Di desa Kandangsapi Jenar Sragen, terdapat makam Syekh Muhammad Nasher atau yang sering disebut Mbah Singomodo. Tokoh ini begitu penting dan sentral—yang sampai sekarang masih banyak didatangi masyarakat untuk berziarah. Menurut penuturan juru kunci yang bernama Slamet, menjelaskan bahwa Syekh Nasher dahulunya merupakan panglima perang keraton Surakarta yang pada masa itu ikut serta melawan kolonialisme di Hindia Belanda. Pada saat kerajaan Mataram pecah, dan adanya perjanjian Giyanti, terbaginya kekuasaan Jawa di Yogyakarta dan Surakarta, Syekh Nasher mulai meninggalkan kehidupan di keraton dan memilih berkelana menyebarkan dakwah ajaran agama Islam di perdesaan, Jenar Sragen.
Sungai bengawan Solo menjadi saksi bahwa perjuangan dakwah Syekh Nasher bermula melalui jalur perairan dengan menggunakan getek. Kedatangannya di Jenar Sragen tidak berjalan dengan mulus, sesampainya di sana ia langsung didatangi oleh segerombolan harimau (macan) hutan. Berkat kesaktian ilmunya, Syekh Nasher seketika itu mampu menjinakan gerombolan macan tersebut, sehingga Syekh Nasher dijuluki “Mbah Singomodo” (wawancara, Slamet). Kedatangan Syekh Nasher di Jenar Sragen bermisi menyebarkan dakwah ajaran Islam. Getek yang dikendarainya berhenti di pinggiran kali Bengawan Solo dan menepi di Jenar sebagai tanda bahwa Syekh Nasher membuka wilayah untuk menyebarkan Islam ditempat tersebut.
Di Jenar Sragen, Syekh Nasher mulai babat alas dan mulai mendirikan gubuk (musholla) untuk mengajarkan ilmu agama. Pada mulanya, Syekh Nasher memiliki 90-an santri, setelah para santrinya menguasai berbagai ilmu yang diajarkan Syekh Nasher, mereka diminta untuk berkelana mengajarkan ilmu agama. Berbekal belajar agama dan bercocok tani, Syekh Nasher juga mengajarkan akulturasi Islam dan budaya Jawa. Mbah Slamet sebagai juru kunci mengatakan bahwa Syekh Nasher dalam berbagai pengajian atau semaan ngaji selalu berpesan “Jowone ya digowo, Arab e ya di garap, (Jawanya ya dibawa, Arabnya ya digarap).” Pesan-pesan tersebut juga disampaikan kepada masyarakat yang meminta bantuan kepadanya, seperti orang sakit yang tak kunjung sembuh dan orang-orang yang kesusahan dari segi finansial ekonomi.
Orang-orang yang diobati diberi syarat oleh Syekh Nasher untuk berkenan mengaji dan salat. Sebab ia mengatakan bahwa tindakan ngaji dan salat merupakan salah satu obat ketenangan jiwa dan raga. Kemudian dari berbagai ilmu yang dimiliki Syekh Nasher seperti ilmu sabda, ilmu raga sukma, dan lain-lain, banyak masyarakat yang mulai belajar ilmu agama kepadanya. Islamisasi melalui jalur akulturasi Islam dan budaya Jawa tersebut begitu tampak melalui jalur mediasi antara guru dan santri, atau masyarakat melalui pertukaran budaya yang fleksibel dan dinamis. Ragam jalan dakwah Islam pluralis ini kemudian berkembang dalam lingkup perdesaan di Jenar Sragen yang masih dipercayai kekuatan spiritualitasnya.
Silsilah Syekh Nasher
Dalam sebuah wawancara saya pada Muhammad Syamsu Qomaruddin (Kang Qomar) salah satu perangkat desa Kandangsapi Jenar Sragen, mengungkapkan bahwa nasab Syekh Nasher masih memiliki garis keturunan pada Pakubuwono I. Kang Qomar menjelaskan bahwa silsilah tersebut dari Amangkurat IV yang bernama Raden Mas Suryaputra masih memiliki garis keturunan dengan Pakubuwono I. Namun sejak kecil Raden Mas Suryo ini berkelana dan mondok di Pasuruhan dan berguru pada Kiai Muhsin. Sejak saat itu, Raden Mas Suryo ingin menjadi orang yang sederhana dan tidak ingin memperlihatkan garis keturunannya dari keraton. Maka selama ia menjadi santri namanya disamarkan menjadi “Ikhsan.”
Bertahun-tahun lamanya, Kang Ikhsan tadi mondok dan belajar ilmu agama di Pasuruhan. Pada suatu acara di pesantren Kiai Muhsin, acara tersebut didatangi oleh Bupati Pasuruan yang bernama Untung Suropati. Ketika menghadiri pagelaran tersebut, Untung Suropati melihat Kang Ikhsan (Raden Mas Suryo) yang memiliki karisma dan tampan yang gagah. Tidak berjelang lama, Untung Suropati lantas menanyakan Kang Ikhsan melalui Kiai Muhsin. Ia berencana menikahkan anaknya dengan Kang Ikhsan karena langsung menyukai sikap dan sifatnya. Pernikahan tersebut akhirnya dilaksanakan, dan diketahui oleh Pakubuwono I. Karena sudah lama meninggalkan keraton, Raden Mas Suryo diminta untuk kembali ke keraton untuk memimpin Jawa.
Pada waktu itu, Raden Mas Suryo menyetujui usulan bapaknya tersebut dan menjadi raja yaitu Amangkurat IV. Kemudian, Amangkurat IV memiliki anak yang bernama Raden Mas Sandoyo, yang hidupnya juga diperuntukan untuk belajar ilmu agama dan berdakwah. Ia kemudian belajar ilmu agama di Jawa Timur dan menyamarkan namanya menjadi Nurul Iman. Setelah dewasa, Raden Mas Suryo diminta Amangkurat IV untuk kembali ke keraton. Tetapi Raden Mas Suryo meminta syarat bahwa ketika ia pulang meminta waktu 5 tahun sebagai perjalanan menuju keraton. Ia tidak hanya sekadar berjalan pulang, tetapi ia juga mengajarkan kepada masyarakat ilmu agama Islam ketika menempuh perjalanan pulang ke keraton.
Pada akhirnya Raden Mas Suryo ini menikah dan memiliki beberapa keturunan, salah satunya Syekh Nasher atau yang disebut Raden Mustofa. Kang Qomar menuturkan bahwa kehidupan Syekh Nasher ini kurang lebih sezaman dengan Pangeran Diponegoro. Sebab ia pernah menjadi panglima perang ketika melawan kolonialisme di Jawa. Dari sekelumit silsilah dari penurutan lisan tersebut menunjukan bahwa Syekh Nasher merupakan tokoh karismatik keturunan Jawa yang mengabdikan diri pada bidang keilmuan dan dakwah. Ia mengajarkan kepada masyarakat di daerah Jenar Sragen supaya masyarakat memiliki kecakapan dan tidak dibodohi oleh orang Belanda.
Selain itu, Syekh Nasher juga menggunakan perangkat wayang sebagai simbol dakwah Jawa untuk mengajak masyarakat belajar Islam. Namun di satu sisi ada cerita yang sampai sekarang menjadi pantangan masyarakat dukuh Modo di Jenar Sragen. Konon, pada masa lalu salah satu santri Syekh Nasher mencintai penyanyi ledek (penyanyi perempuan). Pada waktu itu, Syekh Nasher menikahkan santrinya dengan ledek tersebut dengan syarat bahwa perempuan tersebut tidak boleh menjadi ledek lagi. Sejak saat itu, masyarakat setempat dan kerena Syekh Nasher tidak menyukai tradisi ledek, dan sampai sekarang tidak ada masyarakat di desa tersebut yang berani menanggap ledek, campursari, atau segala apapun yang berkaitan dengan penyanyi perempuan.
Menurut penuturan Kang Qomar, bahwa itu menjadi pantangan yang harus ditaati oleh masyarakat di sekitar makam Syekh Nasher. Sebab pernah kejadian orang yang sengaja melanggar pantangan tersebut, orang tersebut jelang beberapa hari langsung menghilang bersama radionya (wawanca: Muhammad Syamsu Qomaruddin). Kemistikan dan cerita-cerita tersebut sungguh terjadi di masyarakat Jenar. Bahkan sampai sekarang masyarakat di sekitar makam tepatnya di dukuh Modo hanya tinggal segelintir lantaran tidak kuasa menahan ketidakadanya televisi, radio, bahkan handphone untuk mendengarkan musik. Namun menurut penuturan Kang Qomar, barangkali penolakan Syekh Nasher pada masa itu, ledek berpengaruh kuat terhadap rusaknya masyarakat. Orang-orang pada umumnya ketika mengikuti pertunjukan ledek senantiasa terlena dengan dunia, misalkan minum-minuman, arak, dan memiliki stigma negatif yaitu main dengan perempuan.
Dari situlah kita memahami bahwa dakwah Syekh Nasher di desa Kandangsapi Jenar Sragen merupakan akulturasi budaya Jawa dan Islam yang menyatu dan berbaur secara dinamis. Kehadiran musik yang berkaitan dengan penyanyi perempuan di sana tidak dilegalkan, sebab pagelaran apapun terutama ledek di sana dianggap dapat menimbulkan kerusakan dan kemadraratan ketimbang menciptakan kemaslahatan. Di sinilah hal yang dapat kita pelajari dari sejarah, bahwa sampai sekarang kisah ceita sejarah masih dipercayai dan dijadikan adat di masyarakat Jenar Sragen.