspirasi bagi dunia modern tentang pentingnya menjaga keseimbangan hidup dan saling menghormati dalam kebinekaan. []

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top